Dilema Cinta Dalam Logika Asmara # 1



Saat bahtera cinta pasutri berlabuh di dermaga rumah tangga,
berjuta impian hadir membayangi sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara. Gambaran indahnya menari-nari di pelupuk mata,
tuk rajut hari esok yang penuh warna.
 Sebuah euforia menyeruak dari rongga dada,
tatkala cinta di hati mulai tumbuh berbunga.
 Akankah asa itu seindah nyata?


***
Pernikahan bukan hanya tindakan  penyaluran cinta atau kebutuhan biologis tanpa upaya menuai pahala. Akan tetapi, setiap insan tentu mengidamkan suatu pernikahan yang dipenuhi rasa bahagia, penuh nuansa cinta dalam hidup berumah tangga, selain sebagai suatu cara yang bisa menghantarkan pelakunya ke surga (baca: bernilai ibadah). Sungguh lebih nikmat terasa, bersanding dengan tambatan hati yang didamba. Maka tak heran jika terkadang seabrek kriteria pun diajukan, demi mendapat pasangan impian.
Persoalan level standar subyektif yang ditetapkan calon pasangan sangatlah beragam. Tiap individu tentu ingin mendapatkan yang terbaik sebagai pasangan hidupnya, dalam rangka mendambakan bahagia dalam bahtera rumah tangga. Oleh karena itulah, timbul beragam patokan standar pemilihan calon pasangan. Pada dasarnya patokan kriteria itu boleh-boleh saja, selama kriteria tersebut hanya dijadikan patokan sementara yang bersifat opsional dan fleksibel.
Artinya: Jikalau memang ternyata tidak ditemukan yang sama persis dengan kriteria idealnya, maka dia tidak memadharatkan dirinya sendiri dengan menunda pernikahan, demi mendapatkan yang sama persis dengan dambaan hatinya. Padahal, kondisinya sendiri sudah berada dalam ambang batas wajib untuk menikah. Sungguh merugi jika dengan standar yang terlalu tinggi, malah menjadi batu sandungan bagi diri sendiri maupun orang lain untuk menuju jenjang pernikahan.

Seseorang seringkali menetapkan kriteria tambahan bagi calon pasangan, seperti : harta, garis keturunan, kepribadian, kebiasaan, bahkan yang paling umum menyangkut fisik dan “keelokan” rupa -maaf, mungkin agak sensitif terlebih bagi wanita-. Akan tetapi, terlalu ironis apabila kriteria tersebut -yang sejatinya bisa ditawar- malah justru membantai kriteria asasi (baca: kriteria yang menyangkut agama) yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penulis memohon maaf untuk tidak banyak menyinggung berbagai macam kriteria pernikahan, karena bukan dalam kesempatan ini dibahas tentang hal tersebut dalam timbangan syari’at.

Kriteria opsional memang penting, tapi yang asasi itu tentu jauh lebih penting. Suatu hal yang dianggap manusiawi ketika seseorang menginginkan kriteria asasi maupun opsional terkumpul menjadi satu. Akan tetapi, hendaknya dia lebih bersikap logis dan realistis, daripada menjadi sosok yang terlalu idealis lagi perfeksionis. Mulailah bersikap realistis…teramat susah mencari pendamping yang nyaris sempurna.

Kalaupun sudah ditemukan, jangan terlalu girang dahulu ! Karena bisa jadi si pujaan hati bukan mendamba orang seperti Anda menjadi pendamping hidupnya. Yang jadi pertanyaan selanjutnya bagi diri Anda adalah, “Apakah dia sudi bersanding dengan saya? Apakah dia memang benar-benar yang terbaik untuk saya?
Karena belum tentu yang terbaik menurut Anda, merupakan yang terbaik menurut Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi justru yang “pas-pasan” itulah yang terbaik bagi Anda.

Andaikata lisan membenarkan pernyataan saat ini, tidak ada manusia yang sempurna dan terbebas dari cela”, selayaknya hal tersebut terpatri dalam pikiran dan diaplikasikan dalam bentuk perbuatan, yakni bersikap lapang dada dan toleran terhadap kekurangan calon pasangan maupun pasangan yang telah didapatkan. Sekali lagi penulis tandaskan: menetapkan kriteria sampingan tidaklah salah, bahkan itu selaras dengan sisi manusiawi, dan bisa juga turut membantu melanggengkan ikatan cinta pasutri. Akan tetapi, yang hendak dikritisi di sini, jangan sampai itu justru menjadi kendala dalam fase menuju pernikahan (belum mau menikah hanya karena keras kepala dalam menetapkan kriteria opsionalnya).
تريد مهذبا لا عيب فيه … وهل عود يفوح بلا دخان؟
“Apabila engkau mendamba seorang yang berbudi tanpa cela,
mungkinkah kiranya gaharu menebarkan wanginya tanpa asap?”

(Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-’Arabi)
Pepatah ini mengibaratkan mustahilnya keinginan seseorang untuk mendapatkan orang yang sempurna tanpa cela, baik untuk dijadikan kawan dekat maupun kawan hidup, karena gaharu justru baru akan menebarkan aroma wanginya yang begitu kuat jika dibakar terlebih dahulu kemudian berasap. Justru asap gaharu itulah yang nantinya akan mengeluarkan semerbak harumnya yang khas.
Dikisahkan bahwa Khalifah Umar ibn ‘Abdil Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada putranya. Salah satu perkataan Beliau dalam surat tersebut adalah,
رَحِمَ اللهُ امْرَأً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ
“…Semoga Allah merahmati orang yang tahu kemampuan dirinya sendiri…” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah)

Perkataan di atas sama sekali tidak bermaksud untuk menyurutkan atau bahkan mematikan semangat dan harapan orang yang belum menikah untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas lebih dari dirinya. Akan tetapi, perkataan di atas lebih ditujukan sebagai pengingat bagi para idealis dan perfeksionis yang seringkali neko-neko untuk lebih sadar diri tentang kemampuan yang dimilikinya, dalam menetapkan kriteria sampingan yang pada dasarnya masih bisa ditawar. Sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar,
Apabila Anda tidak memiliki kualitas sebaik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan terlalu berangan tinggi bahwa Anda akan mendapat istri seperti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bilamana Anda bukan seperti ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, maka jangan terlalu bermimpi mendapatkan wanita sebagaimana Fathimah radhiyallahu ‘anha.”

Ungkapan permisalan ini memang tidak bisa dibawa secara paten, karena bisa saja seorang yang berkualitas, namun mendapat pasangan yang kurang sederajat dari segi kualitasnya. Akan tetapi, sekali lagi ungkapan tersebut hanyalah sebagai pendorong bagi seseorang untuk kembali pada alam realita. Ungkapan ini juga berguna sebagai kontrol agar seseorang hendaknya berusaha menyadari kemampuan yang dia miliki, sehingga dia tidak lagi hanyut dalam alam mimpinya untuk mendapatkan pasangan yang serba wow”.

Maka patut Anda pertanyakan dalam diri Anda, “Apakah Anda memiliki kualitas bak lelaki penghuni surga yang tanpa cela, hingga Anda mengidamkan pasangan semisal bidadari yang sempurna tiada bandingnya?”
Fenomena di atas hanya secuil gambaran onak yang bertaburan di jalan pra nikah. Ada lagi kisah calon pengantin yang didera perasaan minder dan sebagainya hingga berkecamuklah gejolak di hatinya,
- “Saya belum bekerja”… “Saya hanya seorang…”…”Gaji saya cuma pas – pasan”…”Dia dari keluarga berada sedangkan saya dari keluarga biasa saja.”
- “Saya belum bisa mengaji…ilmu saya masih sedikit…belum bisa ini…belum bisa itu…”

- “Saya biasa saja, sedangkan calon saya itu terlalu cantik/tampan…saya merasa tidak sebanding dengan dia.” dan lain sebagainya.


Hati ini merasa miris melihat realita yang terbentang di hadapan mata, manakala banyak orang yang terjangkit sindrom “pilu sendu mengharu biru” pra nikah, karena faktor internal maupun eksternal. Oleh sebab itu, kami ingin menyampaikan beberapa ulasan yang mungkin berguna bagi penderita sindrom tersebut.


1. Mengikhlaskan niat

Niat merupakan titik awal dilakukannya suatu perbuatan. Lurus atau tidaknya niat pada Fase awal pernikahan sangat berpengaruh pada kokoh atau tidaknya bangunan rumah tangga. Bangunan pernikahan tipe “SAMARA” perlu pondasi niat lurus yang kokoh, pilar-pilar keikhlasan agar selalu tegar dan tegak berdiri, tembok dari ketakwaan yang dapat membentenginya dari serbuan hawa nafsu, dan puncak atap yang tersusun dari keinginan bertemu wajahNya di surga Al-Firdaus Al-A’la.

Dengan memahami hakikat inti pernikahan, tiap individu hendaknya mencoba bertanya pada diri sendiri, kemudian menjawab dengan hati nurani :
a. Apa sebenarnya tujuan pokok saya menikah? Apa hanya semata – mata memuaskan hasrat kodrati yang manusiawi? atau melaksanakan sunnah? atau dalam rangka menjaga kemaluan dan pandangan…atau dibumbui beragam tendensi duniawi lainnya?
Tentunya akan didapat berbagai macam versi jawaban sesuai dengan individu itu sendiri, namun jawaban yang paling hakiki akan bermuara pada satu kalimat pungkasan“menggapai ridha ilahi sebagai salah satu usaha menuju kenikmatan surgawi nan abadi, melalui ikatan pernikahan yang suci”. Pada jawaban ini terkandung manifestasi dari tujuan diciptakannya manusia di muka bumi, yakni untuk beribadah kepadaNya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan segala amalan yang kita kerjakan tentulah akan berpulang pada tujuan awal ini.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(Qs. Adz-Dzariat: 56)
b. Apakah langkah yang harus saya tempuh untuk meraih tujuan yang paling tinggi dari pernikahan itu sendiri? Apa harus benar – benar mendapat pasangan yang kaya terlebih dahulu, atau yang semata karena punya keelokan rupa, atau dari keluarga berada..atau..dan atau.. Andai seseorang berlomba-lomba menetapkan kriteria tinggi guna kepentingan ukhrawi tidaklah mengapa, namun jika berlomba-lomba kriteria duniawi yang tinggi…maka itulah sumber awal masalahnya.
Saudaraku, apa karena istri Anda kurang cantik, atau tidak sempurna dalam pandangan Anda…lantas Anda menelantarkan dan ingin meninggalkannya karena sukar mencintainya?
Saudariku…apakah karena suami Anda kurang kaya dan punya beragam cela…maka Anda sulit menghargainya? Lalu untuk apa sebenarnya cita-cita klimaks dan tujuan inti Anda menikah ya Akhi alhabib dan Ukhti alhabibah? Yakni untuk bertemu wajahNya di surga, karena kita berharap surga menjadi tempat hunian yang kekal setelah kematian kita.


2. Mempersiapkan diri dengan ilmu

Ketika sauh bahtera dua jiwa diangkat, bahtera pun mulai berlayar dari dermaga cinta mengarungi samudera rumah tangga menuju tempat akhir yang penuh bahagia. Dalam perjalanan jauh yang harus ditempuh bahtera, pasti seringkali dijumpai berbagai rintangan problematika yang datang silih berganti, sehingga diperlukan bekal ilmu yang cukup untuk menghadapi problematika ini. Ada banyak disiplin ilmu sebelum nikah yang harus dipelajari. Maka pelajarilah ilmu wajib yang memang harus dikuasai masing-masing individu (seperti tauhid dan fiqh amal sehari-hari) dan ilmu yang paling urgent dipelajari terlebih dahulu untuk masuk ke gerbang pernikahan. Adapun disiplin ilmu yang lain dapat dipelajari seiring waktu berjalan, Insya Allah.

Artinya, tiap individu menetapkan skala prioritas tentang apa sajakah ilmu yang mendesak untuk dipelajari terlebih dahulu sehubungan dengan kondisinya yang akan menapaki tangga pelaminan. Contoh ilmu yang urgent dipelajari sebelum pernikahan: belajar tentang bagaimanakah tata cara pernikahan yang syar’i dan seluk beluk hukum pernikahan beserta adab malam pertama, mempelajari hak dan kewajiban suami istri beserta pernak – perniknya, dsb. Baik juga kiranya untuk berdiskusi dan menimba ilmu rumah tangga dari berbagai pihak yang sudah makan banyak asam garam dalam mengayuh biduk rumah tangga.


3. Mempersiapkan mental
Hidup ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah adage (peribahasa) lama yang berbunyi:
“Hidup bukanlah sebagaimana ranjang yang bertabur bunga mawar.” [1]
Begitu juga dengan pernikahan yang dijalani pasutri. Artinya, pernikahan tidak hanya bertabur dengan keindahan dan romantika cinta saja. Akan jauh lebih baik jika tiap diri tidak berlarut-larut dalam lamunan semu romantisme pernikahan belaka. Wajar jika akan ada saat suka dan bahagia datang menyapa, dan akan tiba pula saat duka nestapa melanda.
Jikalau goncangan demi goncangan hanya dihadapi dengan keluhan, sikap lemah, dan jiwa yang rapuh…bukan solusi yang akan didapat, namun malah petaka yang kian mendekat. Maka dari itu, sedari dini persiapkanlah diri untuk bersikap tegar, teguh, tabah dan berpikirlah “dewasa” yang dilandasi dengan ilmu agama ketika badai ujian menerpa bahtera rumah tangga, meskipun terkadang hantaman realita begitu membuat jiwa terasa menderita.

4. Membenahi diri dalam hal kualitas keshalihan

Pada dasarnya pembenahan diri mutlak dilakukan kapan saja dan di mana saja. Akan tetapi, pada konteks bahasan kali ini, pembenahan diri yang dimaksud adalah pembenahan diri sebelum menginjak pernikahan. Suatu contoh wujud pembenahan diri, -dalam rangka usaha mendapatkan pasangan idaman sesuai impian, jika mungkin yang shalih/shalihah lagi rupawan dan “hartawan”- adalah mengupayakan peningkatan kualitas keimanan dan keshalihan diri kita sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” (Qs. An–Nur: 26)

Sebab ayat ini turun berkenaan dengan bantahan dari sisi Allah mengenai tuduhan dusta atas perbuatan zina yang dilakukan oleh ‘Aisyah dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulamiradhiyallahu ‘anhuma, yang terkenal dengan peristiwa “Al-Ifk”.

Allah berkehendak untuk menyucikan dan membersihkan tuduhan tersebut dari ‘Aisyah dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulami radhiyallahu ‘anhuma, bahwa mereka berdua tidaklah berzina sebagaimana yang dituduhkan. Oleh karena itu, mayoritas ahli tafsir menafsirkan kata Al-Khabits dan Ath-Thayyib lebih mencakup pada baik dan buruknya perkataan. Akan tetapi, di dalam Kitab Zadul Masir, ditafsirkan bahwa yang dimaksud Al-Khabits dan Ath-Thayyib bukan hanya mencakup orang yang memiliki kebaikan atau keburukan dalam perkataan saja, tapi juga mencakup sisi amal perbuatan.
والرابع: الخبيثات من الأعمال للخبيثين من الناس، والخبيثون من الناس للخبيثات من الأعمال…. وكذلك الطيبات…..
“….Keempat: wanita-wanita yang berbuat keji diperuntukkan bagi para lelaki yang berbuat keji, dan laki-laki yang melakukan perbuatan keji pun diperuntukkan bagi wanita-wanita yang berbuat keji pula. Begitu juga dengan wanita-wanita yang beramal baik(maka wanita-wanita yang beramal baik ini diperuntukkan bagi para lelaki yang beramal baik dan sebaliknya -pen )…” (Zadul Masir)
Kadangkala timbul persepsi sebagian orang mengenai kelaziman (konsekuensi) mutlak Qs. An–Nur: 26, bahwa jikalau kita beranggapan bahwa diri kita belum begitu baik, maka jodoh kita tidak akan begitu jauh kualitas agamanya dengan diri kita, minimal setingkat dan semisal dengan kita dalam level kualitas agama.
Di satu sisi kita sadar diri bahwa kita masih sangat kurang tingkat keshalihannya, namun di sisi lain kita juga menginginkan pasangan yang kadar takwa, keshalihan, dan ilmunya dianggap jauh lebih tinggi dari kita. Berpatokan dengan kondisi tersebut, kita merasa tidak mungkin dan seolah-olah mustahil untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas seperti mereka…ibarat si cebol yang merindukan bulan. Apakah mutlak selalu demikian keadaannya? Kalau memang benar kita bisa mendapatkan pasangan yang dianggap bermutu tinggi, seringkali justru kita yang merasa tidak sepadan dan kurang pantas bersanding dengan orang seperti itu, karena terjadi ketimpangan dalam kadar keshalihan.
1. Andaikata perkaranya berhenti pada pilihan kata “mungkin” atau “tidak mungkin” Al-Khabitsah mendapatkan Ath-Thayyib dan sebaliknya, maka jawabnya adalah mungkin. Ayat tersebut hanya menekankan perkara hukum yang bersifat mendasar, yakni bersifataghlabiyyah (sebagian besar/mayoritas) dan aulawiyyah (lebih-lebih). Akan tetapi, dalam ayat tersebut tidak terkandung makna yang mutlak bahwa seseorang yang shalih pasti akan mendapat pasangan yang sekufu (sederajat) juga dalam tingkat keshalihannya. Bisa saja terjadi pengecualian dari kaidah dasar tersebut jika memang Allah menghendaki dengan segala keadilan, kehendak, kuasa dan hikmah yang Allah miliki. (Silahkan temukan contoh nyatanya yang diabadikan dalam Al-Qur’an, bahwa bisa saja Al-Khabits mendapatkan Ath-Thayyibah dan Ath-Thayyib mendapatkan Al-Khabitsah pada point ke-7)

2. Subhanallah, begitu mengherankan tatkala mendapati orang yang perasaannya “menolak” dengan halus datangnya kebaikan bagi dirinya lewat perantara keshalihan pasangan. Manusia memang diberi perasaan tingkat tinggi untuk melengkapi kinerja akal, sehubungan dengan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, bukan hal yang baik dan bijak jika tiap kejadian hanya dipahami dan dihukumi melalui perspektif perasaan saja.
Duhai jiwa, sesungguhnya Allah memberi petunjuk pada siapapun yang Dia kehendaki, dan lewat jalan yang Dia kehendaki pula. Alih-alih larut dalam perasaan minder “tidak level“, bukankah sebaiknya langkah pertama yang kita ambil adalah bersyukur dan berbahagia? Tidak semua orang bisa mendapat anugrah seperti itu, kita justru yang sudah meraihnya malah menyia-nyiakannya.
Langkah kedua, buka pikiran positif dan cerna baik-baik hikmah yang terkandung dalam peristiwa itu, karena mungkin Allah berkehendak membuat diri kita yang sekarang jauh lebih baik dari kita yang dahulu melalui perantara pasangan kita. Maka bergegaslah untuk menyongsong anugrah tersebut dan segeralah menyamakan level! Bukan hanya untuk mendapatkan pengakuan manusia karena malu tidak selevel, namun karena mengharap bertemu wajahNya di surga (baca: merubah diri yang didasari ikhlas karena Allah semata, bukan karena mendahulukan ridha manusia).

5. Melengkapi bekal yang lain sebelum menikah

Ketika kita mendengar kalimat perbanyaklah bekal sebelum menikah”, mungkin yang akan terbayang di benak kita adalah bekal berupa pundi-pundi harta. Ini bukanlah bekal tambahan hakiki untuk menghadapi pernikahan, meskipun tidak bisa dielakkan bahwa materi itu juga penting sebagai salah satu bekal dasar menuju pernikahan. Manakala ilmu tentang kehidupan rumah tangga sudah dipelajari sebagai bekal, maka bekal lain yang sangat penting dimiliki oleh calon pasangan pengantin adalah bekal ketakwaan. Bekal ketakwaan ini bukan saja khusus ditujukan bagi yang sedang mempersiapkan mahligai rumah tangga, namun memang harus dimiliki oleh setiap muslim dan muslimah siapapun dia, kapanpun jua, dan di manapun ia berada.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (71)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Ahzab: 70-71)
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
“…Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (Qs. Al-Baqarah: 197)

Telah disinggung di ulasan sebelumnya, bahwa bangunan pernikahan bertipe “SAMARA” (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah) memerlukan dinding kokoh dari ketakwaan yang dapat membentengi hati dari serbuan hawa nafsu. Dengan adanya ketakwaan inilah, masing-masing pasangan akan berusaha mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya tentang hak, kewajiban, dan bagaimana adab berinteraksi dengan pasangan. Ketakwaan ini pulalah yang sanggup mengendalikan diri dari hawa nafsu yang buruk, yang bisa menghancurkan diri, rumah tangga, bahkan agama.


6. Memperbanyak doa
Tidak ada seorang muslim yang berakal dan baligh di dunia ini yang tidak pernah memanjatkan doa. Ini suatu bukti bahwa kita senantiasa membutuhkanNya. Doa juga merupakan wujud penghambaan dan perendahan diri kita terhadap Yang Maha Kuasa. Siapakah orangnya yang akan meragukan dahsyatnya kekuatan yang terkandung dalam doa? Untuk itulah kita harus senantiasa menundukkan diri kita dengan terus menerus memohon dan berdoa tanpa putus asa, dengan memenuhi segala adab berdoa[2], agar:
Mendapat pasangan shalih/shalihah untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Terhindar dari perasaan sedih, rasa gundah, khawatir akan masa depan.
Doa agar dikaruniai pasangan yang TERBAIK bagi diri kita, bukan hanya terbaik menurut kita, karena hanya Allah semata yang paling tahu segala sesuatu yang paling baik bagi hambaNya.

ñ Doa agar mendapat kemudahan dalam segala urusan, khususnya urusan jodoh
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
اَللَّهُمَّ لا سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Dan apabila Engkau berkehendak, Engkau akan menjadikan kesusahan menjadi kemudahan.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2427, Ibnu Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 351, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashfahan: 2/305, Imam Al-Ashbahani dalam At-Targhib: 1/131. Syaikh Al-Albani menilai shahih dalam Silsilah Shahihah dan mengatakan, “Isnadnya shahih sesuai syarat Muslim.”)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Qs. Ghafir: 60)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Ku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran.” (Qs. Al-Baqarah: 186)

Di dalam kedua ayat di atas disebutkan bahwa Allah telah berjanji dan menjamin akan mengabulkan doa hambaNya. JanjiNya bersifat mutlak, karena Allah tidak akan pernah mengingkari janji yang telah dibuatNya. Akan tetapi, janganlah kita lupa bahwa pengabulan itu memiliki syarat. Pengabulan doa itu pun tentu menurut pilihanNya yang terbaik, bukan menurut pilihan selera kita, pun pada waktu yang dikehendakiNya, bukan menurut waktu yang kita kehendaki. Bukankah dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman dengan kata-kata, “menurut tuntutanmu, atau menurut waktu yang engkau kehendaki, atau menurut kehendakmu itu sendiri?” Bisa jadi (dengan doa tersebut-red) Allah segera mengabulkannya, atau bisa pula Allah menundanya bahkan hingga di akhirat, atau Allah menghindarkan dia dari musibah yang akan menimpanya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ، قَالَ: «اللَّهُ أَكْثَرُ»
Dari Abu Sa’id (Al-Khudri pen) radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan, atau akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal. Lalu mereka berkata, “kalau begitu kita seyogyanya banyak berdoa (meminta).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah akan memberi lebih banyak (dari yang diminta hambaNya pen)” (HR. Ahmad no.11133) [3]

Ketika Allah ternyata menunda terkabulnya doa, atau bahkan Allah menetapkan sesuatu yang berbeda dari tuntutan doa kita, itu bukan berarti Allah melanggar janjiNya untuk mengabulkan doa. Kita pun tidak perlu kecewa hanya karena Allah menunda atau malah mengganti permintaan yang ada dalam untaian doa kita dengan ketetapanNya yang lain, karena Allah lah yang tahu hal terbaik untuk kita, beserta mashlahat dan madharatnya jika doa yang kita panjatkan itu terkabul.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 216)

Banyak sebab mengapa doa itu belum jua dikabulkan. Salah satunya karena belum menempuh segala adab yang benar dalam berdoa, kita masih lalai dalam melaksanakan perintahNya dan masih bermudah-mudahan dalam berbuat dosa, kita masih memakan harta dari jalan yang haram, kita belum betul-betul “menghinakan diri” dalam memanjatkan doa, atau kita malah berputus asa dalam berdoa. Berbicara tentang keputusasaan dalam berdoa, perkara ini banyak terjadi di sebagian kaum muslimin bahkan dari kalangan penuntut ilmu sekalipun. Mereka terlalu tergesa-gesa dalam berdoa. Sesekali waktu doa belum terkabulkan, mereka “ngambek” dan putus asa untuk berdoa lagi…lagi…dan lagi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi dia tidak terburu-buru, yaitu dengan berkata, “Aku sudah memanjatkan doa namun belum juga dikabulkan bagiku.””(HR. Bukhari no.6340)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، مَا الاِسْتِعْجَالُ ؟ قَالَ : يَقُولُ : قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ ، فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي ، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa seorang hamba senantiasa dikabulkan selagi dia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau untuk memutuskan hubungan persaudaraan, asalkan dia tidak tergesa-gesa.” Ada yang bertanya,” Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan tergesa-gesa?” Beliau menjawab, “Dia berkata, “Aku sudah memanjatkan doa dan aku sudah memanjatkan doa lagi, namun belum kulihat doaku dikabulkan. “ Lalu dia merasa letih saat itu dan meninggalkan doa.” (HR.Muslim no.7036)


-Bersambung Insyaallah-

Keterangan:
[1] Peribahasa ini merupakan terjemah dari peribahasa berbahasa Inggris yang berbunyi “Life is no bed of roses”. Pepatah ini pertama kali penulis temukan dalam Kamus Inggris Indonesia yang disusun oleh John M.Echols dan Hassan Shadily, penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[2] Link seputar adab berdoa:

[3] Silahkan lihat penjabaran hadits ini lebih detail dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih
***

muslimah.or.id

Maraji’:
1. Latha’if Al-Ma’arif, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
2. Madarij As-Salikin baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
3. Pendakian Menuju Allah (terjemah Madarij As-Salikin), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur.
4. Kamus Inggris Indonesia, John M.Echols dan Hassan Shadily, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
5. Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-’Arabi, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
6. Setiap Penyakit Ada Obatnya (terjemah Al-Jawab Al-Kafi li Man Sa’ala ‘an Ad-Dawa’ Asy-Syafi), Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
7. Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah li Fadhilati Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin, Darul Iman, Iskandariyyah.
8. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim lil Hafizh Ibn Katsir, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Darul Hadits, Kairo.
9. Zadul Masir, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah
10. Taisir Karim Ar-Rahman (Tafsir As-Sa’di), Syaikh ‘Abdurrahman ibn Nashir As-Sa’di, Mu’assasah Ar-Risalah, Beirut.
11. Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Ibnul Hajar Al-’Asqalani, Darul Hadits, Kairo.
12. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad ibn ‘Abdirrahman ibn ‘Abdirrahim Al-Mubarakfuri, Darul Fikr, Beirut.
13. Musnad Imam Ahmad terbitan Ar-Risalah, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
14. Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha Al-Islam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Abani, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
15. Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi, tahqiq Ahmad Syakir dan Muhammad Fuad Abdul Baqi’ dll, melalui Al-Maktabah Asy-Syamilah.
16. Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, ‘Abdul Karim Al-Qusyairi, Darul Ma’arif, Kairo, melalui program Al-Maktabah Asy-Syamilah.



Salam,

Utehime Humaira

Kisah Cinta Ali Dan Fatimah .. :)



Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn 'Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka'bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!


Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu

"Allah mengujiku rupanya", begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti 'Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara 'Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; 'Utsman, 'Abdurrahman ibn 'Auf, Thalhah, Zubair, Sa'd ibn Abi Waqqash, Mush'ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti 'Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, 'Abdullah ibn Mas'ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan 'Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

'Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. "Inilah persaudaraan dan cinta", gumam 'Ali.


"Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku."

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

'Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. 'Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah 'Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya 'Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, 'Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, "Aku datang bersama Abu Bakar dan 'Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan 'Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan 'Umar.."

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana 'Umar melakukannya. 'Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

'Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka'bah. "Wahai Quraisy", katanya. "Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang 'Umar di balik bukit ini!" 'Umar adalah lelaki pemberani. 'Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. 'Umar jauh lebih layak. Dan 'Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan


Maka 'Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran 'Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti 'Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi'kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya 'Abdurrahman ibn 'Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa'd ibn Mu'adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn 'Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

"Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?", kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. "Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. "

"Aku?", tanyanya tak yakin.
"Ya. Engkau wahai saudaraku!"
"Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?"
"Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!"
'Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

"Engkau pemuda sejati wahai 'Ali!", begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, "Ahlan wa sahlan!" Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

"Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?"
"Entahlah.."
"Apa maksudmu?"

"Menurut kalian apakah 'Ahlan wa Sahlan' berarti sebuah jawaban!"
"Dasar tolol! Tolol!", kata mereka,


"Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !"

Dan 'Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, 'Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

'Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, "Laa fatan illa 'Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!" Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti 'Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada 'Ali, "Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda"

'Ali terkejut dan berkata, "kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?"
Sambil tersenyum Fathimah berkata, "Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu" ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.

Kemudian Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut."

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:


"Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak." (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)


Kisah Romantis ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul "Mencintai sejantan 'Ali"


Salam,

Ute Hime K.

Kupotret Rindu Yang Tak Bertunas :)



Harus jujur kuakui, sulit bagiku tuk definisikan kata rindu. Namun kuserahkan saja jemariku menari untuk menyulam beberapa kalimat agar mengungkapkan apa yang kuketahui tentang rindu itu sendiri.


Siapapun berhak memberikan pandangan tentang 
rindu. Aku berpikir, kata rindu itu sendiri bersifat umum. Dan akan benar-benar bermakna serta bersifat khusus sekiranya disertai obyek yang dirindu. Obyek tersebut bisa nyata ataupun abstrak tergantung subyek atau sosok yang sedang merindu.


Tak salah pula sekiranya kututurkan bahwa 
rindu adalah sebuah kata kerja bagi hati. Ia bukanlah kata kerja bagi anggota badan yang walaupun anggota badan kerap kali tergerak untuk melakukan sesuatu sebagai respon dari rindu itu sendiri..

Rasanya sulit jua bagiku memandang 
rindu sebagai sebuah “penyakit”. Namun begitu, tak mudah pula kupandang rindu sebagai reaksi jiwa yang “sehat”. Bagaimana tak kuucap demikian, cobalah engkau rasakan atau bisa jadi detik ini sedang engkau rasakan letupan-letupan rindu yang bergejolak.


Percikan Rindu Di Sudut Hati

Awalnya, rindu mungkin masih tak “liar” dan sedang terlelap nyenyak di sudut ruang hati. Seiring detik berdetak, pemiliknya sering tak tersadar, angin sejuk dari manakah yang jadikan rindu itu terbangun. Tak pula diketahui, mimpi manakah yang jadikan rindu itu tiba-tiba terjaga.

Seiring waktu pula, rindu semakin bereaksi dan “mengamuk” serta berkecamuk hebat di hati. Pada saat yang sama, terbisiklah telinga untuk segera mendengar hal-hal yang rindu inginkan. Tersapalah lidah untuk berbicara. Terayulah mata untuk memandang. Tergodalah jiwa tuk rasakan hal-hal yang ingin dikenang.


Obati Rindu

Saat-saat seperti itulah kukatakan 
rindu sebagai “penyakit”. Walau tak bersifat medis, ia pula terkadang timbulkan gejala-gejala lain yang menyebabkan si empunya terbaring sakit. Karena itu, sudah seharusnya rindu itu diobati. Dan hanya perjumpaanlah yang menjadi penawar sekaligus obat utamanya.


Potret-potret Rindu

Ada banyak potret-potret ke
rinduan yang bertaburan dalam kehidupan. Siapa yang tak pernah merindu, bisa dipastikan tak ada cinta yang ia semburatkan karena rindu tumbuh seiring suburnya tunas-tunas cinta.


*** 

Dulu, ketika engkau bayi dan ditinggal sebentar sang ibu, tangisanmu langsung meledak dan serpihannya menusuk hati sang ibu. Terkumpul bermacam rindu darimu untuk ibu. Kau rindukan air susunya. Kau rindukan pelukan hangatnya. Kau rindukan suaranya. Kau rindukan belaian sayangnya.
Begitu pun sang ibu, pada saat yang sama, ia rindukan imut wajahmu. Ia rindukan candaanmu. Ia rindukan segalanya yang ada padamu.


***

Mari sejenak intip sang ayah yang sedang bekerja seharian di luar rumah. Di tengah fokusnya menyelesaikan tugas, rindu pun datang bertandang. Ia rindukan anak dan istri di rumah. Ia rindukan canda si kecil di beranda. Ia rindukan sentuhan lembut kekasih hati. Ia rindukan racikan masakan kesukaan yang selalu terhidang. Hati begitu ingin cepat pulang.


***

Seorang wanita pun begitu sensitif disapa oleh rindu. Karena tak tundukan pandangan atau tak menjaga etika syar’i bermu’amalah, wajah seorang laki-laki pun berhasil terekam melalui mata kemudian ditransfer dan tersimpan dalam pikirannya. Lelaki itu miliki titik-titik pesona dan mampu ditangkap sang wanita.

Itulah yang menjadikan sang wanita terbalut rindu penuh harap dalam alam lamunannya. rindu menjadikan telaga air matanya bergelombang riuh hingga terbulir bening bak kristal menyusuri pipi.


***

Terlebih lagi bagi mereka baik laki-laki maupun wanita yang diberikan hidayah oleh Allah untuk lepas dari hubungan tak jelas dan haram yang bernama pacaran. Datanglah rindu mencandai dua insan itu. Mereka kenang masa-masa “indah” yang telah berlalu. Syaitan pun beraksi untuk mengikis hidayah yang telah mereka raih. Ujung-ujungnya, kembali mereka jalin jalinan hingga dosa-dosa maksiat kembali tertabung.


***

Dan lagi, salah satu kerinduan orang-orang beriman terobati dengan datangnya bulan Ramadhan. Tamu agung yang dinanti-nanti. Di bulan inilah orang-orang beriman menabung limpahan pahala dengan memperbaiki kualitas dan kuantitas amal. Mendekati hari pertama puasa, rindu mereka memuncak. Sebelas bulan sudah berlalu dan pada saat itu mereka rindukan nikmatnya beribadah, mereka rindukan suasana berbuka puasa, mereka rindukan suasana sahur penuh berkah, dan pula, mereka rindukan tetesan-tetesan air mata kala berdoa dan bersujud di hadapan ar-rahman…

Dan kini telah tiba kita di penghujung Ramadhan, Kerinduan akan Hari Kemenangan akan segera tersampaikan.. –InsyaAllah- Aamiin….


Baiklah, kutitip rindu buat anda semua. Semoga kita kan bersua di taman-taman surga. Aamiin yaa mustajiba sa ‘ilin.


Remaja Islam

Salam,

Ute Hime K.