Dialah Ulama dan Mujahid yang berani mendobrak hegemoni
Sosialisme Mesir. Tumbuh dalam rimba kejahillyahan modern dan bergeming untuk
turut andil melestarikannya. Walau kesenangan itu sudah berada di depan
matanya. Walaupun tahta sudah siap menampuk tubuhnya.
Kursi-kursi dunia itu disediakan untuk Sayyid Quthb asal ia bersedia mengakui bahwa kedaulatan Islam belumlah final.
Bahwa sistem buatan manusia adalah jalan suci. Parlementari merupakan paras
molek membangun kejayaan hidup. Namun apa kata Sayyid? Ia menolaknya. Baginya,
rasa sosialisme, nasionalisme, bahkan demokrasi lebih pahit dari kehinaan
dunia: sumir!
Sayyid Quthb menolak menafsirkan kata tauhid hanya sekedar
pengakuan lisan bahwa Allah adalah Tuhan. Doktor Sastra dari Darul Ulum ini
mempelajari Qur’an lebih mendalam, dan ia menyimpulkan bahwa makna tauhid lebih
dari itu.
Baginya tauhid sudah satu paket dengan keharusan menjalankan
hukum-hukum Allah (baca: tauhid hakimiyyah)
dan menolak bergabung dalam barisan oposisi tauhid. Memaknai tauhid dalam dua
jurang antara al-haqq dan al-bathil yang coba disatukan adalah barisan
absurditas yang sama sekali tidak akan mampu membawa Islam jaya. Meskipun itu
demi “maslahat dakwah”. Sekalipun itu
memakai “baju” Islam.
Sayyid sudah tahu ukuran “baju”
apa yang pas baginya, tidak lain adalah pengakuan Allah sebagai satu-satunya
Tuhan dan kewajiban untuk mengindahkan pencampuran antara hukum Allah dengan
hukum positif (baca: hukum buatan manusia).
Untuk menyadarkan saudara-saudaranya, sampai-sampai ia harus
menulis satu bab penuh dalam buku Dirosah Islamiyah-nya, “Ambil Islam seluruhnya
atau tidak sama sekali!”
Ya Sayyid Quthb, dia bukanlah ikhwan pada umumnya. Ia bukan juga
ikhwan yang mudah disetir. Membolak-balik tafsir Qur’an demi tujuan dunia.
Duduk satu meja dengan musuh-musuh Tuhannya, dan keluar dengan titah bahwa
Islam boleh disisipi dengan isme lainnya. Itu sama saja memalukan Umat Nabi
Muhammad saw.
Baginya, pengalaman meneliti kebobrokan sistem pendidikan dan
moral di Amerika sudah memberinya kesimpulan bahwa Islam adalah satu-satunya
jalan. Bagi Quthb, produk Undang-undang buatan manusia tidak akan pernah bisa
sama sekali mengantarkan manusia ke jalan Tauhidullah. Parlemen adalah ruangan
tergelap di dunia, dimana ketika manusia memasukinya, ia akan tersesat dan
sulit untuk mencari pintu keluar.
Mesir menjadi murka. Negara dengan cap Musolini rasa Arabia itu,
meminta hidup Sayyid segera diakhiri. Apapun resikonya. Sayyid adalah bedebah
bagi tirani sekularisme, namun angin semilir dalam bumbu jihadi yang
menyejukkan dan mustahil berganti. “Selamat
datang kematian di jalan Allah, selamat datang kehidupan abadi” ucap Sayyid dalam detik-detik menjelang syahidnya di tiang
gantungan.
Perjalanan Cinta Sayyid Quthb: Jatuh Bangun Menjemput Kasih
Sayang Allah
Namun dalam deretan kisah heroik itu Sayyid tumbuh dalam bingkai
manusia natural. Pemuda yang memiliki niat untuk menikah memang banyak, tapi
menikah dengan cara Islam dan memulai prosesnya lewat jalur tunggal berupa
keikhlasan sebagai manifestasi cinta kepada Allah adalah minimum. Cinta menjadi
dua sisi mata uang dalam kehidupannya: kesedihan dan ketakwaan. Tapi Sayyid
Quthb tetap tegar, sekalipun dirinya mengalami dua kali jatuh cinta dan dua
kali patah hati.
Seperti dikutip dari berbagai penulis yang mengambil kisah
kehidupan Cinta Sayyid Quthb pada sebuah tesis mengenai dirinya, kisah cinta
Quthb berjalan pertama kali saat seorang gadis datang mengetuk pintu hatinya.
Dialah gadis pertama yang membangkitkan kerinduan Sayyid untuk menautkan
cintanya. Embun cinta itu datang dari desa kelahiran.
Namun tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya dari
gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata
memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Sayyid merasa terpukul
mendengar berita ini. Tak kuasa menahan sedih, seguk tangis tak terbendung.
Sangat dimaklumi bagaimana rasanya merelakan kepergian embun
cinta pertama yang pernah mengisi relung jiwanya, yang pernah melambungkan asa
dan melejitkan potensi kebaikannya. Cinta pertama memang indah, namun sakitnya
menusuk ulu hati hingga menganga.
Embun cinta kedua lahir, menyejukkan dan membangkitkan kembali
kerinduaan jiwa Sayyid untuk menautkan cintanya karena kecintaan kepada Allah.
Gadis kedua ini berasal dari Kairo. Mengenai gadis ini sang Sayyid pernah
menggambarkan bahwa paras gadis ini tidaklah buruk namun gagal untuk dibilang
cantik. Nampaknya ada pesona lain yang memikat Sayyid sehingga
merindukannya. Mungkin tatapan menyejukkan yang dibawa embun cinta ini.
Sayangnya, lagi-lagi takdir tidak bermurah hati dengan cinta
sang Sayyid. Di hari pertunangannya, Sayyid seakan disambar petir, pasalnya
gadis tersebut sambil menangis menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua
yang hadir dihatinya. Perkataan gadis itu seakan meruntuhkan harapan sang
Sayyid untuk mendapatkan gadis yang perawan fisiknya, perawan juga hatinya.
Sayyid akhirnya memutuskan hubungan dengan gadis Kairo tersebut,
pergi membawa raganya jauh dari embun cintanya. Raga Sayyid boleh saja menjauh,
namun jiwanya ternyata tak mampu melepaskan pesona sang embun cinta.
Selanjutnya apa yang terjadi? Sayyid tenggelam dalam penderitaan jiwa yang
selalu dibawa atas nama cinta.
Kesedihan bercampur kerinduan ternyata lebih menyiksa Sayyid
dibanding goresan pedang yang menyayat tubuhnya. Akhirnya Sayyid
mengorbankan idealismenya kemudian pergi menjemput dan rujuk kembali dengan
gadis pembawa embun cinta tersebut. Namun sayang, kali ini gadis itulah yang
menolak cinta sang Sayyid.
Perih bukan main gejolak rasa yang dialami Sayyid. Ada banyak
puisi yang lahir dari penderitaan yang dirasakan Sayyid tersebut. Bahkan tercipta
roman-roman yang merupakan bayang-bayang romansa cinta tersebut. Inilah
peristiwa kedua yang membuat luka batin sang Sayyid. Saat harapannya
menggantungkan cinta terputus oleh kekuasaan takdir. Menorehkan luka yang
menganga menabur kepedihan.
Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur
gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzon terhadap
takdir Allah, tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar
kepada sang Pemilik takdir “Apakah dunia tidak menyediakan gadis impianku?
Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”.
Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, maka beliau
menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya, yang
cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah.
Ya, Allah. KepadaNyalah beliau menumpah ruahkan seluruh cinta
dan mimpi-mimpinya yang tertolak takdir, sambil berlari menjemput takdirnya
yang lain.
Yang luar biasa adalah, Asy-Syahid sadar dirinya berada dalam
realitas. Bukan dalam dunia ideal yang melulu posesif, indah dan tanpa aral.
Kalau cinta tak mau menerimanya, biarlah ia mencari energi lain yang lebih
hebat dari cinta.
Ternyata energi itu tidak jauh-jauh dari kehidupannya, Allah lah
Energi yang kemudian membawanya ke penjara selama 15 tahun. Dan di penjara
itulah beliau dengan gemilang berhasil menulis tafsir Fi Dzhilalil Qur’an
dengan cinta. Sebelum akhirnya harus meregang nyawa di tiang gantungan.
Sendiri! Dengan cinta yang sudah tertumpah ruah semua untuk Rabbnya, hanya
kepada Rabbnya.
Bahkan dalam novel Duri Dalam Jiwa yang ditulis
Sayyid pada tahun 1947 sebelum Sayyid Quthb bergabung dalam gerakan Ikhwanul
Muslimin. Sayyid sukses menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dan
menyajikan konflik yang pekat dengan empati, melibatkan ilmu jiwa dan
penghayatan mendalam. Sulit untuk berhenti sejenak membacanya karena takut
kehilangan feel yang telah didapat.
Dalam novel ini kita diajak untuk merasai lika-liku perasaan
manusia dalam mengolah suatu rasa yang disebut cinta, cinta antar manusia. Kita
diajak menyelami dalamnya cinta dan kebodohan sekaligus tarikan magnetisnya.
Kita diajar untuk menjadi pecinta sejati yang tidak takut untuk berproses
mengubah rasa tidak suka menjadi rasa suka, benci menjadi cinta.
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)
Begitu dalam dan lembutnya Sayyid Quthb dalam bermain kata,
pembaca mungkin memerlukan pikiran jernih untuk menangkap pangkal konflik.
Mengutip dari pengantar dalam buku ini, di dalam novel ini, Sayyid Quthb secara
halus dan lembut mengisyaratkan betapa pentingnya arti keperawanan seorang
gadis, karena begitu hal ini diragukan maka persoalan pelik pun akan muncul.
Ada perasaan terhina dan luka hati bagai tertusuk duri dan dapat menjadi beban
sepanjang hidup.
Membaca buku ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Begitu
banyak hikmah implisit dalam tiap lika-liku perasaan para tokoh yang
dihadirkan: cinta, kejujuran, ketulusan, pengorbanan, kepasrahan, dan
keberanian.
Problematika Cinta: Sebuah Refleksi
Kita mungkin pernah sama-sama merasakan layaknya seperti Sayyid
Quthb bahwa ada suatu fase dalam hidup kita saat dimana pikiran, hati, kaki,
tangan, dan jiwa kita disinggahi oleh cinta. Bahkan kita juga sempat mencicipi
bagaimana segala kebahagiaan hidup ditentukan dari kesuksesan cinta dalam
balutan standar manusia.
Pada konten ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang
kerap melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidup kita hancur tanpa
keberhasilan menaklukan cinta”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika
mempunyai kekasih, belajar rasanya akan lebih termotivasi”. Malah bisa
jadi ada sumpah serapah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang
telah mengkhianati cinta kita.
Ikhwatifillah, tanpa
disadari ternyata kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia yang
lemah, individu yang justru tak tahu masa depan itu sendiri!
Ketika kita mulai menjajakan cinta dan menggantungkan harapan
cinta itu kepada manusia, yakinlah ikhwah, yang ada hanyalah kekecewaan,
karena kemampuan manusia sangatlah terbatas. Ia tidak bisa memastikan,
lebih-lebih menjadi penentu takdir kita. Padahal manusia tetaplah manusia
dengan segala kelemahannya.
Adagium, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga
bukan sekedar pepatah dalam rangka mengingatkan ikhtiar manusia, karena pada
kenyataannya, Allah telah menggariskan kemampuan manusia jauh sebelum adagium
itu hadir. “Dan manusia
diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa [4] : 28).
“Allah telah
menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi
lemah dan tua.” (QS. Rum [30] : 54).
Bahkan pada momentum ayat yang lainnya, Allah dengan
terang-terangan mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan
terhadap hati. Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”,
Tidak berakhir di situ, kemudian Allah pun menjelaskan lagi
perihal makhluk hidup yang akan membuat kita terangsang untuk lekas
mengintropeksi diri, muhasabah, dan kembali kepada khittah kehidupan
cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Ada banyak varian dari timbulnya problematika cinta, salah
satunya bagaimana kita salah mengelola qalbu dalam cinta.Qolbu adalah
wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasulullah saw pernah mengeluarkan
hadisnya yang menyentuh,
“Ketahuilah sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia
baik seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak.
Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.”
Banyaknya manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa
nafsu tak lepas karena kita telah menggantungkah harapan kepada selain Allah.
Merasa diri sombong dengan meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai prioritas kedua
dalam mengatasi permasalahan kita.
Salah Satu Kunci Kenyamanan Hidup Dimulai Dari Bagaimana Kita
Mampu Membangun Suasana Hati
Saudaraku, belajar dari kisah cinta Sayyid Quthb, percayalah
bahwa hati yang cemas, kikir, gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup,
dikarenakan kita sudah meletakkan standar-standar duniawi sebagai syarat
kebahagiaan hakiki. Kita rela menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang
sebenarnya tak bisa kita lakukan. Kalau kita mau jujur, kesemua itu malah jauh
dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan hati untuk bagaimana
kita selalu berusaha dekat dengan Allah.
Saudaraku, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah
berkata bahwa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba
melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yang menentang
tauhid, bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah, syahwat yang
menyelisihi perintah, kelalaian yang menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang
menyelisihi ikhlas.” Hamba yang memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan
kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang mana Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mempersiapkan tempat di surga.
Saudaraku, salah satu kunci kenyamanan hidup dimulai dari
bagaimana kita mampu membangun suasana hati. Jika hati kita ikhlash dan bersih
dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia,
yang tadinya kita pandang kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita
lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa
yang kita lihat sedikit, ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari
bagaimana kita hanya bergantung kepada Allah dan menjadi Allah sebagai
satu-satunya zat yang mampu membuat kita bangkit setelah terjatuh.
Sekarang pertanyaannya apakah kita mau melepaskan segala ukuran
ideal kehidupan kita, kesombongan kita atas pilihan yang jauh dari genggaman
kesanggupan kita. Kini, apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut
keduniawian kita untuk menghadap one by one dengan Allah dengan berkata jujur di depan SinggasanaNya.
Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan
yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia menentramkan. Ia pun mampu merubah
paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, dan sebagainya sama seperti
yang Sayyid Quthb rasakan. Jika kita masih bergeming, yakinlah sebenarnya itu
kembali kepada diri kita pribadi.
“Maka apabila hari
kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah
dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang
melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan
dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut
kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh
surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat [79] : 34-42)
***
Salam,
Utehime Humaira