Beramal Sebanyak Mungkin; atau Beriman Sebelum Beramal ??


Di dalam Al-Qur’an seringkali Allah menyatakan bahwa Allah pasti membalas seorang hamba sebagai ganjaran atas amal-perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan apapun, apakah berupa sebuah amal baik maupun amal buruk, kedua-duanya pasti bakal diberi ganjaran oleh Allah.
أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيها جَزَاءً بِما كَانُوا يَعْمَلُون
“Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Ahqaf 14)
فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS At-Taubah 95)

Di dalam surah Al-Ahqaf 14 Allah gambarkan balasan atas amal-perbuatan baik yang mengantarkan pelakunya ke dalam surga. Semoga kita termasuk ke dalam golongan tersebut. Sedangkan di dalam surah At-Taubah 95 justru sebaliknya, Allah gambarkan mereka yang berbuat amal-perbuatan buruk sehingga pelakunya diganjar dengan neraka Jahannam. Wa na’udzubillaahi min dzaalika.

Jadi jelas sekali betapa pentingnya pilihan jenis amal-perbuatan apa yang dilakukan seseorang sehingga ia berhak menerima balasan seperti apa dari Allah. Maka alangkah naifnya bila ada seorang yang mengaku muslim lalu ia tidak pernah merenungkan jenis amal apa yang ia pilih, yang penting menurutnya adalah banyaknya amal. Lalu dia berusaha mengisi waktunya dengan sebanyak mungkin amal. Lebih jauh lagi dia bahkan memandang remeh orang lain yang dinilainya tidak banyak beramal. Sehingga dengan mudah dia menstempel orang lain yang tidak sibuk beramal seperti dirinya sebagai orang-orang yang hanya NATO (no action, talk only). Padahal Allah memperingatkan kita bahwa ada sementara manusia di dunia ini yang mengira bahwa dirinya sudah banyak berbuat kebaikan namun ternayata di dalam pandangan Allah justeru mereka itulah orang-orang yang paling merugi.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالاالَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi 103-104)

Apakah faktor yang menyebabkan perbuatan yang mereka sangka baik itu justeru ternyata di mata Allah adalah sia-sia dalam kehidupan di dunia? Lihatlah penjelasan Allah pada ayat berikutnya:
أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًاذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا
“Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia (Allah). Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (QS Al-Kahfi 105-106)

Merekalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia (Allah). Inilah sebabnya..! Jadi, sebabnya terkait dengan masalah yang lebih fundamental daripada urusan beramal, berbuat maupun bekerja. Urusannya terkait dengan hadir-tidaknya iman di dalam dirinya. Iman terhadap ayat-ayat Allah dan iman terhadap perjumpaan dengan Allah di hari berbangkit kelak. Barangsiapa yang imannya tidak hadir atau tidak sah, maka berarti ia kafir. Dan kekafiran inilah yang menghapus semua amal kebaikan yang disangka pelakunya bahwa dia telah berbuat sebaik-baiknya.

Iman merupakan prasyarat agar amal apapun yang dipilih seseorang mendatangkan ganjaran kebaikan dari Allah. Tidak hadirnya iman atau tidak sahnya iman seseorang bakal menghapuskan nilai amal apapun yang telah dikerjakannya. Betapapun banyaknya amal orang itu, namun jika tidak dilandasi oleh hadirnya iman yang benar, maka niscaya merugilah orang itu kelak di akhirat. Sehingga Allah berfirman: Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Alangkah ruginya dia..! Bayangkan, amal yang banyak itu dihapus oleh Allah. Tidak mendapatkan penilaian atau pengakuan dari Allah barang sedikitpun. Di tempat lainnya Allah berfirman mengenai amal kaum kafir itu:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS Al-Furqan 23)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana.” (QS An-Nur 39)

Bahkan lebih jauh lagi Allah berfirman: Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. Orang-orang itu dipastikan Allah bakal dibalas dengan neraka Jahannam. Dan mereka diserupakan Allah dengan orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah dan rasul-rasulNya.

Saudaraku, sungguh kita harus waspada terhadap masalah ini walupun kita telah mengaku diri sebagai seorang muslim, seorang yang telah berikrar syahadatain, seorang yang menganggap diri termausuk kaum beriman. Sebab Allah bahkan menyatakan bahwa kebanyakan orang yang menganggap dirinya beriman kepada Allah ternyata terlibat dalam dosa syirik..!
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS Yusuf 106)

Walau saat membahas ayat di atas Ibnu Katsir mengacu kepada kaum musyrikin Quraisy di kota Mekkah pada masa jahiliah, namun Sayyid Qutb di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an menulis:
Di sana ada juga syirik yang nyata dan tampak jelas. Yaitu ketundukan kepada selain Allah dalam salah satu perkara hidup, ketundukan kepada suatu hukum yang dijadikan keputusan dalam segala urusan, ketundukan terhadap adat seperti pesta-pesta dan festival-festival meriah yang tidak disyariatkan oleh Allah, ketundukan dalam pakaian dan seragam yang bertentangan dengan syariat Allah berkenaan dengan pembukaan aurat dimana nash memerintahkan untuk menutupnya.
Masalahnya, dalam perkara-perkara itu bisa melampaui batas kesalahan dan dosa karena penentangan, ketika hal itu merupakan wujud ketaatan, ketundukan dan kepasrahan kepada adat suatu masyarakat yang dihormati padahal ia adalah bikinan manusia. Sementara itu, perintah Allah Rabb manusia yang jelas dan bersumber dari-Nya ditinggalkan dan diacuhkan. Pada saat itu perkara tersebut bukan lagi hanya dosa dan kesalahan, tapi sudah menjadi syirik. Karena hal itu merupakan ketundukan kepada selain Allah dalam perkara-perkara yang menentang perintah-Nya. Dari sudut ini, perkara menjadi sangat berbahaya.
Ayat di atas mengenai sasaran orang-orang yang dihadapi rasulullah di Jazirah Arab, dan mencakup sasaran orang-orang lainnya di setiap zaman dan setiap tempat. (Tafsir Fi Zhilalil Qur’an- jilid 7- Gema Insani- hlm 19)

Ketika Sayyid Qutb mengatakan “Pada saat itu perkara tersebut bukan lagi hanya dosa dan kesalahan, tapi sudah menjadi syirik”, maka kita yang hidup di era badai fitnah dewasa ini sepatutnya berhati-hati dan merasa khawatir. Sebab di dalam Sistem Dajjal begitu banyak –kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya- aturan dan hukum yang diberlakukan bukan bersumber dari hukum Allah melainkan hukum bikinan manusia. Dan Allah menyatakan bahwa hukum di dunia ini hanya ada dua macam, hukum Allah atau hukum thaghut. Hukum Allah wajib ditegakkan dan ditaati, sedangkan hukum thaghut wajib diingkari dan dijauhi. Demikian firman Allah.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa 60)
Mengomentari ayat di atas Ibnu Katsir menulis:
Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada RasulNya dan kepada para nabi yang mendahului Nabi kita. Walaupun pengakuannya demikian, mereka tetap berhakim kepada selain Kitab dan Sunnah. Demikian pula ayat ini mencela orang yang berpindah dari hukum Allah dan RasulNya kepada kebatilan selain keduanya, kebatilan itulah yang disebut thaghut di sini. Oleh karena itu Allah berfirman “Mereka hendak berhakim kepada thaghut”.(Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir-jilid 1-Gema Insani-hlm 742-743)

Dewasa ini hukum Allah tidak dimuliakan, disucikan dan ditinggikan. Yang dimuliakan adalah hukum bikinan manusia, aturan nenek-moyang, adat-istiadat setempat atau deklarasi hak asasi manusia dan sejenisnya. Apakah manusia modern mengira bahwa Allah tidak sanggup merumuskan hukum yang memenuhi rasa keadilan seluruh umat manusia? Sehingga mereka lebih memuliakan dan meyakini hukum produk manusia yang dinilai adil, up-to-date dan akomodatif untuk menyerap aspirasi aneka jenis manusia di muka bumi? Jika demikian adanya, sungguh keji logika manusia modern..! Mereka telah gagal menangkap tanda-tanda kebesaran Allah yang terus-menerus menjamin rezeki segenap makhluk, baik manusia maupun hewan di langit dan di bumi. Kok bisa mereka berprasangka bahwa Dzat yang seperti itu tidak sanggup merumuskan hukum yang adil? Sementara manusia yang tidak sanggup menjamin rezeki untuk dirinya sendiri saja kok malah diyakini produk hukumnya dapat memenuhi rasa keadilan segenap manusia..! Pantas Allah menantang manusia kafir itu dengan pertanyaan berikut:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)

Berarti, sudah jelaslah, bahwa kata kuncinya terletak pada kata-kata “bagi orang-orang yang yakin”. Jika sekedar mengandalkan pengakuan seseorang bahwa dirinya muslim atau beriman, maka ini tidak menjamin. Tetapi diperlukan pembuktian lebih lanjut. Pembuktian itulah yang menandakan hadir tidaknya keyakinan alias iman. Sah atau tidaknya iman. Maka jika kita kembali kepada pembahasan di awal mengenai “orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya,” mereka adalah orang-orang yang boleh jadi secara lisan mengaku muslim atau mengaku beriman, tetapi sejatinya di mata Allah mereka adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah.

Mereka adalah orang-orang yang hanya sibuk memperbanyak amal namun tidak merenungkan apakah tumpukan amalnya itu sudah benar-benar dilandasi iman yang sah atau tidak. Benarkah mereka telah menjadikan kalimat tauhid sebagai fondasi berbagai amal mereka? Atau mereka sesungguhnya tidak pernah peduli apakah ketika beribadah kepada Allah mesti disertai pengingkaran kepada thaghut? Atau mereka mengira bahwa banyak beramal merupakan suatu perkara mulia yang pasti bakal mendatangkan kebaikan dari Allah walaupun amal itu berlandaskan penerimaan diri akan hukum thaghut? Sungguh jauh sekali prasangka mereka dari kebenaran yang Allah terangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu dalam ayat berikutnya Allah menegaskan bahwa orang-orang yang beramal sholeh dengan dilandasi iman yang benar sajalah yang bakal dijamin memasuki surga Firdaus-Nya. Orang-orang yang tidak saja sadar pentingnya beribadah kepada Allah tetapi juga faham urgensi menjauhi dan mengingkari thaghut.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ
الْفِرْدَوْسِ نُزُلا خَالِدِينَ فِيهَا لا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.” (QS Al-Kahfi 106-107)

Saudaraku, beramal sholeh itu penting. Tetapi yang jauh lebih penting lagi adalah beriman yang benar sebelum beramal. Sebab bila iman sudah benar, maka sekecil dan sesedikit apapun amal seseorang, niscaya ia akan memperoleh balasan yang baik dan berlipat dari Allah di akhirat kelak. Namun sebaliknya, sebanyak apapun amal seseorang jika tidak dilandasi oleh iman yang benar, niscaya ia akan merugi di akhirat kelak. Sebab Allah tidak akan memberikan penilaian apapun atas amal yang tidak berlandaskan iman yang benar tadi.
Hidup di era penuh fitnah seperti saat ini banyak sekali ditemukan ancaman terhadap eksistensi iman yang benar. Tawaran untuk mengingkari Allah sangat banyak dan menggiurkan. Tawaran untuk berkompromi bahkan bekerjasama dengan thaghut sungguh sangat ramai dan menjanjikan keuntungan duniawi. Keadaan dunia dewasa ini sangat tepat digambarkan oleh hadits Nabi berikut ini:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Nabi bersabda: “Segeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di pagi harinya. Dia menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia.” (HR Muslim  169) Shahih
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا لَا يَرْتَدُّ
“Ya Allah, aku meminta kepadamu keimanan yang tidak akan murtad.” (AHMAD – 4112)

Eramuslim

Salam Penuh Cinta,


|Naa|

Ada Apa Dengan Poligami ??


Poligami tergolong topik yang kontroversial di tengah umat. Tarik ulur bahkan perdebatan sengit sering terjadi seputarnya. Setiap pihak berbicara sesuai dengan strata/tingkatannya. Mulai kelas bawah yang “kampungan”, seperti “Satu istri saja nggak habis, apalagi banyak.” Yang lain menimpali, “Satu istri gag nyukupin, apalagi banyak.” Hingga kelas atas yang pembicaraannya bernuansa ilmiah, seperti poligami itu syariat ilahi yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kalian takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’: 3)

Rasulullah selaku teladan terbaik umat manusia, menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami, sebagaimana yang dikisahkan dalam sirahnya. Demikian pula para sahabat beliau n yang mulia, tidak sedikit dari mereka yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami, sebagaimana dalam kitab-kitab tarikh. Ini semua sebagai bukti bahwa poligami merupakan bagian dari syariat Islam yang mulia.

Yang lain menimpali, “Memang benar poligami itu syariat ilahi, tapi ngono yo ngono ning ojo ngono (gitu ya gitu tapi jangan gitu).” Artinya, walaupun poligami itu termasuk dari syariat Islam yang mulia, tetapi perasaan kaum wanita juga harus diperhatikan. Lebih dari itu, banyak rumah tangga yang berantakan karena poligami! Perceraian tak dapat dihindari, anak-anak pun hidup tak menentu.Wallahul musta’an.

Para pembaca sekalian, semoga hidayah dan taufik Allah Subhanahu wata’ala selalu mengiringi kita, tak dimungkiri bahwa pandangan dan pembicaraan tentang poligami sangat beragam di tengah umat ini. Namun, ada kaidah penting yang harus diperhatikan oleh setiap insan yang beriman dalam menyikapi berbagai permasalahan hidup, termasuk poligami. Yaitu, menerima segala syariat dan ketetapan yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lapang dada dan berbaik sangka kepada syariat- Nya, tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati.


Atas dasar itu, setiap mukmin dan mukminah yang menjunjung tinggi nilai nilai keimanan tidak boleh menolak syariat dan ketetapan yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Tidak boleh pula mendahulukan perasaan, logika, ataupun hawa nafsu atas segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.


Itulah di antara konsekuensi keimanan yang harus selalu dipegang erat-erat oleh setiap insan yang beriman. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
 “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)

Dengan menerima segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya n akan terwujud kehidupan yang berbahagia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
 “Hai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada- Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (al- Anfal: 24)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratul Basyar Ilaiha mengatakan, “Maka Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sikap menyambut seruan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan sikap enggan menyambut seruan tersebut sebagai kematian. Sehingga jelaslah bahwa syariat Islam merupakan kehidupan bagi umat dan pangkal kebahagiaan mereka. Sungguh tidak ada kehidupan dan kebahagiaan bagi mereka tanpa itu semua.”

Sungguh berbeda kondisi orang-orang yang Allah Subhanahu wata’ala lapangkan dadanya untuk menerima agama Islam dengan segala syariat dan ketetapannya, dengan orang-orang yang telah membatu hatinya dan berkesumat benci terhadapnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Maka apakah orang-orang yang Allah lapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Apakah sama orang yang Allah Subhanahu wata’ala lapangkan dadanya untuk menyambut agama Islam, siap menerima dan menjalankan segala hukum syariat yang dikandungnya dengan penuh kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah makna firman Allah Subhanahu wata’ala, ‘ia mendapat cahaya dari Rabbnya’), sama dengan selainnya?!

Yaitu orang-orang yang membatu hatinya terhadap Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala, dan berat hatinya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, kondisinya selalu berpaling dari ibadah kepada Rabbnya dan mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Subhanahu wata’ala. Merekalah orang-orang yang ditimpa kecelakaan dan kejelekan yang besar.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 668)

Para pembaca yang mulia, bila kita perhatikan dengan saksama, sungguh ketetapan tentang poligami yang sedang dipermasalahkan itu telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketetapan tentang poligami dijelaskan dalam al- Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3. Demikian pula dalam as-Sunnah, ketetapan tentang poligami dijelaskan dengan praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga beliau dan sejumlah hadits yang berisi aturan penting bagi siapa saja yang menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami.

Dari sini terkandung pelajaran berharga bahwa poligami tidak lain adalah syariat ilahi yang ditetapkan dalam kitab suci al-Qur’an dan as- Sunnah. Setiap muslim dan muslimah harus membenarkan syariat tersebut dan menerimanya dengan lapang dada tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati. Terlepas apakah ada kemampuan untuk menjalaninya ataukah tidak. Mengingat, poligami itu sendiri hukum asalnya adalah sunnah atau mubah, bukan wajib.

Bahkan, bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja, sebagaimana yang dibimbingkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas.

Sekali lagi, Adapun kasus-kasus kelabu seputar poligami; keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana, maka itu bukan karena syariat poligaminya. Penyebab utamanya adalah oknum yang menjalani poligami tersebut. Sama halnya dengan kasus-kasus kelabu seputar pernikahan yang tidak poligami atau perselingkuhan suami/istri; keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana. Penyebab utamanya adalah oknum yang bersangkutan, bukan syariat pernikahannya.

Maka dari itu, pernikahan baik dengan poligami maupun tidak poligami tetaplah sebagai syariat ilahi yang mulia. Yang mencemarkannya adalah para oknum yang menjalaninya. 


Sejarah Poligami

Menilik sejarahnya, poligami bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan umat manusia. Sejak dahulu kala umat manusia telah menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Bahkan, di antara mereka adalah para nabi dan rasul yang mulia.

Cobalah ingat kembali sosok Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bukankah beliau berpoligami?! Dari Sarah istri beliau yang pertama, lahir Nabi Ishak ‘Alaihissalam yang menurunkan para nabi dan rasul di kalangan bani Israil. Adapun dari Hajar istri beliau yang kedua, lahir pula Nabi Isma’il ‘Alaihissalam yang menurunkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sepenggal kisah dari kehidupan mereka yang mulia telah diabadikan dalam beberapa surat dari al-Qur’an.

Demikian pula Nabi Dawud ‘Alaihissalam dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam serta sejumlah nabi yang lain, mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Ketika orang-orang mulia dari kalangan nabi dan rasul telah menjalaninya, berarti poligami itu tidaklah tercela. Kalaulah poligami itu tercela dan berefek negatif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, pasti Allah Subhanahu wata’ala melarangnya.

Para pembaca yang mulia, dari sejarah poligami di atas dapat diambil pelajaran berharga bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam  bukanlah rasul pertama yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Demikian pula agama Islam yang beliau bawa, bukan yang mengawali syariat poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Bedanya, syariat poligami yang terdapat dalam agama Islam tertata, adil, dan jauh dari perbuatan zalim. Pada zaman dahulu, jumlah istri dalam praktik poligami tidak dibatasi. Siapa saja boleh memperbanyak istri tanpa ada batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, jumlah itu dibatasi, maksimal empat orang istri saja.

Pada zaman dahulu, orang bebas berpoligami sekehendak hatinya. Dengan hanya modal semangat pun bisa. Setelah kedatangan Islam, orang yang berpoligami tidak cukup hanya dengan modal semangat, tapi juga harus dengan pertimbangan yang matang. Bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja.

Pada zaman dahulu, amalan poligami dijalani berdasarkan “kebijakan” suami. Setelah kedatangan Islam, amalan poligami harus dijalani berdasarkan aturan syariat. Yaitu, dengan menegakkan prinsip keadilan dan kehati-hatian terkait dengan hak para istri dalam hal; nafkah, tempat tinggal, waktu menginap (giliran bermalam), dan kewajiban lainnya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi telah berpoligami dengan sembilan orang istri. Allah Subhanahu wata’ala menjadikan mereka bermanfaat bagi umat. Melalui merekalah sejumlah ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia, dan budi pekerti luhur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (terutama saat berada di tengah-tengah keluarganya, pen.) dapat tersampaikan kepada umat. Nabi Dawud ‘Alaihissalam dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam juga telah berpoligami dengan para istri yang banyak jumlahnya dengan seizin Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula tidak sedikit dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi setelah mereka yang berpoligami.

Sungguh, amalan poligami ini telah dijalani oleh umat terdahulu yang telah mencapai kemajuannya, sebagaimana pula telah dijalani oleh bangsa Arab jahiliah sebelum Islam. Datanglah Islam dengan memberikan berbagai batasan padanya dan menentukan jumlah maksimal untuk umat Islam dengan empat orang istri, sedangkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dibolehkan lebih dari empat orang istri sebagai kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam karena hikmah, rahasia, dan maslahat di balik itu semua.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 21/239)

Wallahul musta’an.


Salam Penuh Cinta,


|Naa|

Poligami Syariat Yang Ditentang; Kasih Sayang-Nya Maha Luas



Serasa disambar petir di siang bolong, ketika seorang istri—yang tidak bisa menerima syariat poligami, seakan-akan tak sudi untuk diduakan—mendengar suaminya sudah punya istri lagi selainnya, atau bahkan baru sekadar berencana menikah lagi.

Poligami memang masih menjadi hal yang mengganjal bagi para istri dan kaum hawa secara umum, selain yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, tak heran apabila syariat ini mengundang protes dan kritikan di mana-mana. Padahal, syariat poligami bukan buatan kaum lelaki untuk menzalimi perempuan, melainkan Allah Subhanahu wata’ala—Dzat Yang Maha Mengetahui kemaslahatan para hamba—yang menetapkannya.

Bisa jadi, lubuk hati kita akan bertanya, “Sekejam itukah aturan syariat  yang diturunkan dari tujuh lapis langit ini oleh Allah Subhanahu wata’ala, sehingga mengundang protes dari para hamba-Nya?” Jelas, jawabannya, “Tidak.” Sebab, Allah Subhanahu wata’ala sendiri amat penyayang kepada para hamba-Nya dan tidak akan menzalimi mereka sedikit pun. Kebencian kepada poligami ini diperparah dengan propaganda dan slogan-slogan ‘merendahkan perempuan’, buku-buku, lagu-lagu, dan film-film yang menggambarkan kelamnya poligami, ditambah praktik yang salah dari pelakunya, dan sebagainya.

Kalau dirunut, sebenarnya ada otak yang bermain di balik semua kebencian ini. Ya, ini sebenarnya ulah orang-orang kafir dan kaki tangannya yang memang ingin menjelekkan Islam dan tidak akan pernah meridhainya. Salah satu yang mereka anggap sebagai celah mencacati Islam adalah syariat poligaminya. Dikaranglah sekian igauan untuk memperburuk perkara yang halal ini. Yang menyedihkan, kaum muslimin juga mau mendengarkan igauan mereka tersebut, wallahul musta’an.

Islam dianggap kelam dengan syariat poligaminya. Lantas bagaimana dengan orang-orang kafir di negeri Barat, yang laki-laki dan perempuannya hidup bebas, tidak peduli istri orang, perselingkuhan, perzinaan, kemudian dijiplak oleh sebagian artis atau selebritas yang mengaku muslim di negeri kita; tidakkah itu dianggap kelam, bahkan pekat dan sangat kotor? Mengapa orang mau memaklumi sesuatu yang haram, menerima, dan memaafkannya, sedangkan untuk sesuatu yang halal seolah-olah tidak ada maaf? Kenyataan yang terjadi, ketika seorang istri mengetahui suaminya selingkuh, punya kekasih gelap, ia masih bisa memaafkan suaminya, memaklumi, dan mau berbaikan kembali. Tetapi, tidak ada maaf ketika suaminya menikahi perempuan lain secara sah, ‘Pilih dia ceraikan aku, atau pilih aku ceraikan dia!’Wallahul musta’an.


Suara protes jelas banyak datang dari perempuan sebagai pihak yang merasa dirugikan dengan aturan ini. Cemburu, merasa dizalimi, direndahkan, diduakan, takut kehilangan cinta, dan sebagainya, menjadi alasan. Kalau bisa protes kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya, mereka akan protes (dan sudah mereka lakukan!). Padahal seperti yang telah dinyatakan sebelum ini, Allah Subhanahu wata’ala sebagai Pencipta, Pemberi segalanya, dan Pengatur alam semesta ini, tentu lebih tahu kebutuhan para hamba dan yang menyebabkan kebaikan bagi mereka. AllahSubhanahu wata’ala menyatakan,
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
 “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik bagi kalian. Dan bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal sesuatu itu tidak baik bagi kalian. Allahlah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)

Dari nama-Nya yang agung, Ar- Rahman dan Ar-Rahim, kita juga tahu bahwa Allah Subhanahu wata’ala amat penyayang kepada para hamba-Nya. Sama sekali Dia tidak pernah menzalimi mereka.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّة
“Sesungguhnya Allah tidak pernah menzalimi walaupun sebesar zarrah2….” (an-Nisa: 40)


Bahkan, Dia adalah Dzat Yang Mahaadil, yang keadilan-Nya ada pada puncak kesempurnaan. Dengan demikian, ketika menetapkan syariat poligami, Dia Mahatahu bahwa hal itu memberikan kemaslahatan kepada para hamba. Bisa kita katakan, Dia menetapkan syariat poligami sebagai kasih sayang-Nya kepada para hamba- Nya, baik lelaki maupun perempuan.

Salam Hangat,

|Naa|

Poligami, Syariat Yang Ditentang !

Poligami adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mempunyai istri lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Dalam bahasa Arab, poligami disebut ta’addud az-zaujat.

Banyak wanita mempertanyakan buruknya praktik ta’addud (poligami) dalam Islam. Mereka kemudian menolak keras poligami dengan alasan menyakiti wanita. Penolakan ini bahkan merembet hingga menggugat syariat, menganggap syariat tak lagi memberikan keadilan. Dengan gelap mata, penafsiran ajaran agama selama ini divonis hanya memihak kaum laki-laki, serta dituduh dipahami secara tekstual dan parsial.

Alhasil, wanita boleh meradang ketika suaminya menikah lagi. Lantas, kenapa banyak wanita yang dibiarkan jadi selingkuhan pria beristri? Mengapa pula banyak wanita yang dengan sukacita jadi “istri” simpanan demi seonggok materi? Dan mengapa tak sedikit istri yang lebih senang suaminya “jajan” atau selingkuh ketimbang kawin lagi, (lagi-lagi) dengan alasan materi—takut harta suami direbut madunya, warisan suami akan terbagi, dsb? Alasan menyakiti wanita pun kian abu-abu. Tanpa pernikahan resmi, biaya sosial yang muncul jelas sangat besar. Jika seks bebas dan perselingkuhan dibiarkan, siapa yang paling merasakan akibatnya? Siapa yang menanggung jika terjadi penyebaran Penyakit Menular Seksual (PMS) akibat gonta-ganti pasangan di luar nikah? Ujung-ujungnya, yang jadi korban atau setidaknya objek seks adalah perempuan. Lantas, mengapa poligami yang merupakan wujud tanggung jawab seorang pria untuk menikahi wanita secara terhormat justru dikesankan demikian seram?

Memang, dalam praktiknya banyak orang yang “mau cari enaknya” ketika berpoligami, mencari “daun muda” lantas menelantarkan istri pertama. Alhasil, kebanyakan kita cenderung memandang dari realitas yang ada bahwa mengamalkan poligami hanya akan menciptakan kekerasan terhadap perempuan, dsb. Jika ditelisik, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukanlah soal poligaminya.

Di rumah tangga monogami sekarang, juga marak KDRT. Apakah dengan itu kita lantas menyalahkan monogami, kemudian dengan alasan kontekstual menganjurkan hidup membujang? Kalau begitu, mengapa poligami yang dituding merusak hubungan rumah tangga? Bukankah perselingkuhan dan perzinaan itu yang menyebabkan rusaknya rumah tangga? Intinya memang bukan monogami atau poligaminya, tetapi lebih ke pelaku. Analoginya, ada orang shalat namun masih bermaksiat, orang berjilbab tetapi tidak beradab, dst. Apakah (lagi-lagi) dengan alasan kontekstual kita lantas menggugat shalat, jilbab, dsb?

Maka dari itu, kita semestinya lebih mendalami ajaran agama agar tidak salah memahami, bisa bersikap positif terhadap syariat Allah Subhanahu wata’ala dan kepada mereka yang telah mengamalkannya. Apalagi kesuksesan atau kegagalan berumah tangga adalah hal lumrah. Monogami sekalipun, jika persiapannya asal-asalan, hasilnya juga tidak akan baik. Oleh karena itu, jika pada kehidupan poligami terjadi “kegagalan”, kita bisa bersikap bijak dengan tidak mudah menyalahkan poligaminya. Yang harus kita pupuk adalah kesiapan ilmu dalam membina rumah tangga.

Ketika seorang pria hendak berpoligami, dia harus memahami syariat ta’addud (poligami) secara benar agar bisa mempraktikkan secara benar pula. Dalam kehidupan poligami, laki-laki tentu akan lebih “dipusingkan”. Ia dituntut menjadi nakhoda yang baik bagi beberapa bahtera. Bagi lelaki yang bertanggung jawab dan bagus dalam praktik poligami, waktu lebih yang ia luangkan, materi lebih yang ia keluarkan, serta tenaga dan pikiran lebih yang ia curahkan, sejatinya tak sebanding dengan “kenikmatan” yang ia dapatkan. Lebih-lebih, jika ia benar-benar menikahi wanita-wanita yang secara logika “tidak menguntungkan” untuk dijadikan istri, seperti janda papa beranak banyak.


Akhirnya, kebesaran jiwa seorang istri juga dibutuhkan di sini. Wanita tidak perlu takut kebahagiaannya akan berkurang kala suaminya menikah lagi. Bahkan, semestinya seorang wanita sholehah akan bertambah bahagia kala ia ikhlas menerimanya karena menjadi istri sholehah itu pilihan dan jaminan nya adalah surga Allah Ta'ala. Sebab syariat diperbolehkannya poligami ini bukanlah sebab poligami adalah sunnah Rasulullah, tapi sebab poligami syariat langsung dr Allah Azza wa Jalla

Bersambung,-InsyaAllah-

Salam,

|Naa|


Izinkan aku Bercerita, De-U-eR-I


Seringkali, marahnya wanita lebih dibahasakan dengan air mata.

Sebab itu aku memilih untuk merunduk dibalik sujud dengan tangis meluruh tumpah ruah, kubiarkan menetes di atas ‘Sajadah(mu)’. Biar malaikat menghapus bulirannya agar tak tampak oleh mata hujan yang meruncing dengan bising, biar malaikat meredam gemetar didadaku; geram yang dibahasakan dengan begitu sempurna.

Dan, rindunya wanita seringkali disampaikan lewat do’a.

Sebab itu aku selalu memperbanyak membaca ayat-ayat-Nya, meredam rindu yang menyerbu tak tau waktu. Aku yang sering ditikam berulang-ulang oleh ingatan akan ayat-ayat yang (dulu) sering kau lantunkan. Hingga tangispun tumpah ruah, menetes membasahi ‘Alquran(mu)’.

Lalu “Baik-Baik Saja” memang selalu jadi tonggak paling pas untuk kekuatan yang nyaris tumbang. Aku tak punya cara lain kecuali dengan mendo’a.

Dan menulis adalah cara terbaik membuang air mata dengan tidak sia-sia setelah sebuah do’a.

Sedari jauh kau bilang aku tak boleh lagi berucap lewat sastra yang sarat akan siratan surat. Katamu, jangan sampai lagi ada luka karena abjad-abjad yang kubiarkan menari dengan lenggoknya, sesuka hati kesana kemari. Bukankah tak ada yang tau apa yang kuutarakan melalui satu-dua bait ini, kak ? Dan kupanggili dengan sebutan ‘Kakak’, siapalah yang tau itu adalah engkau, lelaki yang pandai sekali mengajariku soal perasaan; hati yang menguat disetiap sepertiga malam. Kalau maksudmu adalah dia –wanitamu- untuk kau jaga hati dan perasaannya, sungguh, kalau kau baca kalimatku ini, mbak… izinkan aku menulis. Hanya sekedar tulisan, sepanjang lariknya hanyalah kata, apalah artinya bagimu ? Maka tak perlulah kau baca dengan seksama. Tak semestinya dihayati, kecuali melahirkan pemikiran yang lebih bijaksana. Atau haruskah aku memohon padamu, mau dengan cara yang bagaimana lagi agar membuatmu percaya bahwa rima didalam syairku bukanlah untukkau maknai setiap hurufnya. Cukup izinkan saja aku menulis setelah puas menangis. Bolehkan ?

Kau bilang, aku boleh menulis asal bukan perkara yang berpaut denganmu, atau dia, atau kalian, atau kita. Ini soal aku, kau pikir ini soal apa ? Ini soal hatiku yang sesak dan butuh ruang untuk melepaskan. Lalu dengan apa lagi aku mencurah kalau bukan lewat suara yang mengisyaratkan jiwa ? Aku tak butuh perlakuan istimewa, sungguh, kau boleh percaya atau tidak, aku tak menginginkan kau pahami naluriku sebagai seorang wanita. Aku hanya mampu membasuh duka lewat bahasa, salahkan aku yang tak sanggup memenuhi permintaanmu untuk menghentikan jemari.

Tanpa aku sadari ternyata kalimatmu melesat begitu cepat dan mengendap di ujung kepala. Aku tak bermaksud jadi pembangkang, tak mengindahkan suaramu yang mengaung keras mengitari atma. Ketika bagimu ia pantas dijaga hatinya, sepersekian detik kemudian aku berusaha membantumu untuk menjaganya. Aku benar-benar sudah menahan dahaga untuk tak melentikkan sederet sajak-sajak berbicara. Sudah kujajal tak kujejal penatku dengan aksara, tapi aku tak bisa menahan apa yang sudah jadi kebutuhan. Sedang tangisku saja tak cukup ahli dalam mencipta ketenangan. Percayalah, taka da yang tahu-menahu udang jenis apa dibalik batu yang kuletakkan di atas pusara.

Kamu –pembaca setia- tak mengerti apa yang sedari tadi kulibatkan sejak awal paragraf sampai titik koma diakhir pemilihan kata. Begitu kan ?

Izinkan aku pergi darimu, De-U-eR-I. Izinkan aku melepas lelah karenamu. Izinkan aku meluruh jenuh, jauh, jauh, jauh… agar aku tak bisa lagi mengeluh padamu. Agar aku tak bisa lagi menangis dibalik punggungmu. Izinkan aku pergi darimu, De-U-eR-I. Izinkan aku terbang dan menetap disana, Neptunus.

Kota penenang jiwa yang menyisakan seabrek kenangan. Barangkali sudah penuh sesak dengan para pendatang. Biar aku yang pergi, biar aku yang tahu diri, biar aku yang menepi. Ah,…….. De-U-eR-I, ketika tetiba merasa lelah seperti ini, ingatkan aku bahwa butuh kesabaran yang lebih kuat untuk kebahagiaan yang lebih hebat.

Teruntuk wanita : Tegaslah pada hatimu. Pilih cara yang paling bijak untuk menjaga perasaanmu. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan merawat hatimu ?

Jangan biarkan aku bermanja pada siksa. Jangan pernah biarkan aku lena bersama getir nestapa. Tolong, jangan biarkan prasangka menguasai seisi rangka dalam raga. Aku tak ingin kecewa jadi alasan untuk sebuah kepergian dan berhentinya kepedulian. Bahwa semestinya ketika aku memutuskan untuk berani mencinta dan menyayangi seseorang, yang pertama harus kupersiapkan adalah kekuatan hati untuk memaafkan. Sebab ia selalu butuh pertahanan melalui maaf yang dilakukan berulang-ulang.


The Anthology Of Love,

|181085|
181085-Maafkan aku menulis lagi..