Saat bahtera cinta pasutri berlabuh di dermaga rumah tangga,
berjuta impian hadir membayangi sepasang kekasih yang sedang
dilanda asmara. Gambaran indahnya menari-nari di pelupuk mata,
tuk rajut hari esok yang penuh warna.
Sebuah euforia menyeruak
dari rongga dada,
tatkala cinta di hati mulai tumbuh berbunga.
Akankah asa itu seindah
nyata?
***
Pernikahan bukan hanya
tindakan penyaluran cinta atau kebutuhan biologis tanpa upaya menuai
pahala. Akan tetapi, setiap insan tentu mengidamkan suatu pernikahan
yang dipenuhi rasa bahagia, penuh nuansa cinta dalam hidup berumah tangga,
selain sebagai suatu cara yang bisa menghantarkan pelakunya ke surga (baca:
bernilai ibadah). Sungguh lebih nikmat terasa, bersanding dengan tambatan hati
yang didamba. Maka tak heran jika terkadang seabrek kriteria pun diajukan, demi
mendapat pasangan impian.
Persoalan level standar subyektif yang
ditetapkan calon pasangan sangatlah beragam. Tiap individu tentu ingin
mendapatkan yang terbaik sebagai pasangan hidupnya, dalam rangka mendambakan
bahagia dalam bahtera rumah tangga. Oleh karena itulah, timbul beragam patokan
standar pemilihan calon pasangan. Pada dasarnya patokan kriteria itu
boleh-boleh saja, selama kriteria tersebut hanya dijadikan patokan sementara
yang bersifat opsional dan fleksibel.
Artinya: Jikalau
memang ternyata tidak ditemukan yang sama persis dengan kriteria idealnya, maka
dia tidak memadharatkan dirinya sendiri dengan menunda pernikahan, demi
mendapatkan yang sama persis dengan dambaan hatinya. Padahal, kondisinya
sendiri sudah berada dalam “ambang
batas” wajib untuk menikah. Sungguh merugi jika dengan standar yang
terlalu tinggi, malah menjadi “batu
sandungan” bagi diri sendiri maupun orang lain untuk menuju jenjang
pernikahan.
Seseorang
seringkali menetapkan kriteria tambahan bagi calon pasangan, seperti : harta,
garis keturunan, kepribadian, kebiasaan, bahkan yang paling umum menyangkut
fisik dan “keelokan”
rupa -maaf, mungkin agak sensitif
terlebih bagi wanita-. Akan tetapi, terlalu ironis apabila kriteria
tersebut -yang sejatinya bisa
ditawar- malah justru membantai kriteria asasi (baca: kriteria yang
menyangkut agama) yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan RasulNya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Penulis memohon maaf untuk tidak banyak menyinggung
berbagai macam kriteria pernikahan, karena bukan dalam kesempatan ini dibahas
tentang hal tersebut dalam timbangan syari’at.
Kriteria opsional memang penting, tapi yang asasi
itu tentu jauh lebih penting. Suatu hal yang dianggap manusiawi
ketika seseorang menginginkan kriteria asasi maupun opsional terkumpul menjadi
satu. Akan tetapi, hendaknya dia lebih bersikap logis dan realistis, daripada
menjadi sosok yang terlalu idealis lagi perfeksionis. Mulailah bersikap
realistis…teramat susah mencari pendamping yang nyaris sempurna.
Kalaupun sudah ditemukan, jangan terlalu girang dahulu ! Karena bisa jadi si pujaan hati bukan mendamba orang seperti Anda menjadi pendamping hidupnya. Yang jadi pertanyaan selanjutnya bagi diri Anda adalah, “Apakah dia sudi bersanding dengan saya? Apakah dia memang benar-benar yang terbaik untuk saya?” Karena belum tentu yang terbaik menurut Anda, merupakan yang terbaik menurut Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi justru yang “pas-pasan” itulah yang terbaik bagi Anda.
Andaikata lisan
membenarkan pernyataan “saat ini, tidak ada
manusia yang sempurna dan terbebas dari cela”, selayaknya
hal tersebut terpatri dalam pikiran dan diaplikasikan dalam bentuk perbuatan,
yakni bersikap lapang dada dan toleran terhadap kekurangan calon pasangan
maupun pasangan yang telah didapatkan. Sekali lagi penulis tandaskan:
menetapkan kriteria sampingan tidaklah salah, bahkan itu selaras dengan sisi
manusiawi, dan bisa juga turut membantu melanggengkan ikatan cinta pasutri.
Akan tetapi, yang hendak dikritisi di sini, jangan sampai itu justru menjadi kendala
dalam fase menuju pernikahan (belum mau menikah hanya karena keras kepala dalam
menetapkan kriteria opsionalnya).
تريد مهذبا لا عيب فيه … وهل عود يفوح بلا دخان؟
“Apabila
engkau mendamba seorang yang berbudi tanpa cela,
mungkinkah kiranya gaharu menebarkan wanginya tanpa asap?”
(Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-’Arabi)
mungkinkah kiranya gaharu menebarkan wanginya tanpa asap?”
(Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-’Arabi)
Pepatah ini mengibaratkan mustahilnya
keinginan seseorang untuk mendapatkan orang yang sempurna tanpa cela, baik
untuk dijadikan kawan dekat maupun kawan hidup, karena gaharu justru baru akan
menebarkan aroma wanginya yang begitu kuat jika dibakar terlebih dahulu
kemudian berasap. Justru asap gaharu itulah yang nantinya akan mengeluarkan
semerbak harumnya yang khas.
Dikisahkan bahwa
Khalifah Umar ibn ‘Abdil Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada putranya.
Salah satu perkataan Beliau dalam surat tersebut adalah,
رَحِمَ اللهُ امْرَأً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ
“…Semoga Allah merahmati orang yang tahu kemampuan
dirinya sendiri…” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah)
Perkataan di
atas sama sekali tidak bermaksud untuk menyurutkan atau bahkan mematikan
semangat dan harapan orang yang belum menikah untuk mendapatkan pasangan yang
berkualitas lebih dari dirinya. Akan tetapi, perkataan di atas lebih ditujukan
sebagai pengingat bagi para idealis dan perfeksionis yang seringkali “neko-neko” untuk lebih
sadar diri tentang kemampuan yang dimilikinya, dalam menetapkan kriteria
sampingan yang pada dasarnya masih bisa ditawar. Sebagaimana ungkapan yang
sering kita dengar,
“Apabila Anda tidak memiliki kualitas sebaik
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan terlalu berangan tinggi bahwa
Anda akan mendapat istri seperti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bilamana Anda
bukan seperti ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, maka jangan terlalu bermimpi mendapatkan
wanita sebagaimana Fathimah radhiyallahu ‘anha.”
Ungkapan
permisalan ini memang tidak bisa dibawa secara paten, karena bisa saja seorang
yang berkualitas, namun mendapat pasangan yang kurang sederajat dari segi
kualitasnya. Akan tetapi, sekali lagi ungkapan tersebut hanyalah sebagai
pendorong bagi seseorang untuk kembali pada alam realita. Ungkapan ini juga
berguna sebagai kontrol agar seseorang hendaknya berusaha menyadari kemampuan
yang dia miliki, sehingga dia tidak lagi hanyut dalam alam mimpinya untuk
mendapatkan pasangan yang serba “wow”.
Maka patut Anda
pertanyakan dalam diri Anda, “Apakah Anda
memiliki kualitas bak lelaki penghuni surga yang tanpa cela, hingga Anda
mengidamkan pasangan semisal bidadari yang sempurna tiada bandingnya?”
Fenomena di atas hanya secuil gambaran
onak yang bertaburan di jalan pra nikah. Ada lagi kisah calon pengantin yang
didera perasaan minder dan sebagainya hingga berkecamuklah gejolak di hatinya,
- “Saya
belum bekerja”… “Saya hanya seorang…”…”Gaji saya cuma pas – pasan”…”Dia dari
keluarga berada sedangkan saya dari keluarga biasa saja.”
- “Saya
belum bisa mengaji…ilmu saya masih sedikit…belum bisa ini…belum bisa itu…”
- “Saya biasa saja, sedangkan calon saya itu terlalu cantik/tampan…saya merasa tidak sebanding dengan dia.” dan lain sebagainya.
- “Saya biasa saja, sedangkan calon saya itu terlalu cantik/tampan…saya merasa tidak sebanding dengan dia.” dan lain sebagainya.
Hati ini merasa
miris melihat realita yang terbentang di hadapan mata, manakala banyak orang
yang terjangkit sindrom “pilu sendu
mengharu biru” pra nikah,
karena faktor internal maupun eksternal. Oleh sebab itu, kami ingin
menyampaikan beberapa ulasan yang mungkin berguna bagi penderita sindrom
tersebut.
1. Mengikhlaskan niat
Niat merupakan
titik awal dilakukannya suatu perbuatan. Lurus atau tidaknya niat pada Fase
awal pernikahan sangat berpengaruh pada kokoh atau tidaknya bangunan rumah
tangga. Bangunan pernikahan tipe “SAMARA” perlu pondasi niat lurus yang kokoh,
pilar-pilar keikhlasan agar selalu tegar dan tegak berdiri, tembok dari
ketakwaan yang dapat membentenginya dari serbuan hawa nafsu, dan puncak atap
yang tersusun dari keinginan bertemu wajahNya di surga Al-Firdaus
Al-A’la.
Dengan memahami hakikat inti pernikahan, tiap individu hendaknya mencoba bertanya pada diri sendiri, kemudian menjawab dengan hati nurani :
a. Apa sebenarnya tujuan pokok saya
menikah? Apa hanya semata – mata memuaskan hasrat kodrati yang manusiawi? atau
melaksanakan sunnah? atau dalam rangka menjaga kemaluan dan pandangan…atau
dibumbui beragam tendensi duniawi lainnya?
Tentunya akan
didapat berbagai macam versi jawaban sesuai dengan individu itu sendiri, namun
jawaban yang paling hakiki akan bermuara pada satu kalimat pungkasan“menggapai ridha ilahi sebagai salah satu
usaha menuju kenikmatan surgawi nan abadi, melalui ikatan pernikahan yang suci”. Pada jawaban ini terkandung manifestasi
dari tujuan diciptakannya manusia di muka bumi, yakni untuk beribadah
kepadaNya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan segala amalan yang kita kerjakan
tentulah akan berpulang pada tujuan awal ini.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(Qs. Adz-Dzariat: 56)
(Qs. Adz-Dzariat: 56)
b. Apakah langkah yang harus saya
tempuh untuk meraih tujuan yang paling tinggi dari pernikahan itu sendiri? Apa
harus benar – benar mendapat pasangan yang kaya terlebih dahulu, atau yang
semata karena punya keelokan rupa, atau dari keluarga berada..atau..dan atau..
Andai seseorang berlomba-lomba menetapkan kriteria tinggi guna kepentingan
ukhrawi tidaklah mengapa, namun jika berlomba-lomba kriteria duniawi yang
tinggi…maka itulah sumber awal masalahnya.
Saudaraku, apa karena istri Anda kurang
cantik, atau tidak sempurna dalam pandangan Anda…lantas Anda menelantarkan dan
ingin meninggalkannya karena sukar mencintainya?
Saudariku…apakah
karena suami Anda kurang kaya dan punya beragam cela…maka Anda sulit
menghargainya? Lalu untuk apa sebenarnya cita-cita klimaks dan tujuan inti Anda
menikah ya Akhi alhabib dan Ukhti alhabibah? Yakni untuk
bertemu wajahNya di surga, karena kita berharap surga menjadi tempat hunian
yang kekal setelah kematian kita.
2. Mempersiapkan
diri dengan ilmu
Ketika sauh
bahtera dua jiwa diangkat, bahtera pun mulai berlayar dari dermaga cinta
mengarungi samudera rumah tangga menuju tempat akhir yang penuh bahagia. Dalam
perjalanan jauh yang harus ditempuh bahtera, pasti seringkali dijumpai berbagai
rintangan problematika yang datang silih berganti, sehingga diperlukan bekal
ilmu yang cukup untuk menghadapi problematika ini. Ada banyak disiplin ilmu
sebelum nikah yang harus dipelajari. Maka pelajarilah ilmu wajib yang memang
harus dikuasai masing-masing individu (seperti tauhid dan fiqh amal
sehari-hari) dan ilmu yang paling urgent dipelajari terlebih dahulu untuk masuk
ke gerbang pernikahan. Adapun disiplin ilmu yang lain dapat dipelajari seiring
waktu berjalan, Insya Allah.
Artinya, tiap individu menetapkan skala prioritas tentang apa sajakah ilmu yang mendesak untuk dipelajari terlebih dahulu sehubungan dengan kondisinya yang akan menapaki tangga pelaminan. Contoh ilmu yang urgent dipelajari sebelum pernikahan: belajar tentang bagaimanakah tata cara pernikahan yang syar’i dan seluk beluk hukum pernikahan beserta adab malam pertama, mempelajari hak dan kewajiban suami istri beserta pernak – perniknya, dsb. Baik juga kiranya untuk berdiskusi dan menimba ilmu rumah tangga dari berbagai pihak yang sudah makan banyak asam garam dalam mengayuh biduk rumah tangga.
3. Mempersiapkan
mental
Hidup ini sebagaimana digambarkan dalam
sebuah adage (peribahasa) lama yang berbunyi:
“Hidup
bukanlah sebagaimana ranjang yang bertabur bunga mawar.” [1]
Begitu juga dengan pernikahan yang
dijalani pasutri. Artinya, pernikahan tidak hanya bertabur dengan keindahan dan
romantika cinta saja. Akan jauh lebih baik jika tiap diri tidak berlarut-larut
dalam lamunan semu romantisme pernikahan belaka. Wajar jika akan ada saat suka
dan bahagia datang menyapa, dan akan tiba pula saat duka nestapa melanda.
Jikalau goncangan demi goncangan hanya
dihadapi dengan keluhan, sikap lemah, dan jiwa yang rapuh…bukan solusi yang
akan didapat, namun malah petaka yang kian mendekat. Maka dari itu, sedari dini
persiapkanlah diri untuk bersikap tegar, teguh, tabah dan berpikirlah “dewasa” yang
dilandasi dengan ilmu agama ketika badai ujian menerpa bahtera rumah tangga,
meskipun terkadang hantaman realita begitu membuat jiwa terasa menderita.
4. Membenahi diri dalam hal
kualitas keshalihan
Pada dasarnya
pembenahan diri mutlak dilakukan kapan saja dan di mana saja. Akan tetapi, pada
konteks bahasan kali ini, pembenahan diri yang dimaksud adalah pembenahan diri
sebelum menginjak pernikahan. Suatu contoh wujud pembenahan diri, -dalam rangka
usaha mendapatkan pasangan idaman sesuai impian, jika mungkin yang
shalih/shalihah lagi rupawan dan “hartawan”-
adalah mengupayakan peningkatan kualitas keimanan dan keshalihan diri kita
sendiri.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ
وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula)…” (Qs. An–Nur:
26)
Sebab ayat ini
turun berkenaan dengan bantahan dari sisi Allah mengenai tuduhan dusta atas
perbuatan zina yang dilakukan oleh ‘Aisyah dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulamiradhiyallahu ‘anhuma, yang
terkenal dengan peristiwa “Al-Ifk”.
Allah
berkehendak untuk menyucikan dan membersihkan tuduhan tersebut dari ‘Aisyah dan
Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulami radhiyallahu ‘anhuma, bahwa
mereka berdua tidaklah berzina sebagaimana yang dituduhkan. Oleh karena itu,
mayoritas ahli tafsir menafsirkan kata Al-Khabits dan Ath-Thayyib lebih mencakup pada baik dan buruknya
perkataan. Akan tetapi, di dalam Kitab Zadul Masir, ditafsirkan bahwa
yang dimaksud Al-Khabits dan Ath-Thayyib bukan hanya mencakup orang yang
memiliki kebaikan atau keburukan dalam perkataan saja, tapi juga mencakup sisi
amal perbuatan.
والرابع: الخبيثات من الأعمال للخبيثين من الناس، والخبيثون من الناس
للخبيثات من الأعمال…. وكذلك الطيبات…..
“….Keempat:
wanita-wanita yang berbuat keji diperuntukkan bagi para lelaki yang berbuat
keji, dan laki-laki yang melakukan perbuatan keji pun diperuntukkan bagi
wanita-wanita yang berbuat keji pula. Begitu juga dengan wanita-wanita yang
beramal baik(maka wanita-wanita yang beramal baik ini diperuntukkan bagi
para lelaki yang beramal baik dan sebaliknya -pen )…” (Zadul
Masir)
Kadangkala timbul persepsi sebagian
orang mengenai kelaziman (konsekuensi) mutlak Qs. An–Nur: 26, bahwa jikalau
kita beranggapan bahwa diri kita belum begitu baik, maka jodoh kita tidak akan
begitu jauh kualitas agamanya dengan diri kita, minimal setingkat dan semisal
dengan kita dalam level kualitas agama.
Di satu sisi kita sadar diri bahwa kita
masih sangat kurang tingkat keshalihannya, namun di sisi lain kita juga
menginginkan pasangan yang kadar takwa, keshalihan, dan ilmunya dianggap jauh
lebih tinggi dari kita. Berpatokan dengan kondisi tersebut, kita merasa tidak
mungkin dan seolah-olah mustahil untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas
seperti mereka…ibarat si cebol yang merindukan bulan. Apakah mutlak selalu
demikian keadaannya? Kalau memang benar kita bisa mendapatkan pasangan yang
dianggap bermutu tinggi, seringkali justru kita yang merasa tidak sepadan dan
kurang pantas bersanding dengan orang seperti itu, karena terjadi ketimpangan
dalam kadar keshalihan.
1. Andaikata
perkaranya berhenti pada pilihan kata “mungkin” atau “tidak mungkin” Al-Khabitsah mendapatkan Ath-Thayyib dan sebaliknya, maka jawabnya adalah mungkin.
Ayat tersebut hanya menekankan perkara hukum yang bersifat mendasar, yakni
bersifataghlabiyyah (sebagian besar/mayoritas) dan aulawiyyah (lebih-lebih). Akan tetapi, dalam ayat
tersebut tidak terkandung makna yang mutlak bahwa seseorang yang shalih pasti
akan mendapat pasangan yang sekufu (sederajat) juga dalam tingkat
keshalihannya. Bisa saja terjadi pengecualian dari kaidah dasar tersebut jika
memang Allah menghendaki dengan segala keadilan, kehendak, kuasa dan hikmah
yang Allah miliki. (Silahkan temukan contoh nyatanya yang diabadikan dalam
Al-Qur’an, bahwa bisa saja Al-Khabits mendapatkan Ath-Thayyibah dan Ath-Thayyib
mendapatkan Al-Khabitsah pada point ke-7)
2. Subhanallah, begitu mengherankan
tatkala mendapati orang yang perasaannya “menolak” dengan halus datangnya
kebaikan bagi dirinya lewat perantara keshalihan pasangan. Manusia memang
diberi perasaan tingkat tinggi untuk melengkapi kinerja akal, sehubungan dengan
kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, bukan hal yang baik
dan bijak jika tiap kejadian hanya dipahami dan dihukumi melalui perspektif
perasaan saja.
Duhai jiwa,
sesungguhnya Allah memberi petunjuk pada siapapun yang Dia kehendaki, dan lewat
jalan yang Dia kehendaki pula. Alih-alih larut dalam perasaan minder “tidak level“, bukankah sebaiknya
langkah pertama yang kita ambil adalah bersyukur dan berbahagia? Tidak semua
orang bisa mendapat anugrah seperti itu, kita justru yang sudah meraihnya malah
menyia-nyiakannya.
Langkah kedua, buka pikiran positif dan
cerna baik-baik hikmah yang terkandung dalam peristiwa itu, karena mungkin
Allah berkehendak membuat diri kita yang sekarang jauh lebih baik dari kita
yang dahulu melalui perantara pasangan kita. Maka bergegaslah untuk menyongsong
anugrah tersebut dan segeralah menyamakan level! Bukan hanya untuk mendapatkan
pengakuan manusia karena malu tidak selevel, namun karena mengharap bertemu
wajahNya di surga (baca: merubah diri yang didasari ikhlas karena Allah semata,
bukan karena mendahulukan ridha manusia).
5. Melengkapi
bekal yang lain sebelum menikah
Ketika kita
mendengar kalimat “perbanyaklah
bekal sebelum menikah”, mungkin yang akan terbayang di benak
kita adalah bekal berupa pundi-pundi harta. Ini bukanlah bekal tambahan hakiki
untuk menghadapi pernikahan, meskipun tidak bisa dielakkan bahwa materi itu
juga penting sebagai salah satu bekal dasar menuju pernikahan. Manakala ilmu
tentang kehidupan rumah tangga sudah dipelajari sebagai bekal, maka bekal lain
yang sangat penting dimiliki oleh calon pasangan pengantin adalah bekal ketakwaan. Bekal
ketakwaan ini bukan saja khusus ditujukan bagi yang sedang mempersiapkan
mahligai rumah tangga, namun memang harus dimiliki oleh setiap muslim dan
muslimah siapapun dia, kapanpun jua, dan di manapun ia berada.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (71)
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Ahzab: 70-71)
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
“…Dan apa yang
kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai
orang-orang yang berakal.” (Qs.
Al-Baqarah: 197)
Telah disinggung
di ulasan sebelumnya, bahwa bangunan pernikahan bertipe “SAMARA” (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah)
memerlukan dinding kokoh dari ketakwaan yang dapat membentengi hati dari
serbuan hawa nafsu. Dengan adanya ketakwaan inilah, masing-masing pasangan akan
berusaha mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya tentang hak, kewajiban, dan bagaimana
adab berinteraksi dengan pasangan. Ketakwaan ini pulalah yang sanggup
mengendalikan diri dari hawa nafsu yang buruk, yang bisa menghancurkan diri,
rumah tangga, bahkan agama.
6. Memperbanyak
doa
Tidak ada seorang muslim yang berakal
dan baligh di dunia ini yang tidak pernah memanjatkan doa. Ini suatu bukti
bahwa kita senantiasa membutuhkanNya. Doa juga merupakan wujud penghambaan dan
perendahan diri kita terhadap Yang Maha Kuasa. Siapakah orangnya yang akan
meragukan dahsyatnya kekuatan yang terkandung dalam doa? Untuk itulah kita
harus senantiasa menundukkan diri kita dengan terus menerus memohon dan berdoa
tanpa putus asa, dengan memenuhi segala adab berdoa[2], agar:
• Mendapat
pasangan shalih/shalihah untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
• Terhindar dari perasaan sedih, rasa gundah, khawatir akan masa depan.
• Terhindar dari perasaan sedih, rasa gundah, khawatir akan masa depan.
• Doa agar
dikaruniai pasangan yang TERBAIK bagi diri kita, bukan hanya terbaik menurut
kita, karena hanya Allah semata yang paling tahu segala sesuatu yang paling
baik bagi hambaNya.
ñ Doa agar mendapat
kemudahan dalam segala urusan, khususnya urusan jodoh
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
اَللَّهُمَّ لا سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ
تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah,
tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Dan apabila Engkau
berkehendak, Engkau akan menjadikan kesusahan menjadi kemudahan.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2427, Ibnu
Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 351, Abu Nu’aim dalam Akhbar
Ashfahan: 2/305, Imam Al-Ashbahani dalam At-Targhib:
1/131. Syaikh Al-Albani menilai shahih dalam Silsilah
Shahihah dan
mengatakan, “Isnadnya shahih sesuai
syarat Muslim.”)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu
berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Qs. Ghafir: 60)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ
“Dan apabila
hamba-hambaKu bertanya tentang Ku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu. Maka
hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan hendaklah mereka beriman
kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran.” (Qs. Al-Baqarah: 186)
Di dalam kedua
ayat di atas disebutkan bahwa Allah telah berjanji dan menjamin akan
mengabulkan doa hambaNya. JanjiNya bersifat mutlak, karena Allah tidak akan
pernah mengingkari janji yang telah dibuatNya. Akan tetapi, janganlah kita lupa bahwa
pengabulan itu memiliki syarat. Pengabulan doa itu pun tentu menurut
pilihanNya yang terbaik, bukan menurut pilihan selera kita, pun pada waktu yang
dikehendakiNya, bukan menurut waktu yang kita kehendaki. Bukankah dalam ayat
tersebut Allah tidak berfirman dengan kata-kata, “menurut tuntutanmu, atau menurut waktu yang engkau kehendaki,
atau menurut kehendakmu itu sendiri?” Bisa jadi (dengan doa tersebut-red)
Allah segera mengabulkannya, atau bisa pula Allah menundanya bahkan hingga di
akhirat, atau Allah menghindarkan dia dari musibah yang akan menimpanya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا
قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ
تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ
وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ،
قَالَ: «اللَّهُ أَكْثَرُ»
Dari Abu Sa’id
(Al-Khudri pen) radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda, “Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan
doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan,
kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan,
atau akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang
semisal. Lalu mereka berkata, “kalau begitu kita seyogyanya banyak berdoa
(meminta).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah akan memberi
lebih banyak (dari yang diminta hambaNya pen)” (HR. Ahmad no.11133) [3]
Ketika Allah
ternyata menunda terkabulnya doa, atau bahkan Allah menetapkan sesuatu yang
berbeda dari tuntutan doa kita, itu bukan berarti Allah melanggar janjiNya
untuk mengabulkan doa. Kita pun tidak perlu kecewa hanya karena Allah menunda
atau malah mengganti permintaan yang ada dalam untaian doa kita dengan
ketetapanNya yang lain, karena Allah lah yang
tahu hal terbaik untuk kita, beserta mashlahat dan madharatnya jika doa yang
kita panjatkan itu terkabul.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ
تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“…Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (Qs.
Al-Baqarah: 216)
Banyak sebab
mengapa doa itu belum jua dikabulkan. Salah satunya karena belum menempuh
segala adab yang benar dalam berdoa, kita masih lalai dalam melaksanakan
perintahNya dan masih bermudah-mudahan dalam berbuat dosa, kita masih memakan
harta dari jalan yang haram, kita belum betul-betul “menghinakan diri” dalam
memanjatkan doa, atau kita malah berputus asa dalam berdoa. Berbicara tentang
keputusasaan dalam berdoa, perkara ini banyak terjadi di sebagian kaum muslimin
bahkan dari kalangan penuntut ilmu sekalipun. Mereka terlalu tergesa-gesa dalam
berdoa. Sesekali waktu doa belum terkabulkan, mereka “ngambek” dan putus asa untuk
berdoa lagi…lagi…dan lagi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ
فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Doa
salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi dia tidak terburu-buru, yaitu
dengan berkata, “Aku sudah memanjatkan doa namun belum
juga dikabulkan bagiku.””(HR. Bukhari no.6340)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ ، مَا لَمْ يَدْعُ
بِإِثْمٍ ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ : يَا رَسُولَ
اللهِ ، مَا الاِسْتِعْجَالُ ؟ قَالَ : يَقُولُ : قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ ،
فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي ، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa
seorang hamba senantiasa dikabulkan selagi dia tidak berdoa untuk suatu
perbuatan dosa atau untuk memutuskan hubungan persaudaraan, asalkan dia tidak
tergesa-gesa.” Ada yang bertanya,” Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan
tergesa-gesa?” Beliau menjawab, “Dia berkata, “Aku sudah memanjatkan doa dan aku
sudah memanjatkan doa lagi, namun belum kulihat doaku dikabulkan. “ Lalu dia
merasa letih saat itu dan meninggalkan doa.” (HR.Muslim no.7036)
-Bersambung Insyaallah-
—
Keterangan:
Keterangan:
[1] Peribahasa ini merupakan terjemah
dari peribahasa berbahasa Inggris yang berbunyi “Life is no bed of roses”.
Pepatah ini pertama kali penulis temukan dalam Kamus Inggris Indonesia yang
disusun oleh John M.Echols dan Hassan Shadily, penerbit: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
[2] Link seputar
adab berdoa:
[3] Silahkan
lihat penjabaran hadits ini lebih detail dalam kitab Mirqatul
Mafatih Syarh Misykatil Mashabih
***
muslimah.or.id
muslimah.or.id
Maraji’:
1. Latha’if Al-Ma’arif, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
2. Madarij As-Salikin baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
3. Pendakian
Menuju Allah (terjemah Madarij As-Salikin), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur.
4. Kamus
Inggris Indonesia, John M.Echols dan Hassan Shadily, PT.Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
5. Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-’Arabi, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
6. Setiap Penyakit Ada Obatnya (terjemah Al-Jawab Al-Kafi li Man Sa’ala ‘an Ad-Dawa’ Asy-Syafi), Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
5. Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-’Arabi, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
6. Setiap Penyakit Ada Obatnya (terjemah Al-Jawab Al-Kafi li Man Sa’ala ‘an Ad-Dawa’ Asy-Syafi), Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
7. Syarh
Al-Ushul Ats-Tsalatsah li Fadhilati Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin,
Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin, Darul Iman, Iskandariyyah.
8. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim lil Hafizh Ibn Katsir, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Darul Hadits, Kairo.
9. Zadul Masir, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah
8. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim lil Hafizh Ibn Katsir, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Darul Hadits, Kairo.
9. Zadul Masir, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah
10. Taisir
Karim Ar-Rahman (Tafsir As-Sa’di), Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir
As-Sa’di, Mu’assasah Ar-Risalah, Beirut.
11. Fathul
Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Ibnul Hajar Al-’Asqalani, Darul
Hadits, Kairo.
12. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad ibn ‘Abdirrahman ibn ‘Abdirrahim Al-Mubarakfuri, Darul Fikr, Beirut.
12. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad ibn ‘Abdirrahman ibn ‘Abdirrahim Al-Mubarakfuri, Darul Fikr, Beirut.
13. Musnad
Imam Ahmad terbitan
Ar-Risalah, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
14. Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha Al-Islam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Abani, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
15. Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi, tahqiq Ahmad Syakir dan Muhammad Fuad Abdul Baqi’ dll, melalui Al-Maktabah Asy-Syamilah.
14. Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha Al-Islam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Abani, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
15. Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi, tahqiq Ahmad Syakir dan Muhammad Fuad Abdul Baqi’ dll, melalui Al-Maktabah Asy-Syamilah.
16. Ar-Risalah
Al-Qusyairiyyah, ‘Abdul Karim Al-Qusyairi, Darul Ma’arif, Kairo,
melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Salam,
Utehime Humaira