Para pembaca yang semoga dirahmati Allah. Suatu hal yang
patut disayangkan pada saat ini. Wahyu yang sudah semestinya hamba tunduk untuk
mengikutinya, malah ditolak begitu saja. Padahal wahyu adalah ruh, cahaya, dan
penopang kehidupan alam semesta. Apa yang terjadi jika wahyu ilahi ini
ditolak?!
Wahyu Adalah Ruh
Allah ta’ala menyebut wahyu-Nya dengan ruh. Apabila ruh tersebut hilang,
maka kehidupan juga akan hilang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu nur (cahaya),
yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba
Kami.” (QS. Asy Syuro: 52). Dalam ayat ini disebutkan kata ‘ruh
dan nur’. Di mana ruh
adalah kehidupan dan nur adalah cahaya. (Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyah)
Kebahagiaan Hanya Akan Diraih
Dengan Mengikuti Wahyu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati beliau-
mengatakan, “Kebutuhan
hamba terhadap risalah (wahyu) lebih besar daripada kebutuhan pasien kepada
dokter. Apabila suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan kecuali dengan
dokter tersebut ditangguhkan, tentu seorang pasien bisa kehilangan jiwanya. Adapun
jika seorang hamba tidak memperoleh cahaya dan pelita wahyu, maka hatinya pasti
akan mati dan kehidupannya tidak akan kembali selamanya. Atau dia akan
mendapatkan penderitaan yang penuh dengan kesengsaraan dan tidak merasakan
kebahagiaan selamanya. Maka tidak ada keberuntungan kecuali dengan mengikuti
Rasul (wahyu yang beliau bawa dari Al Qur’an dan As Sunnah, pen). Allah
menegaskan hanya orang yang mengikuti Rasul -yaitu orang mu’min dan orang yang
menolongnya- yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya yang
artinya,”Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al A’raf: 157) (Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyah)
Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak
Saat ini, poligami telah menjadi perdebatan yang sangat
sengit di tengah kaum muslimin dan sampai terjadi penolakan terhadap hukum
poligami itu sendiri. Dan yang menolaknya bukanlah tokoh yang tidak mengerti
agama, bahkan mereka adalah tokoh-tokoh yang dikatakan sebagai cendekiawan
muslim. Lalu bagaimana sebenarnya hokum poligami itu sendiri [?!] Marilah kita
kembalikan perselisihan ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala telah menyebutkan hukum poligami ini
melalui wahyu-Nya yang suci, yang patut setiap orang yang mengaku muslim tunduk
pada wahyu tersebut. Allah Ta’alaberfirman
yang artinya,”Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa’: 3).
Poligami juga tersirat dari perkataan Anas bin Malik,
beliau berkata,”Sungguh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir istri-istrinya dalam satu malam, dan
ketika itu beliau memiliki
sembilan isteri.” (HR. Bukhari). Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Nikahilah wanita yang kalian suka
selain wanita yang yatim tersebut. Jika kalian ingin, maka nikahilah dua, atau
tiga atau jika kalian ingin lagi boleh menikahi empat wanita.” (Shohih
Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh
Nashir As Sa’di -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Poligami ini dibolehkan karena terkadang
seorang pria kebutuhan biologisnya belum terpenuhi bila dengan hanya satu istri
(karena seringnya istri berhalangan melayani suaminya seperti tatkala haidh,
pen). Maka Allah membolehkan untuk memiliki lebih dari satu istri dan dibatasi
dengan empat istri. Dibatasi demikian karena biasanya setiap orang sudah merasa
cukup dengan empat istri, dan jarang sekali yang belum merasa puas dengan yang
demikian. Dan
poligami ini diperbolehkan baginya jika dia yakin tidak berbuat aniaya dan
kezaliman(dalam hal pembagian giliran dan nafkah, pen) serta
yakin dapat menunaikan hak-hak istri. (Taisirul Karimir Rohman)
Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh memperistri lebih dari empat wanita
sekaligus merupakan ijma’ (konsensus)
para ulama, dan yang menyelisihinya adalah sekelompok orang Syi’ah. Memiliki
istri lebih dari empat hanya merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Shohih Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh
Muqbil bin Hadi al Wadi’i ketika ditanya mengenai hukum berpoligami, apakah
dianjurkan atau tidak? Beliau menjawab: “Tidak disunnahkan, tetapi hanya
dibolehkan.” (Lihat ‘Inilah
hakmu wahai muslimah’, hal 123, Media Hidayah). Maka dari
penjelasan ini, jelaslah bahwa poligami memiliki ketetapan hukum dalam Al
Qur’an dan As Sunnah yang seharusnya setiap orang tunduk pada wahyu tersebut.
Tidak Mau Poligami, Janganlah
Menolak Wahyu Ilahi
Jadi sebenarnya poligami sifatnya
tidaklah memaksa. Kalau pun seorang wanita tidak mau di madu
atau seorang lelaki tidak mau berpoligami tidak ada masalah. Dan hal ini tidak
perlu diikuti dengan menolak hukum poligami (menggugat hukum poligami).
Seakan-akan ingin menjadi pahlawan bagi wanita, kemudian mati-matian untuk
menolak konsep poligami. Di antara mereka mengatakan bahwa poligami adalah
sumber kesengsaraan dan kehinaan wanita. Poligami juga dianggap sebagai biang
keladi rumah tangga yang berantakan. Dan berbagai alasan lainnya yang muncul di
tengah masyarakat saat ini sehingga dianggap cukup jadi alasan agar poligami di
negeri ini dilarang.
Hikmah Wahyu Ilahi
Setiap wahyu yang diturunkan oleh pembuat syariat pasti
memiliki hikmah dan manfaat yang besar. Begitu juga dibolehkannya poligami oleh
Allah, pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar baik bagi individu,
masyarakat dan umat Islam. Di antaranya: (1) Dengan banyak istri akan memperbanyak jumlah kaum
muslimin. (2) Bagi laki-laki, manfaat yang ada pada dirinya bisa dioptimalkan
untuk memperbanyak umat ini, dan tidak mungkin optimalisasi ini terlaksana jika
hanya memiliki satu istri saja. (3) Untuk kebaikan wanita, karena sebagian
wanita terhalang untuk menikah dan jumlah laki-laki itu lebih sedikit dibanding
wanita, sehingga akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami. (4) Dapat
mengangkat kemuliaan wanita yang suaminya meninggal atau menceraikannya, dengan
menikah lagi ada yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan dia dan
anak-anaknya. (Lihat penjelasan ini di Majalah As Sunnah, edisi 12/X/1428)
Menepis Kekeliruan Pandangan
Terhadap Poligami
Saat ini terdapat berbagai macam penolakan terhadap hukum
Allah yang satu ini, dikomandoi oleh tokoh-tokoh Islam itu sendiri. Di antara
pernyataan penolak wahyu tersebut adalah : “Tidak mungkin para suami mampu berbuat adil di antara
para isteri tatkala berpoligami, dengan dalih firman Allah yang artinya,”Jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”
(An Nisaa’: 3). Dan firman Allah yang artinya,”Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian.” (QS. An Nisaa’: 129).”
Sanggahan: Yang dimaksud dengan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil”
dalam ayat di atas adalah kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil dalam rasa
cinta, kecondongan hati dan berhubungan intim. Karena kaum muslimin telah
sepakat, bahwa menyamakan yang demikian kepada para istri sangatlah tidak
mungkin dan ini di luar kemampuan manusia, kecuali jika Allah menghendakinya.
Dan telah diketahui bersama bahwa Ibunda kita, Aisyah radhiyallahu ‘anha lebih dicintai Rasulullah daripada
istri beliau yang lain. Adapun hal-hal yang bersifat lahiriah seperti tempat
tinggal, uang belanja dan waktu bermalam, maka wajib bagi seorang suami yang mempunyai
istri lebih dari satu untuk berbuat adil. Hal ini sebagaimana pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, dan Ibnu Hajar.
Ada juga di antara tokoh tersebut
yang menyatakan bahwa poligami akan mengancam mahligai rumah tangga (sering
timbul percekcokan). Sanggahan: Perselisihan
yang muncul di antara para istri merupakan sesuatu yang wajar, karena rasa
cemburu adalah tabiat mereka. Untuk mengatasi hal ini, tergantung dari para
suami untuk mengatur urusan rumah tangganya, keadilan terhadap istri-istrinya,
dan rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga, juga tawakkal kepada Allah. Dan
kenyataannya dalam kehidupan rumah tangga dengan satu istri (monogami) juga
sering terjadi pertengkaran/percekcokan dan bahkan lebih. Jadi, ini bukanlah
alasan untuk menolak poligami. (Silakan lihat Majalah As Sunnah edisi
12/X/1428)
Apa yang Terjadi Jika Wahyu Ilahi
Ditolak ?
Kaum muslimin –yang semoga dirahmati Allah-. Renungkanlah
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut ini, apa
yang terjadi jika wahyu ilahi yang suci itu ditentang.
Allah telah banyak mengisahkan di dalam al-Qur’an kepada
kita tentang umat-umat yang mendustakan para rasul. Mereka ditimpa berbagai
macam bencana dan masih nampak bekas-bekas dari negeri-negeri mereka sebagai
pelajaran bagi umat-umat sesudahnya. Mereka di rubah bentuknya menjadi kera dan
babi disebabkan menyelisihi rasul mereka. Ada juga yang terbenam dalam tanah,
dihujani batu dari langit, ditenggelamkan di laut, ditimpa petir dan disiksa dengan
berbagai siksaan lainnya. Semua ini disebabkan karena mereka menyelisihi para
rasul, menentang wahyu yang mereka bawa, dan mengambil penolong-penolong selain
Allah.
Allah menyebutkan seperti ini dalam surat Asy Syu’ara
mulai dari kisah Musa, Ibrahim, Nuh, kaum ‘Aad, Tsamud, Luth, dan Syu’aib.
Allah menyebut pada setiap Nabi tentang kebinasaan orang yang menyelisihi
mereka dan keselamatan bagi para rasul dan pengikut mereka. Kemudian Allah
menutup kisah tersebut dengan firman-Nya yang artinya,”Maka mereka ditimpa
azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang
nyata, dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan Sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy
Syu’ara: 158-159). Allah mengakhiri kisah tersebut
dengan dua asma’ (nama) -Nya yang agung dan dari kedua
nama itu akan menunjukkan sifat-Nya. Kedua nama tersebut adalah Al ‘Aziz dan Ar
Rohim (Maha
Perkasa dan Maha Penyayang).
Yaitu Allah akan membinasakan musuh-Nya dengan ‘izzah/keperkasaan-Nya.
Dan Allah akan menyelamatkan rasul dan pengikutnya dengan rahmat/kasih sayang-Nya. (Diringkas
dariMajmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Semoga Allah menjadikan kita
orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan
beriman terhadap apa yang beliau bawa. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Do’a
hamba-Nya. Alhamdulillahi
rabbil ‘alamin wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ashabihi ath
thoyyibina ath thohirin.
Salam Penuh Cinta,
|Naa-Humaira|