Dan kamu yang mampu menggenapkan apa yang masih ganjil; menyeimbangkan
apa yang masih kurang; dariku.|DE181085|
Boleh aku bercerita, sedikit saja, soal
hatiku yang terus saja mengeja kata rindu -menyebut-nyebut namamu- setiap waktu.
Kadang aku mengingat, apa sebenarnya yang memikat darimu ? Dan pernah
berkali-kali kau ucap, kau tak punya sesuatu yang istimewa. Mungkin aku tak
butuh sesuatu yang istimewa darimu, untuk membuatku terpikat. Sebab
berkali-kali kulihat, kelekati lakumu, kucermati sikapmu, aku selalu saja menggumam,
‘kamu hebat sebab telah membuatku terpikat’…
Katamu, tak ada yang istimewa darimu. Kamu tau, tak semua butuh
perekat agar melekat. |DE181085|
Pernah aku tercenung sendiri, aku seperti
penonton yang menunggu-nunggu tirai teater –yang masih tertutup itu- dibuka dan
menyaksikan apa yang kunanti-nanti. Drama dengan ending yang memukau.
|De181085|
Dulu,
ah, tidak, sering kali, aku membayangkan, ada seseorang yang membawaku keliling
kota Yogya. Sederhana saja, aku hanya ingin memutarinya bersama orang yang
kucinta –entah siapa-. Dan tak pernah terjadi,
sebelummu… Kamu membawaku memutari kota Dumai -meski bukan Yogya- aku bahagia. Kamu yang
mewujudkannya…
Dulu,
ah, tidak, sering kali, aku menginginkan, ada seseorang yang mengajakku bercumbu
dengan alam. Menciumi embun yang membasahi dedaunan, memeluk udara dalam-dalam,
menapaki jalan melangkah berdampingan, duduk santai dibawah rindang, menikmati
lelah bebarengan ditengah perjalanan, merasakan betapa nikmat Tuhan begitu menyuguhkan ketenangan. Dan tak pernah terjadi, sebelummu…
Dulu,
ah, tidak, sering kali, aku mendambakan, ada seseorang yang membangunkan
lelahku untuk memberi tahuku bahwa sudah waktunya aku untuk memenuhi hak
tubuhku, dan memintaku menemaninya menghabiskan hidangan yang tersaji dimeja.
Bersama menikmati rezeki-Nya dalam satu wadah –mie instan-. Santapan siang
sederhana; seadanya –nasi, telur dadar, kecap asin, sambal-. Bukan sebab tak
ada sajian lainnya dimeja, tapi yang sederhana saja sudah terasa begitu luar
biasa. Menu seadanya, namun begitu istimewa. Dan
tak pernah terjadi, sebelummu…
Dulu,
ah, tidak, sering kali, aku bertanya. Apa aku tak mau mencicipi rasanya menjadi
wanita yang begitu takut kehilangan orang yang ia cintai ? Apa betul, aku tak
tertarik menjadi wanita yang selalu ingin tahu keadaan seseorang yang penting
baginya ? Apa akan terus menjadi wanita yang acuh tak acuh pada cinta hanya
karena takut terluka ? Tapi yang membuatku takut dan menuliskan tanda tanya
besar : Apa tidak ada seseorang yang bisa membuatku merasa bergantung padanya,
membutuhkan bantuannya untuk menelan rindu bersama, atau mengeja lelah lalu merebah
dibahunya. Apa tak ada yang bisa membuatku merasa menjadi wanita seperti pada
umumnya, bukan yang melakukan segalanya sendiri. Dan
tak pernah terjadi, sebelummu…
Dulu,
ah, tidak, sering kali, aku berdo’a, menemui sosok seperti ayah dalam diri seseorang.
Seseorang yang akan menggantikan peran ayah. Seseorang yang layak kuhormati, kupatuhi
perintahnya, kutaati nasehatnya, kuikuti jejaknya, kurapal do’a-do’a untuknya.
Bukankah pasangan yang baik itu adalah yang bisa menjadi orang tua, sahabat,
guru, kekasih dan bisa menempatkan diri dalam berbagai situasi. Dan tak pernah terjadi, sebelummu…
Dulu,
ah, tidak, sering kali, aku berkhayal bisa membelah diri –seperti amoeba-. Lalu
kupacari diriku sendiri, sebab tak pernah kujumpai jemari yang begitu pas,
kecuali jariku sendiri. Bukankah tak ada yang bisa memahami kita, kecuali kita
sendiri ? Bukankah sebaik-baik pendengar adalah telingamu sendiri ? Jadi, aku
ingin membersamai diriku sendiri. Aku yang sulit dipahami, aku yang asik dengan
aku yang sendiri, aku yang meletakkan harga diri di tingkat paling tinggi. Aku
yang katanya wanita, tapi lebih sering mengisyaratkan hati dengan logika. Jadi,
kupikir, begitu mengasyikkan jika aku membersamai diriku sendiri. Dan tak pernah terjadi, sebelummu… Kamu mengubah
cara pandangku, kini aku tak ingin membersamai diriku lagi, tapi aku ingin
membersamaimu, melanjutkan langkah bersamamu, menghabiskan waktu denganmu…
|DE181085|
Denganmu, seperti yang sering kukatakan
sebelum hari ini… ‘Aku tenang aku nyaman’,
dan itu hanya kudapatkan ketika bersamamu, tuan. Ketika
bersanding dengan lenganmu; pun ketika berbaur dengan suaramu. Aku yang terlihat teguh, tapi nyatanya begitu rapuh. Pola
pikir bijak, tapi nyatanya sulit memecahkan masalahnya sendiri. Senyum yang
berjejer rapi tapi ternyata menawan tetes air mata di pipi. Semua itu,
aku yakin, terkadang kamu pun merasakannya. Dan jadilah apapun yang kamu mau
dihadapku, dirimu sendiri. Sebab aku tahu betapa lelahnya menjadi figurmu.
Bersamaku, rebahkan segala lelahmu dipelukku.
Sebab ternyata cinta dapat mengubah kepribadian seseorang, yang
diluar sana begitu dewasa berwibawa, jadi manja dan kekanakan saat kembali
pulang ke pelukan –pasangan-.|DE181085|
Coba tanyakan lagi pada dirimu, sayang.
Mengapa aku begitu mudah memahami lakumu; begitu sabar menghadapi acuhmu ?
Sebab aku ingin membersamaimu; menyatu denganmu; berbaur dalam udaramu…
The Anthology Of Love
|DE@Humaira|181085|
aku suka sekali tulisan ini
ReplyDelete