Ternyata Romantis itu Lebih Manis Dari Coklat...



Perempuan itu selalu bekicau. Nada riang melekat dalam setiap tulisannya di kertas-kertas maya. Keceriaan dari benaknya tertulis indah, setiap ia menceritakan tentang seorang lelaki yang dicintainya.
Bacaan AL Quran yang melantun dengan suara yang berat dan terbata yang dilantunkan oleh lelaki itu ba’da maghrib tadi, ia dengarkan dengan seksama, ia rebahkan kepalanya di sila kaki sang lelaki. Ia tahu dengan sepenuh sadarnya, bahwa bacaan berat dan terbata itu masih jauh dari sempurna, namun ia resapi lantunan itu sepenuh jiwa, seolah ia sedang mendengar suara merdu para idola remaja.
Kali lain ketika sang lelaki lalai, menata selang pembuangan mesin cuci di rumahnya. Ketika mesin itu melimbah, maka banjirlah seisi rumah. “Aduuuh, nambah kerjaan saja kamu ini,” lelaki itu megomeli dirinya sendiri. Sang perempuan pun terbahak melihatnya, tak gusar, biasa saja. Lelaki itu memang super teledor.
Perempuan itu adalah pencerita. Ia ceritakan keteledoran suaminya, namun dengan penuh ceria. Suaminya romantis, sebab mau membantunya mengurus cucian plus mengepel seisi rumah yang tergenang limbah, begitu menurutnya. Baginya, suaminya adalah pria teromantis, bahkan segala kesalahan lelaki itu adalah romantika baginya. Setiap tarikan nafas mereka bersama adalah romantisme, di setiap jenak-jenak waktu mereka.
Lelaki itu adalah pelaku, baginya, apa yang dikerjakannya adalah tugas yang sudah seharusnya berlaku. Suatu pagi, ia renggut bungsunya yang terbangun pagi-pagi dari isterinya yang tertidur pulas usai subuh akibat begadang nyaris semalaman menemani si bungsu terjaga. Lantas, ia mandikan putra kecilnya, meminyaki dan membedakinya, hingga memakaikan baju. Lalu ia tunggu perempuannya terbangun untuk mencium wangi putera bungsu mereka. Melihat wajah bangun tidur yang terpulas senyum, cukup menerbitkan kebahagiaannya.
Lelaki itu telah terbiasa menuju dapur tanpa mengomel, saat ia tak mendapati makanan tersaji saat pulang kerja. Memotong-motong tempe atau memecahkan sebutir telur, jika tak terlalu lelah ia akan meracik sambal. Ia tolak tawaran isterinya yang sudah nampak lelah sebab seharian mengurus rumah, hingga lupa menyiapkan makanan untuk suaminya. Ia tak malu untuk bergulat dengan bumbu dapur. Memang kepala keluarga yang –kata orang – selayaknya tuntas terlayani, namun isterinya toh juga bukan pembantu rumah tangga. Maka menurutnya, itulah yang harus berlaku, memasak untuk diri sendiri.
Maka sekali lagi, perempuan itu dengan sepenuh cintanya kepada sang suami, merasa menjadi perempuan paling beruntung di dunia. Suaminya adalah orang paling romantis, begitu menurutnya. Padahal dari sekian tahun pernikahannya, sang lelaki hanya pernah memberikan setangkai mawar sekali saja, itu pun imitasi.
Lelaki pendiam yang berbuat apapun untuk orang-orang yang dicintainya dan perempuan yang menganggap segala perbuatan suaminya adalah romantis.
Padahal, bertahun yang telah lalu, keduanya mempunyai impian. Si pendiam yang mendamba perempuan seperti bundanya. Pintar memasak, hingga ia bisa merekreasikan perutnya usai seharian di tempat kerja. Perhatian, sapaan ramah dan hangat dari perempuan yang dicinta. Seseorang yang menyambutnya dengan berhias hanya untuknya. Maka ia jaga pandangan bujangnya kepada wanita-wanita, demi mendapat balasan Allah, atas kriteria perempuan shalihah yang diingininya.
Pun sang pengkicau, dambanya kepada lelaki yang sering termaktub di buku-buku dongeng masa kecilnya. Pangeran romantis, persis seperti film-film remaja yang sering dinikmatinya. Setangkai bunga dan cokelat, serta permata. Namun sedikit ia mencoba realistis, mungkin bunga saja cukup baginya, dari sang pujaan hati.
Lantas bertemulah mereka dalam ikatan yang membuka realita. Lelaki kikuk yang serba bingung makna romantisme, yang lebih memilih mawar imitasi daripada mawar segar. Perempuan yang bahkan tak mengerti bahwa sayur asem itu harusnya berasa asam, yang selalu merasa tangannya terlalu kecil untuk memijit pundak suaminya. Ada kecewa atas harapan yang tak mungkin terpenuhi. Ada damba yang tak akan pernah tergapai lagi. Sebab mereka telah berjanji bahwa pernikahan abadi adanya.
Maka belajarlah mereka mensyukuri sebuah realita. Tentang jodoh yang telah disediakan oleh Allah, justru untuk menguji mereka.
Lelaki itu kembali menilai dirinya, yang dianugerhkan fisik dan tenaga yang lebih kuat dari wanita, maka betapa memalukannya jika ia mendamba untuk bermanja sepulang kerja. Kemudian dengan penuh syukur sang lelaki berjibaku di dapur, atau berkotor dengan buah hatinya kala istrinya bertambah-tambah lelahnya.
Sedangkan sang perempuan, ia telah menemukan bahwa romantisme bukan berbentuk bunga, cokelat pun permata. Ternyata lelaki yang tak romantis itu justru telah ajarkan romantisme pamungkas kepadanya, sebentuk tanggung jawab suami terhadap isterinya. Dan bentuk syukurnya adalah segala kicauannya kepada dunia, tentang betapa berharganya lelaki itu untuknya.

Maka apa yang lebih romantis, dari sebuah kesyukuran yang didzahirkan?
Salam,

Ute HIme K.

Kunamai Kau Dengan, Rindu :)



Satu. Rindu. Cuma itu.

Kamu tak perlu tau seberapa sering aku menyimpan rindu untukmu dan aku mulai gelisah karena itu. Bagiku ini hanya soal waktu yang belum berpihak padaku. Belum saatnya membagi resah berdua denganmu. Tak perlu risaukan aku, ini memang hanya soal rindu.

Satu. Rindu. Dan terus saja begitu.

Seperti barisan kata yang sederhana untuk kamu baca, ini memang hanya sebab aku merindukan apa yang sudah lama kutahan sendirian. Entah salah atau benar, aku tetap saja merasa rindu itu kian hebat berakrobat. Sepertinya jadi ngilu waktu aku hanya bisa berucap rindu pada hatiku tanpa bisa kamu dengar betapa melengkingnya di telingaku.

Satu. Rindu. Aku menunggumu.

Lama-lama jadi siksa. Tapi tetap hanya bisa kutahan mati-matian. Sebab aku enggan mengganggumu. Kecuali menunggu. Aku hanya bisa melihatmu dalam baying-bayang yang kuciptakan sendiri. Siapa bilang menunggu itu membosankan ? Menunggumu akan selalu jadi hal yang menyenangkan. Terkadang aku ingin menjemputmu, ah, aku ini siapa ?

Satu. rindu. Jangan pernah meninggalkan aku.

Kamu begitu hebat menyemat azmat dalam purnama. Bahkan dalam rindu yang sedikit mengheningkan jiwa, kamu tetap jadi satu yang masih juga kurindu. Sudha berapa kali kusebut satu kata itu, rindu dan rindu. Tapi tak kunjung habis rinduku, malah semakin menyerbu. Kmau perlu tahu bahwa aku tetap selalu berusaha tangguh tanpamu.

Satu. Rindu. Menetaplah selamanya bersamaku.

Entah seperti apa wujudmu. Yang jelas, aku mulai membutuhkanmu setiap satuan waktu bergeser menjauhiku. Hanya kamu tak pernah tahu betapa sulitnya menahan ini semua tanpamu. Dan kunamai kau dengan rindu; rasa yang entah bagaimana caranya merangsuk makin dalam. Sebab diam-diam aku selalu menunggumu pulang kemari, kepelukku.
Satu. Rindu. Apa kau pun begitu ?



Lalu bisakah kau jelaskan ?

Sebenarnya bagian mana yang bisa kurindukan darimu? Bahkan menatapmu pun aku tak pernah. Bagian mana yang harus kurindukan darimu ? Bahkan saling bertegur sapa pun tak pernah. Bagian mana lagi yang mesti kurindukan darimu ? Padahal kita belum pernah bertemu



Lalu, bagaimana bisa rindu begitu kuat menggema di degup jantungku ? Bagaimana mungkin rindu begitu luas menyebarkan diri? Bisakah kau jelaskan ? Sebab apa aku merindumu. Padahal kamu hanya hidup dari kotak khayalku. Dan aku bertahan dari bayang-bayangmu. Bisakah kau jelaskan ??




The Anthology of Love

Salam,


Ute Hime K.





Astagfirullah, Akun Media Sosial-ku Menggoda..

Asalnya kehidupan perempuan ada di balik tabir, di balik tembok rumah suaminya, di balik tembok ma’had. Terpelihara dan terjaga. Pun ketika kondisi mewajibkannya untuk keluar, ada adab dan seperangkat aturan yang wajib ia gigit dengan gerahamnya.

Bukan untuk mengekang, semua semata-mata demi ketepatan posisi dirinya dalam pergerakan alam semesta ini. Yang kemudian menyumbangkan keharmonisan tatanan sosial dalam peradaban manusia secara keseluruhan.

Tapi kini, tabir dan tembok itu berhasil dijebol. Bukan oleh tank seperti di Jalur Gaza sana. Bukan dihancurkan oleh drone-drone AS seperti di Timur Tengah sana. Tapi oleh jari-jemari perempuan sendiri.

Perempuan boleh jadi tetap berada dalam selubung milhafahnya. Selimut-selimut yang menjuluri sosoknya bahkan hingga menyapu tanah. Perempuan boleh jadi tetap berada dalam rumah suaminya, bersama anak-anaknya.

Tapi tidak jiwanya, jiwanya melayang-layang dalam kotak kecil bernama gadget. Agenda harian terlaporkan dengan rapi dalam status-statusnya streaman-streamannya atau mungkin tweet-tweetnya. Kadang tanpa maksud apa-apa hanya setitik kecil eksistensi diri yang menemukan labuhannya. Semua rasa, semua kesal, semua sedih, semua syukur, ragam peristiwa, berat, ringan, besar, kecil, terupdate sempurna.

Tulisan ini bukan untuk menghujat perempuan manapun yang gemar menyalurkan eksistensi dan ekspresinya dalam beragam media sosial. Tulisan ini sejatinya ditelunjukkan bagi penulisnya sendiri, sebagai bentuk refleksi atas padatnya aktivitas harian termasuk berjejaring sosial yang teramat mengaburkan pandangan dan mengeruhkan mata hati.

Bahwa kita adalah perempuan yang menyimpan sejuta pesona bagi lawan jenis kita. Bahwa kita ditakdirkan sebagai makhluk yang berpotensi paling besar untuk menjadi fitnah bagi laki-laki dan masyarakat. Kita punya potensi itu. Dan kita sudah diberikan mata hati, naluri dan akal untuk menyadari itu. Meski kadang terlambat.

Mari amati berapa banyak kaum lelaki yang menimpali status atau streaman kita, foto-foto kita, stempel jempol kita dengan komentar-komentarnya. Amati adakah naluri mereka bangkit karena status kita. Ketika mereka menjadi begitu perhatiannya, begitu genit dan menggoda. 

Ketika mereka menjadi gemar mampir di wall atau home kita, sekedar bercanda atau malah memberikan emoticon kedipan mata. Kemudian kita pun tergoda melakukan interaksi yang tidak penting dan sia-sia dengan mereka.

Jika demikian, artinya kita sudah menjadi warna tersendiri dalam kehidupan dunia mayanya. Kita sudah berhasil mengetuk-ngetuk pintu syahwatnya. Apa jadinya jika mereka yang terfitnah adalah lelaki yang belum menikah. Adakah mereka kemudian melakukan layanan swaseksual dengan imajinasinya atau malah menjadi banal dan bebal?

Lebih lagi jika yang terfitnah adalah lelaki yang sudah menikah, tegakah kita menjadi pencetus meregangnya sebuah mitsaqan galizha? Astaghfirullahha wa atubu ilaih. Laa haula wa laa quwwata illa billah. 

Terlepas dari mereka yang memang tulus memberikan nasihat pada kita. Kadang jika tak pintar-pintar menjaga hati, nasihat yang tulus pun menjadi bumerang bagi hati kita sendiri untuk bersimpati, berempati, kemudian terfitnah sendiri. 

Na’udzubillah min dzalik. Ketahuilah, media sosial semacam fesbuk, Jiples, Twiter de el el sangat mampu menciptakan atmosfer interaksi yang dekat, akrab, dan hangat namun terbuka dan mudah terakses publik.

Kita seolah lupa bahwa di dunia maya pun tetap ada anggah-ungguh yang mesti kita jaga. Jika di dunia yang sebenarnya kita malu berseloroh, menimpali perbincangan dan percakapan seenaknya, kita malu bercanda dengan lawan jenis, kita malu menjulurkan lidah kita, kita malu mengedipkan mata kita terhadap lawan jenis kita, mengapa rasa malu itu runtuh ketika jemari kita menghadapi keypad handphone atau PC kita? Mengapa hijab ini tak berbekas di sana? Astaghfirullah wa atubu ilaih.

Media sosial dengan kecanggihan penyimpanan datanya dapat menjadi sarana kita untuk memflashback ekspresi-eskspresi yang telah lewat. Entah bagaimana jadinya jika kita melihat catatan amal kita di yaumul hisab nanti. Semoga tidak terlambat kita memperbaikinya. Ashlihlana ya Rabbana.

Bermedia sosial bukan tak ada manfaatnya, namun di sana benar-benar membutuhkan kecanggihan hati kita untuk menilai tiap-tiap ekspresi yang hendak kita tampilkan. 

Menyadari bahwa ekspresi kita berpotensi diketahui banyak orang, lawan jenis, keluarga, kawan lama, murid, anak, dan seterusnya. 

Jadi, mari kita berusaha menghadirkan tanggung jawab menjaga tatanan ummat ini agar tetap pada orbitnya, berusaha menjaga anak-anak ummah muslimah dari menduanya hati ayah-ayah mereka terhadap kita, berusaha menjaga apa yang seharusnya ada di balik tabir agar tetap ada di balik tabir, dan berusaha menjaga semua ekspresi kita dari riya’ dan ijab nafsi (kagum diri). 

Mari yaa Ukhty …


Esqiel
Salam,

Ute Hime K.




Seberapa Pantas Kau Untuk Kunantikan, Akhy ??



Bismillahirrahmanirrahim..

Akhi..Penantian panjang untuk menunggu akan aku lewati hanya untukmu, meski seribu kebimbangan menghantuiku, meski ribuan keraguan menjelma atas janjimu.
Aku hanya takut, benarkah kau pantas untuk ku nanti?

Akhi..Ku sembunyikan hati ini untuk memilih menantimu karena ku tahu aku sangat mencintaimu. Namun bukan berarti cinta ini mampu membutakanku agar aku menerima ketikdak pastian.
Aku hanya tak tahu, benarkah kau pantas untuk ku nanti?

Akhi..Senyumku ini akan ku leburkan bersama dakwah bersama pendamping yang mampu menuntunku pada Illahi. Bagaimana aku sanggup untuk tahu bahwa kau adalah seorang yang tepat untukku, sedangkan kau sendiri pun tak tahu.
Berilah aku jawaban, benarkah kau pantas untuk ku nanti?

Akhi..Bersamamu ku sadari hati ini ingin menetap, hingga waktu memberiku jawaban bahwa kau adalah pemilik hati ini. Namun sadarilah, bila aku harus tetap menanti sedangkan kau pun tak tahu sampai kapan aku harus menanti, hati terus mengusik kesadaranku.
Maka pastikanlah jawabanmu, benarkah kau pantas ku nanti?

Bila kau memang pantas aku nantikan, ijinkan aku memintamu untuk segera meminang ku dalam kesendirian. Jangan biarkan aku dalam ragu, yakinkanlah hatiku.

Bila kau memang pantas aku nantikan, segera palingkan aku dalam kepahitan janji. Besegeralah datangi kedua orang tuaku, jangan kau terus biarkan aku menanti dengan alasan-alasan yang tak pernah aku mengerti.

Bila kau memang pantas aku nantikan, biarkan cinta yang ada di hatimu tersimpan rapat sebelum kau halalkan aku. Jangan kau impikan aku dengan cintamu.

***

Harapan yang diberikan kadang memang lebih besar daripada apa yang mampu dijalani, apalagi bila kekasih hati pujaan jiwa yang memberikan. Atas nama cinta, seribu tahun pun mau menanti asal bisa dimiliki sang kekasih.

Aduh ukhti.. sadarilah, sudah beberapa kali saya membuat sebuah torehan tentang mirisnya hati ini bila masih ada seorang muslimah yang mau menanggung ketidakpastian. Semua hanya atas dasar cinta bersulam janji.

Baru diberi SmS rayuan, chat gombal, pesan yang melayang-layangkan hati, kamu sudah mau meruntuhkan izzahmu, kehormatanmu yang kamu selalu gadang-gadangkan. Tapi dihadapan ikhwan genit yang suka mengobral janji, kamu sudah tertunduk mengangguk.

Ukhti fillah, jagalah hatimu karena syetan selalu mengintai hidupmu. Bukankah saya sudah sering torehkan dalam tulisan sebelumnya, bila memang ada seorang ikhwan yang serius padamu, dia tidak akan mampu mengumbar cintanya padamu. Justru dia akan menjaga cintanya dan cintamu sampai kamu halal baginya.

Kalaupun ikhwan itu belum sanggup meminangmu, dia tidak akan mengobral janji-janji yang membuatmu terhanyut. Yakinlah ukhti, Allah Azza Wa Jalla tak akan membiarkanmu dalam kesendirian, jadi sadarilah, dia akan datang di saat yang tepat untukmu.

Namun sebelum dia datang dan pada akhirnya kamu tautkan cinta dan pengabdianmu padanya, jagalah hatimu untuknya agar dia menjaga hatinya untukmu. Jagalah kehormatanmu agar dia pun menjaga kehormatannya sampai kalian dipertemukan kelak. Insyaallah dalam naungan yang bernama pernikahan.



(Syahhidah)
Salam,


Ute Hime K.