7. Bertawakkal dan
ridha terhadap takdir Allah bagaimanapun keadaannya
Jodoh termasuk rezeki dari Allah, dan penetapannya merupakan bagian dari takdir Allah. Takdir makhluk yang berada di Al-Lauh Al-Mahfuzh sana tidak akan pernah bisa berubah. Oleh karena itu, kalau memang sudah ditakdirkan untuk berjodoh, meskipun terpisah jarak dan waktu, pada akhirnya akan dipertemukan dan dipersatukan juga dengan tali pernikahan. Jodoh tak kan lari ke mana, ibarat tak akan lari gunung dikejar. Begitu juga sebaliknya, jika bukit telah didaki dan laut pun diseberangi, bila tidak berjodoh, tidak akan pernah bisa bersatu dalam mahligai pernikahan.
Jodoh termasuk rezeki dari Allah, dan penetapannya merupakan bagian dari takdir Allah. Takdir makhluk yang berada di Al-Lauh Al-Mahfuzh sana tidak akan pernah bisa berubah. Oleh karena itu, kalau memang sudah ditakdirkan untuk berjodoh, meskipun terpisah jarak dan waktu, pada akhirnya akan dipertemukan dan dipersatukan juga dengan tali pernikahan. Jodoh tak kan lari ke mana, ibarat tak akan lari gunung dikejar. Begitu juga sebaliknya, jika bukit telah didaki dan laut pun diseberangi, bila tidak berjodoh, tidak akan pernah bisa bersatu dalam mahligai pernikahan.
Kewajiban hamba mengenai takdir Allah ini adalah berusaha, berdo’a
untuk mencapai yang kita inginkan, lalu bertawakkal, sabar dan ridha atas
segala hal yang telah Allah tetapkan bagi diri kita.
وَعَلَى اللَّهِ
فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“…Dan hanya
kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.”
(Qs. Ibrahim: 11)
(Qs. Ibrahim: 11)
وَعَلَى اللَّهِ
فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“…Dan
bertawakkallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang yang beriman.”(Qs.
Al-Ma’idah: 23)
Banyak orang yang salah kaprah
memahami hakikat tawakkal. Mereka mengira bahwa pasrah begitu saja dan “nrimo
ing pandum” (menerima
segala sesuatu yang telah ditetapkan) tanpa adanya usaha adalah wujud tawakkal yang benar.
Sikap yang demikian keliru. Tawakkal sama sekali tidak menafikan adanya usaha
hamba. Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan
kepada kita untuk berusaha dahulu baru kemudian bertawakkal.
حَدَّثَنَا
المُغِيرَةُ بْنُ أَبِي قُرَّةَ السَّدُوسِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ
مَالِكٍ، يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ،
أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: «اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ»
Al-Mughirah ibn Abi Qurrah
As-Sadusi mengabarkan kepada kami, “Saya mendengar Anas ibn Malik radhiyallahu
‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah saya ikat (tambatkan) unta itu lalu saya bertawakkal
atau saya lepaskan unta itu lalu saya bertawakkal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun berkata, “Ikatlah unta tersebut, lalu bertawakallah.” (HR.Tirmidzi, dan dihasankan
oleh Syaikh Albani dalam kitab Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa
‘Alajaha Al-Islam )
Pelajaran apakah yang bisa kita
petik dari hadits ini?
Bahwa sebelum kita bertawakkal,
kita harus menempuh sebab yakni dengan berusaha (di dalam hadits dicontohkan
dengan mengikat unta) terlebih dahulu, baru kemudian kita bertawakkal.
Bisa disimpulkan bahwa terdapat
dua jenis pondasi dalam tawakkal:
1. Adanya usaha yang sungguh –
sungguh
2. Adanya penyandaran dan pasrah
diri hanya kepada Allah setelah berusaha
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
salah seorang dari kamu, penciptaannya telah dihimpun di perut ibunya selama
empat puluh hari berupa nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu pula,
kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Kemudian, diutuslah malaikat
kepadanya, meniupkan ruh kepadanya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal:
menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah ia celaka atau bahagia…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal yang perlu diperhatikan di
sini menyikapi takdir adalah:
Takdir manusia memang telah
ditetapkan di Al-Lauh Al-Mahfuzh dan tidak akan pernah berubah. Adapun
berkenaan dengan ketentuan takdir yang terdapat dalam catatan malaikat, maka
masih dapat berubah sesuai dengan amalan hamba. Manusia hanya diperintahkan
untuk berusaha (disertai dengan berdoa dan bertawakkal tentunya) agar manusia
dipermudah kepada apa yang telah ditakdirkan baginya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai
sekalian manusia bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah usaha mencari rezeki,
karena jiwa tidak akan mati sampai sempurna rezekinya walaupun kadang agak
tersendat –sendat. Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam
mengusahakannya, ambillah yang halal dan buanglah yang haram.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh
Syaikh Albani dalam Shahih Ibnu Majah no.1741)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap orang
yang berbuat telah dimudahkan untuk melakukan perbuatan (yang telah ditakdirkan
baginya -pen).” (HR. Muslim,
bab Al-Qadar, no.2648)
Manusia hanya bisa berusaha,
sedangkan Allah lah Yang Maha Kuasa. Siapapun yang didapat nantinya merupakan
anugrah terbaik dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka
bersyukurlah…meskipun kenyataan yang didapati merupakan hal yang kurang
disukai.
…فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا
شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“…Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak…” (Qs. An–Nisa’: 19)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata,
من ملأ قلبه من
الرضى بالقدر : ملأ الله صدره غنى وأمنا وقناعة وفرغ قلبه لمحبته والإنابة إليه
والتوكل عليه
“Barangsiapa
yang memenuhi hatinya dengan ridha kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya
dengan kecukupan, rasa aman, dan qana’ah, serta mengosongkan hati orang
tersebut untuk mencintaiNya, kembali kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan
dan menjauhi larangan Allah [4], dan bertawakkal kepadaNya.” (Madarij
As-Salikin)
Bagaimana jika seseorang sudah berusaha keras menjadi shalih/shalihah,
namun ternyata pasangan hidupnya jauh dari ketaatan dan standar idaman? Apakah
Allah menyalahi janjinya bahwa pria shalih akan mendapat wanita shalihah?
Tidak! Dan apakah menghadapi kenyataan itu, lalu kita menghabiskan waktu kita
dengan muka bermuram durja? Sedih, kecewa, putus asa…atau malah ingin segera
mengakhiri perjalanan bahtera rumah tangga?? Tentu tidak! Taruhlah jika
seseorang itu sudah benar dalam berusaha dan berdoa, tapi nyatanya dia mendapat
pasangan yang justru “berbeda derajat” keshalihan/keshalihahannya, jauh
panggang daripada api, ada dua hal yang bisa dirunut di sini:
• Allah hendak menguji dia melalui pasangan hidupnya. Siapa tahu
justru dirinya yang menjadi perantara pasangannya untuk kembali mengenal
kebenaran. Siapa pula yang tahu bahwa kesabaran, dakwah, dan didikan yang
dilakukan bagi pasangannya, justru menjadi ladang pahala yang bisa mempermudah
dia meretas jalan menuju ke FirdausNya. Pasti ada banyak hikmah yang terkandung
dalam segala takdir yang Allah tetapkan, namun terkadang manusia tidak
mengetahui karena keterbatasan akal pikiran.
Satu hal yang
pasti, Allah tidak selalu memberikan semua yang kita inginkan, namun Allah akan
memberi pilihan terbaikNya dari yang kita perlukan.
Mari kita cermati kisah – kisah monumental
yang terabadikan dalam KitabNya yang mulia tentang dua nabi shalih yakni Nabi
Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam, niscaya kita
akan mendapatkan ‘ibrah yang besar dari kisah tersebut. Mereka berdua memiliki
istri yang disifati “berkhianat” kepada suaminya. Ada lagi kisah wanita
mulia Asiyah bersuamikan thaghut semacam Fir’aun yang bahkan melakukan
kekufuran nyata ketika dia berseru,“Ana
rabbukum Al-A’la.” Siapa
yang menyangsikan kredibilitas keshalihan dua nabi tersebut?
Siapa pula yang meragukan keshalihahan Asiyah?
Siapa pula yang meragukan keshalihahan Asiyah?
Tentu tiap orang yang masih benar
akalnya akan berujar bahwa mereka adalah sosok nabi yang shalih dan wanita
shalihah. Akan tetapi, lihatlah ujian yang Allah berikan pada mereka dengan
pasangan hidup yang mereka miliki.
• Adakalanya seseorang yang dikira shalih/shalihah, kurang sesuai
dengan hakikat aslinya, karena hanya Allah lah yang tahu benar kadar ketakwaan
yang tersembunyi di dalam hati tiap hambaNya.
هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنِ اتَّقَى
“Dia yang
mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Qs. An-Najm: 32)
Contoh konkretnya begini, ada seorang yang dikenal shalih, dia pun
senantiasa berdakwah, beramar makruf nahi munkar, namun ternyata di balik itu
semua dia sering melanggar apa yang dia serukan dan bermudah-mudahan dalam
melakukan dosa ketika dia bersendirian. Inilah yang dimaksud “shalih” menurut
sangkaan manusia, tetapi sebenarnya bukan demikian hakikatnya. [5]
8. Bersabar
ketika menanti pasangan
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
“Hai
orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
(mengerjakan) shalat.” (Qs.
Al-Baqarah: 153)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjelaskan
bahwa cara terbaik untuk meminta pertolongan Allah dalam menghadapi berbagai
musibah yang menimpa (di antaranya ketika jodoh belum kunjung tiba) adalah
dengan bersabar dan shalat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini,
“…Sedangkan
sabar dalam ayat ini ada dua macam, yaitu sabar dalam rangka meninggalkan
berbagai perkara haram dan dosa; dan bersabar dalam menjalankan ketaatan dan
ibadah. Bersabar bentuk yang kedua lebih banyak pahalanya, dan itulah sabar
yang lebih dekat maksudnya untuk mendapatkan kemudahan. Adapun bentuk sabar
yang ketiga adalah bersabar atas musibah dan kejadian yang menimpa. Sabar yang
demikian merupakan suatu keharusan, sebagaimana keharusan beristighfar dari
berbagai kesalahan.”
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
berkata, “Sabar ada dua bentuk: bersabar untuk Allah
dengan menjalankan apa yang Dia cintai walaupun berat bagi jiwa dan badan. Dan
bersabar untuk Allah dari segala yang Dia benci walaupun keinginan nafsu
menentangnya. Siapa yang kondisinya seperti ini maka dia termasuk dari golongan
orang-orang yang sabar yang akan selamat, insya Allah…” (Tafsir
Al-Qur’an Al-’Azhim lil Hafizh Ibn Katsir)
9. Optimis (Tafa’ul) dan berpikir
positif
Optimis: [n] orang yg selalu
berpengharapan (berpandangan) baik dl (dalam pen) menghadapi segala hal. [6]
Allah Subhanahu Ta’ala dan RasulNya shallallahu
‘alaihi wa sallam menyukai tafa’ul التَّفَاؤُلُ (optimisme) dan membenci tasya’um التَّشَاؤُمُ (pesimisme). Optimisme dapat ditumbuhkan dengan senantiasa
berhusnuzhzhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan mempertinggi tawakkal dalam
kehidupan sehari-hari.
قَالَ
الْحَلِيْمِيُّ وَإِنَّمَا كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ
الْفَأْلُ لِأَنَّ التَّشَاؤُمَ سُوءُ ظَنِّ بِاللَّهِ تَعَالَى بِغَيْرِ سَبَبٍ
مُحَقَّقٍ وَالتَّفَاؤُلُ حُسْنُ ظَنٍّ بِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَأْمُورٌ بِحُسْنِ
الظَّنِّ بِاللَّهِ تَعَالَى عَلَى كُلِّ حَالٍ
Al-Halimi rahimahullah mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka dengan optimisme, karena pesimis merupakan
cermin persangkaan buruk kepada Allah Ta’alatanpa
alasan yang jelas. Optimisme merupakan wujud persangkaan yang baik kepadaNya.
Seorang mukmin diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap
kondisi”. (Fathul Bari, hadits no. 5755, bab Al-Fa’l)
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي …الحديث
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,“Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan
persangkaan hambaKu terhadapku…” (HR. Bukhari no. 7405)
قَوْلُهُ
(يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي) أَيْ قَادِرٌ عَلَى
أَنْ أَعْمَلَ بِهِ مَا ظَنَّ أَنِّي عَامِلٌ بِهِ
Makna
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah berfirman, “Aku menurut persangkaan hambaKu terhadapKu.” yakni : Allah mampu berbuat sesuatu
(merealisasikan suatu perbuatan) atas dasar persangkaan hambaNya bahwa Allah
akan berbuat demikian.” (Fathul Bari, hadits no. 7405)
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ في المفهم قيل معنى ظن عبد بِي ظَنُّ الْإِجَابَةِ
عِنْدَ الدُّعَاءِ وَظَنُّ الْقَبُولِ عِنْدَ التَّوْبَةِ وَظَنُّ
الْمَغْفِرَةِ عِنْدَ الِاسْتِغْفَارِ وَظَنُّ الْمُجَازَاةِ عِنْدَ فِعْلِ الْعِبَادَةِ بِشُرُوطِهَا تَمَسُّكًا بِصَادِقِ وَعْدِهِ
الْمَغْفِرَةِ عِنْدَ الِاسْتِغْفَارِ وَظَنُّ الْمُجَازَاةِ عِنْدَ فِعْلِ الْعِبَادَةِ بِشُرُوطِهَا تَمَسُّكًا بِصَادِقِ وَعْدِهِ
Al-Qurthubi
berkata di dalam kitab Al-Mufhim (Al-Mufhim li Ma Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim pen), “Ada yang mengatakan bahwa makna prasangka
hambaKu terhadapKu adalah prasangka dalam hal pengabulan doa ketika memanjatkan
doa, prasangka tentang diterimanya taubat ketika hamba bertaubat, prasangka
mengenai adanya ampunan ketika hamba beristighfar, dan prasangka akan diberi
pahala ketika melaksanakan ibadah beserta syarat-syaratnya dalam rangka
berpegang teguh pada kebenaran janjiNya.” (Tuhfatul Ahwadzi, hadits no. 2496, bab Fi Husnizhzhan billahi Ta’ala)
Salah satu faidah yang terkandung di dalam hadits di atas adalah:
anjuran berprasangka baik terhadap Allah, di dalam segala hal termasuk dalam
hal keoptimisan bahwa doanya akan terkabul. Bukankah Allah adalah Dzat Yang
Maha Kuasa yang bisa mewujudkan doa kita, jika memang Dia menghendakinya?
Mewujudkan hal yang demikian adalah mudah bagi Allah. Jangankan hanya untuk
mengabulkan doa kita, bahkan untuk penciptaan alam semesta seisinya serta
berbagai jenis makhlukNya pun adalah hal yang mudah bagi Allah. Oleh karena
itu, seorang mukmin sejati adalah orang yang berkepribadian mantap dan
senantiasa berpikiran optimis jauh ke depan.
Eksperimen yang cukup dikenal untuk sedikit mengetahui apakah Anda
seorang yang optimis ataukah pesimis, adalah dengan melihat gelas yang diisi
air hingga setengah penuh. Seorang yang optimis akan berpandangan baik dan
positif bahwa gelas ini setengah terisi. Akan tetapi, orang yang pesimis akan
berpandangan bahwa gelas ini setengah kosong. Kalau demikian adanya, Anda
termasuk orang yang seperti apa?
10. Berhati –
hati dan menjaga diri
Sudah maklum kiranya bahwa masa
pra nikah adalah masa yang rentan godaan bagi kedua calon pasangan. Apalagi
jika keduanya merasa begitu memiliki banyak kesamaan dan mulai ada
ketertarikan. Pada masa ini sangat mungkin bersemi benih rasa suka, yang
berbunga rindu dan berbuah cinta. Amat mungkin pula terbuka peluang untuk “berpacaran gaya terselubung” ala
aktivis dakwah. Mengapa dikatakan terselubung? Karena gaya interaksi semacam
ini memang terkamuflasekan oleh suatu dalih. Contohnya: alasan “perhatian
kepada saudara atau saudari di jalan Allah” atau malah yang dikemas secara apik
dan menarik atas nama dakwah. ”Sayang…sudah hafalan Qur’an belum hari ini?
Tadi belajar apa saja? Pematerinya ustadz siapa?” Si pujaan hati pun -misalkan-
menimpali, “tadi datang gak ke kajian? Sudah hafalan
hadits belum hari ini?”.
Wal’iyadzubillah…Semoga kita
semua dijauhkan dari hal – hal yang seperti itu. Panggilan atau ungkapan mesra
seperti: sayang, cinta, rindu sangatlah tidak beradab jika dilontarkan pada
wanita atau pria yang belum dihalalkan bagi kita. Apalagi jika perkataan mesra
itu dibalut dengan sajak rayuan cinta yang mengundang nafsu.
Cinta…kau
begitu manis terasa
Kau indah nan
sempurna
Kau hidupku,
kau sayangku, kau pengantinku di surgaNya
Kekasih…kau
yang kupuja dan kucinta hingga ajal tiba
Innalillahi wa
inna ilaihi raji’un…
Dari kejadian itu, cukuplah kiranya penulis sampaikan beberapa
point yang patut diperhatikan oleh siapapun yang sedang menjalani stase pra
nikah,
• Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْرَبُوا
الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs. Al-Isra’:
32)
Jenis huruf “la” pada ayat tersebut adalah la An-nahiyyah (لا الناهية) yang berarti “jangan” dan bermakna
larangan. Dari ayat ini diambil faidah hukum mengenai haramnya mendekati zina
dalam bentuk apapun. Karena pada setiap kata yang berbentuk larangan,
terkandung hukum asal: HARAMnya perbuatan tersebut,
kecuali ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya yakni haram. Oleh karena
itu, salah satu hikmah mengapa Allah berfirman, “Janganlah kamu mendekati zina”, dan bukan langsung
berfirman, “Janganlah kamu berzina” adalah adanya cakupan larangan yang
menunjukkan haramnya mendekati segala macam sarana yang bisa menghantarkan
kepada perbuatan zina -termasuk pacaran sebelum ada ikatan pernikahan-.
..والنهي عن قربانه أبلغ من النهي عن مجرد فعله
لأن ذلك يشمل النهي عن جميع مقدماته ودواعيه فإن: ” من حام حول الحمى يوشك أن يقع
فيه ” خصوصا هذا الأمر الذي في كثير من النفوس أقوى داع إليه…
“..dan
larangan mendekati zina lebih dalam (mengena) maknanya daripada larangan
berbuat zina semata, karena larangan mendekati zina mencakup larangan dari
segala permulaan dan dari seluruh faktor pendorong perbuatan zina. Barangsiapa
yang menggembala (ternaknya) di sekitar pagar daerah terlarang, dikhawatirkan
akan terjerumus ke dalamnya. Terlebih dalam perkara zina ini, yang merupakan
seruan paling kuat bagi kebanyakan jiwa…” (Tafsir
As-Sa’di)
Mendekati zina saja sudah
merupakan hal yang haram, apalagi melakukannya. Tidak usah terlalu jauh
membayangkan zina hanyalah terbatas pada bersatunya dua genital –maaf-, namun zina di sini
meliputi lingkup yang lebih kompleks.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Telah ditetapkan bagi Anak Adam bahwa ia dapat melakukan zina, itu bukanlah suatu hal yang mustahil: Kedua mata zinanya adalah melihat. Kedua telinga zinanya adalah mendengar. Zina lisan adalah ucapan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah langkah. Zina hati berkeinginan dan berangan – angan, lalu kemaluanlah yang bisa membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Muslim)
• Ada salah satu
kaidah fiqhiyyah yang berbunyi : “Man ista’jala syaian qabla awanihi ‘uqiba bi
hirmanihi”
مَنْ اسْتَعْجَلَ
شَيْءً قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
(Barangsiapa yang tergesa – gesa
terhadap sesuatu sebelum waktunya, akan diberi hukuman -berupa- tidak boleh
mendapatkannya). Apakah pelaku tidak takut jika Allah merenggut kenikmatan
pernikahannya, hanya karena dia tergesa – gesa mencoba kenikmatan semu sesaat
untuk berhubungan “gelap”
dengan lawan jenis?
Pernikahan adalah ikatan sakral
yang suci. Tiada pantas ikatan suci tersebut dinodai oleh “pacaran” pra nikah yang sangat
mungkin menyebabkan hilangnya barakah pernikahan,wal’iyadzubillah.
Penuntut ilmu agama hanyalah manusia biasa, yang kadang
tergelincir dalam dosa. Mereka bukan makhluk yang terpelihara dari dosa. Untuk
itulah perlu adanya komitmen dari kedua belah pihak untuk sama – sama teguh
menjaga hati, agar tidak terkontaminasi virus merah jambu sebelum saatnya tiba
nanti, Insya Allah. Ikhwan ataupun akhawat mungkin pernah terjerumus sesekali.
Ketergelinciran ini tidak lalu mengeluarkan mereka dari jajaran ahlussunnah,
sehingga kita bisa dengan semena-mena menghakimi, memandang rendah seolah mereka
kriminal agamis terkeji sepanjang masa, plus memberikan serentetan tudingan
label bahwa mereka bukan orang yang bertakwa dan lain sebagainya [memangnya
kita orang yang paling suci sedunia dan tidak pernah melakukan dosa??].
Orang yang bertakwa bukanlah orang
yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun orang yang jika melakukan
kesalahan segera bertaubat dan kembali pada kebenaran. Statemen “Ikhwan
dan akhawat hanyalah manusia biasa, yang terkadang tergelincir dalam dosa.
Mereka bukan makhluk yang terpelihara dari dosa…” bukan berarti bentuk pembelaan
dan perlindungan subyektif penulis terhadap ketergelinciran mereka, namun di
sini penulis sedang mengajak Anda semua untuk lebih bijak dan arif menyikapi
kesalahan yang dilakukan oknum “berpacaran terselubung” dari kalangan penuntut
ilmu, dalam memberi peringatan dan meluruskan ketergelinciran mereka.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua Anak
Adam (pasti pernah) melakukan kesalahan. Dan sebaik – baiknya orang yang
melakukan kesalahan, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahihul
Jami’)
Satu hal yang perlu diingat bahwa
calon pasangan belum tentu menjadi pasangan. Masih banyak
kemungkinan – kemungkinan yang bisa terjadi di luar batas kuasa makhluk. Sangat
mungkin terjadi suatu hal yang akhirnya berakibat putusnya proses antara calon
pasangan. Bermula dari intensnya hubungan itu, besar kemungkinan tersisa
seonggok luka, secercah asa, sekeping rasa, bahkan sebentuk cinta yang
terlanjur bersemayam di jiwa. Maka dari itu, berhati – hatilah agar jangan
sampai perasaan cinta begitu mengakar kuat di dalam dada, hingga bisa
mengalahkan ilmu dan akal logika, yang bisa berujung pada kondisi “cinta buta”.
Manakala cinta sang pecinta sudah
demikian mendalam pada orang yang dicinta, akan sangat susah melupakannya. Pada
akhirnya hanya menjadi sebuah dilema bagi sang pecinta yang sedang dimabuk
asmara, apakah dia rela memutuskan proses dengan kekasih hatinya atau tidak.
Kenapa harus menjadi dilema dalam dirinya? Karena ternyata cintanya
berseberangan dengan ilmu dan logika. Dilema cinta itu hanya ada jika kita
menimbangnya dengan logika asmara (logika orang yang kasmaran). Akan tetapi,
jika kita menimbangnya dengan syari’at dan logika yang sehat, maka tidak akan
ada dilema. Apa yang harus terjadi, maka terjadilah. Andaikata proses lebih
baik harus berhenti, maka berhentilah. Andaikata proses berlanjut, maka suatu
hari nanti adalah hari H…..Insya
Allah…..
11. Melejitkan
potensi diri guna menutup kekurangan
Masing-masing pribadi itu unik dan membawa unikum yang berbeda
antara satu dengan lainnya, lengkap dengan paket kelebihan dan kekurangannya.
Suatu hal yang selaras dengan fitrah, ketika di satu sisi seseorang dianugrahi
banyak kelebihan, namun di sisi lain ada orang yang dianggap punya lebih banyak
kekurangan. Adanya kelebihan merupakan anugrah yang patut disyukuri, bukan
untuk berbangga diri, dan adanya kekurangan bukanlah hal yang harus ditangisi.
Oleh karena itulah, seseorang hendaknya bisa berusaha menutupi kekurangan –
kekurangannya dengan menggali dan melejitkan potensi terpendam yang ada dalam
diri.
Tiap diri seyogyanya mengenal dan
menganalisa segi positif dan negatif yang dikaruniakan padanya. Segi positif
itu, diselaraskan dengan syariat untuk membangun keistimewaan, kekuatan, dan
kecantikan dalam diri (inner beauty)
guna menutup kekurangan yang dia miliki, sehingga orang tersebut nantinya akan memiliki mizah الميزة (ciri khas yang bisa membedakan antara dirinya dengan orang
lain). Adapun segi negatifnya, secara perlahan-lahan dikurangi dan ditutupi.
Tidak usah minder ataupun rendah diri jika merasa hanyalah orang yang “biasa saja” dan memiliki social
value (nilai sosial)
yang standar lagi rata-rata saja. Bisa jadi jika orang yang “biasa saja” itu mengoptimalkan
segala aset yang dimiliki, dan berusaha menjalani penempaan diri laksana proses
pengasahan permata, bukan hal yang mustahil andaikata justru hasil akhir
tempaan itu kemilau pesonanya melebihi orang yang memang terlahir “lebih dari standar rata-rata“.
Berbicara sedikit mengenai
permata, proses pengasahan bahan mentah permata dari batuan “kusam” menjadi
permata yang berkilau, bisa dianalogikan dengan keadaan wanita yang biasa saja
namun menjadi luar biasa, karena dia berusaha melejitkan potensi diri dan
melebarkan “jangkauan sayap”
kharismanya.
Pada umumnya, bahan mentah
permata hanyalah berupa batuan biasa yang berwarna, kecuali intan yang kebanyakan
transparan (meskipun intan pun sebenarnya beraneka macam warnanya). Orang awam
yang menemukan bebatuan seperti ini bisa jadi membuangnya begitu saja, lantaran
dianggap batuan biasa. Lihatlah bedanya ketika batu ini mengalami penempaan dan
proses pengasahan. Subhanallah! Batu “kusam”
ini berubah menjadi batu mulia yang kilaunya sungguh memukau mata.
Kalaulah ada yang masih berkecil hati karena harta, rupa, ataupun
hal yang menyangkut dunia…janganlah merasa rendah diri…masih banyak orang yang
lebih banyak celanya dari kita. Syukurilah, berbahagialah dengan apa yang
dimiliki, sabar serta ridha atas segala yang Allah karuniakan bagi diri kita.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah
seorang di antara kalian melihat orang lain yang lebih besar karunianya dalam
harta dan rupa, maka lihatlah orang yang lebih rendah dari apa yang telah
dikaruniakan kepadanya.” (HR. Bukhari
no. 6490 dan Muslim no. 2963)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim
hal 1987 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan harta yang kalian miliki, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan yang kalian lakukan.”
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan harta yang kalian miliki, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan yang kalian lakukan.”
Dan di dalam riwayat Imam Muslim yang lain:
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat badan dan bentuk kalian, akan tetapi Dia melihat hati –
hati kalian.”
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
إذا رأيت الرجل
ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة
“Jikalau
engkau melihat ada seorang yang mengunggulimu dalam urusan dunia, maka
unggulilah dia dalam urusan akhirat.” (Lathaif Al-Ma’arif)
Kita mungkin seringkali menginginkan pasangan sebagaimana yang
orang lain dapatkan, dan menganggap rumput tetangga lebih hijau, atau
menganggap buah di pekarangan tetangga lebih ranum. Akan tetapi, ingatlah suatu
hal bahwa di atas langit tentu masih ada langit lagi. Lalu ingatlah masa awal
ketika kita telah menjatuhkan pilihan untuk menikahi si dia, pasti ada alasan
kita memilihnya. Peganglah alasan itu dan simpan baik – baik dalam ingatan dan
hati kita.
“Biarlah orang
berkata, diriku ibarat mendapat sebongkah batu hitam yang kurang berharga. Akan
tetapi, bagiku engkau laksana permata yang begitu indah dipandang mata…
karena aku melihatmu bukan hanya dengan dua mata yang berada di kepala, namun dengan mata hati yang bersemayam di dalam jiwa…”
karena aku melihatmu bukan hanya dengan dua mata yang berada di kepala, namun dengan mata hati yang bersemayam di dalam jiwa…”
Bagi yang masih merasa ragu dan minder untuk menikah, berusahalah, berdo’a, bertawakkal…dan kuatkan tekad dalam hati, “saya akan segera menikah! Insya Allah”
Niscaya nikmatnya pernikahan bisa terwujud menjadi kenyataan, yang
terukir dalam kenangan, bukan hanya impian yang terbingkai indah dalam angan.
Penulis pun berharap…semoga bias indah pelangi cinta segera
mewarnai pernikahan Anda bersama pasangan hidup tercinta.
—
[4] Penulis mengambil pengertian inabah secara istilah dari kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalaatsah Ibn ‘Utsaimin
[4] Penulis mengambil pengertian inabah secara istilah dari kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalaatsah Ibn ‘Utsaimin
[5] Dua point tentang kemungkinan
itu diperoleh dari faidah salah satu kajian yang bertema rumah tangga, yang
diisi oleh Ustadz Firanda hafizhahullah. Akan tetapi,
penulis lupa judul kajian secara tepat. Jika penulis tidak keliru mengingat
judul kajiannya, kajian tersebut berjudul “Suami Idaman Istri Pilihan” (yang kemudian dibukukan dengan judul
yang sama). Penulis hanya mengingat dengan jelas faidahnya saja, namun lupa
judul kajiannya. Wallahu A’lam.
Salam,
Utehime Humaira
No comments :
Post a Comment