Belajar Ditolak Cinta Dari Sayyid Quthb



Dialah Ulama dan Mujahid yang berani mendobrak hegemoni Sosialisme Mesir. Tumbuh dalam rimba kejahillyahan modern dan bergeming untuk turut andil melestarikannya. Walau kesenangan itu sudah berada di depan matanya. Walaupun tahta sudah siap menampuk tubuhnya.
Kursi-kursi dunia itu disediakan untuk Sayyid Quthb asal ia bersedia mengakui bahwa kedaulatan Islam belumlah final. Bahwa sistem buatan manusia adalah jalan suci. Parlementari merupakan paras molek membangun kejayaan hidup. Namun apa kata Sayyid? Ia menolaknya. Baginya, rasa sosialisme, nasionalisme, bahkan demokrasi lebih pahit dari kehinaan dunia: sumir!
Sayyid Quthb menolak menafsirkan kata tauhid hanya sekedar pengakuan lisan bahwa Allah adalah Tuhan. Doktor Sastra dari Darul Ulum ini mempelajari Qur’an lebih mendalam, dan ia menyimpulkan bahwa makna tauhid lebih dari itu.
Baginya tauhid sudah satu paket dengan keharusan menjalankan hukum-hukum Allah (baca: tauhid hakimiyyah) dan menolak bergabung dalam barisan oposisi tauhid. Memaknai tauhid dalam dua jurang antara al-haqq dan al-bathil yang coba disatukan adalah barisan absurditas yang sama sekali tidak akan mampu membawa Islam jaya. Meskipun itu demi “maslahat dakwah”. Sekalipun itu memakai “baju” Islam.
Sayyid sudah tahu ukuran “baju” apa yang pas baginya, tidak lain adalah pengakuan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan kewajiban untuk mengindahkan pencampuran antara hukum Allah dengan hukum positif (baca: hukum buatan manusia).
Untuk menyadarkan saudara-saudaranya, sampai-sampai ia harus menulis satu bab penuh dalam buku Dirosah Islamiyah-nya, “Ambil Islam seluruhnya atau tidak sama sekali!”
Ya Sayyid Quthb, dia bukanlah ikhwan pada umumnya. Ia bukan juga ikhwan yang mudah disetir. Membolak-balik tafsir Qur’an demi tujuan dunia. Duduk satu meja dengan musuh-musuh Tuhannya, dan keluar dengan titah bahwa Islam boleh disisipi dengan isme lainnya. Itu sama saja memalukan Umat Nabi Muhammad saw.
Baginya, pengalaman meneliti kebobrokan sistem pendidikan dan moral di Amerika sudah memberinya kesimpulan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan. Bagi Quthb, produk Undang-undang buatan manusia tidak akan pernah bisa sama sekali mengantarkan manusia ke jalan Tauhidullah. Parlemen adalah ruangan tergelap di dunia, dimana ketika manusia memasukinya, ia akan tersesat dan sulit untuk mencari pintu keluar.
Mesir menjadi murka. Negara dengan cap Musolini rasa Arabia itu, meminta hidup Sayyid segera diakhiri. Apapun resikonya. Sayyid adalah bedebah bagi tirani sekularisme, namun angin semilir dalam bumbu jihadi yang menyejukkan dan mustahil berganti. “Selamat datang kematian di jalan Allah, selamat datang kehidupan abadi” ucap Sayyid dalam detik-detik menjelang syahidnya di tiang gantungan.

Perjalanan Cinta Sayyid Quthb: Jatuh Bangun Menjemput Kasih Sayang Allah

Namun dalam deretan kisah heroik itu Sayyid tumbuh dalam bingkai manusia natural. Pemuda yang memiliki niat untuk menikah memang banyak, tapi menikah dengan cara Islam dan memulai prosesnya lewat jalur tunggal berupa keikhlasan sebagai manifestasi cinta kepada Allah adalah minimum. Cinta menjadi dua sisi mata uang dalam kehidupannya: kesedihan dan ketakwaan. Tapi Sayyid Quthb tetap tegar, sekalipun dirinya mengalami dua kali jatuh cinta dan dua kali patah hati.
Seperti dikutip dari berbagai penulis yang mengambil kisah kehidupan Cinta Sayyid Quthb pada sebuah tesis mengenai dirinya, kisah cinta Quthb berjalan pertama kali saat seorang gadis datang mengetuk pintu hatinya. Dialah gadis pertama yang membangkitkan kerinduan Sayyid untuk menautkan cintanya. Embun cinta itu datang dari desa kelahiran.
Namun tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya dari gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Sayyid merasa terpukul mendengar berita ini. Tak kuasa menahan sedih, seguk tangis tak terbendung.
Sangat dimaklumi bagaimana rasanya merelakan kepergian embun cinta pertama yang pernah mengisi relung jiwanya, yang pernah melambungkan asa dan melejitkan potensi kebaikannya. Cinta pertama memang indah, namun sakitnya menusuk ulu hati hingga menganga.
Embun cinta kedua lahir, menyejukkan dan membangkitkan kembali kerinduaan jiwa Sayyid untuk menautkan cintanya karena kecintaan kepada Allah. Gadis kedua ini berasal dari Kairo. Mengenai gadis ini sang Sayyid pernah menggambarkan bahwa paras gadis ini tidaklah buruk namun gagal untuk dibilang cantik. Nampaknya ada pesona lain yang memikat Sayyid sehingga merindukannya. Mungkin tatapan menyejukkan yang dibawa embun cinta ini.
Sayangnya, lagi-lagi takdir tidak bermurah hati dengan cinta sang Sayyid. Di hari pertunangannya, Sayyid seakan disambar petir, pasalnya gadis tersebut sambil menangis menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang hadir dihatinya. Perkataan gadis itu seakan meruntuhkan harapan sang Sayyid untuk mendapatkan gadis yang perawan fisiknya, perawan juga hatinya.
Sayyid akhirnya memutuskan hubungan dengan gadis Kairo tersebut, pergi membawa raganya jauh dari embun cintanya. Raga Sayyid boleh saja menjauh, namun jiwanya ternyata tak mampu melepaskan pesona sang embun cinta. Selanjutnya apa yang terjadi? Sayyid tenggelam dalam penderitaan jiwa yang selalu dibawa atas nama cinta.
Kesedihan bercampur kerinduan ternyata lebih menyiksa Sayyid dibanding goresan pedang yang menyayat tubuhnya. Akhirnya Sayyid mengorbankan idealismenya kemudian pergi menjemput dan rujuk kembali dengan gadis pembawa embun cinta tersebut. Namun sayang, kali ini gadis itulah yang menolak cinta sang Sayyid.
Perih bukan main gejolak rasa yang dialami Sayyid. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan yang dirasakan Sayyid tersebut. Bahkan tercipta roman-roman yang merupakan bayang-bayang romansa cinta tersebut. Inilah peristiwa kedua yang membuat luka batin sang Sayyid. Saat harapannya menggantungkan cinta terputus oleh kekuasaan takdir. Menorehkan luka yang menganga menabur kepedihan.
Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzon terhadap takdir Allah, tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar kepada sang Pemilik takdir “Apakah dunia tidak menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”.
Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, maka beliau menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya, yang cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah.
Ya, Allah. KepadaNyalah beliau menumpah ruahkan seluruh cinta dan mimpi-mimpinya yang tertolak takdir, sambil berlari menjemput takdirnya yang lain.
Yang luar biasa adalah, Asy-Syahid sadar dirinya berada dalam realitas. Bukan dalam dunia ideal yang melulu posesif, indah dan tanpa aral. Kalau cinta tak mau menerimanya, biarlah ia mencari energi lain yang lebih hebat dari cinta.
Ternyata energi itu tidak jauh-jauh dari kehidupannya, Allah lah Energi yang kemudian membawanya ke penjara selama 15 tahun. Dan di penjara itulah beliau dengan gemilang berhasil menulis tafsir Fi Dzhilalil Qur’an dengan cinta. Sebelum akhirnya harus meregang nyawa di tiang gantungan. Sendiri! Dengan cinta yang sudah tertumpah ruah semua untuk Rabbnya, hanya kepada Rabbnya.
Bahkan dalam novel Duri Dalam Jiwa yang ditulis Sayyid pada tahun 1947 sebelum Sayyid Quthb bergabung dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Sayyid sukses menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dan menyajikan konflik yang pekat dengan empati, melibatkan ilmu jiwa dan penghayatan mendalam. Sulit untuk berhenti sejenak membacanya karena takut kehilangan feel yang telah didapat.
Dalam novel ini kita diajak untuk merasai lika-liku perasaan manusia dalam mengolah suatu rasa yang disebut cinta, cinta antar manusia. Kita diajak menyelami dalamnya cinta dan kebodohan sekaligus tarikan magnetisnya. Kita diajar untuk menjadi pecinta sejati yang tidak takut untuk berproses mengubah rasa tidak suka menjadi rasa suka, benci menjadi cinta.
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)
Begitu dalam dan lembutnya Sayyid Quthb dalam bermain kata, pembaca mungkin memerlukan pikiran jernih untuk menangkap pangkal konflik. Mengutip dari pengantar dalam buku ini, di dalam novel ini, Sayyid Quthb secara halus dan lembut mengisyaratkan betapa pentingnya arti keperawanan seorang gadis, karena begitu hal ini diragukan maka persoalan pelik pun akan muncul. Ada perasaan terhina dan luka hati bagai tertusuk duri dan dapat menjadi beban sepanjang hidup.
Membaca buku ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Begitu banyak hikmah implisit dalam tiap lika-liku perasaan para tokoh yang dihadirkan: cinta, kejujuran, ketulusan, pengorbanan, kepasrahan, dan keberanian.

Problematika Cinta: Sebuah Refleksi

Kita mungkin pernah sama-sama merasakan layaknya seperti Sayyid Quthb bahwa ada suatu fase dalam hidup kita saat dimana pikiran, hati, kaki, tangan, dan jiwa kita disinggahi oleh cinta. Bahkan kita juga sempat mencicipi bagaimana segala kebahagiaan hidup ditentukan dari kesuksesan cinta dalam balutan standar manusia.
Pada konten ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang kerap melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidup kita hancur tanpa keberhasilan menaklukan cinta”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika mempunyai kekasih, belajar rasanya akan lebih termotivasi”. Malah bisa jadi ada sumpah serapah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang telah mengkhianati cinta kita.
Ikhwatifillah, tanpa disadari ternyata kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia yang lemah, individu yang justru tak tahu masa depan itu sendiri!
Ketika kita mulai menjajakan cinta dan menggantungkan harapan cinta itu kepada manusia, yakinlah ikhwah, yang ada hanyalah kekecewaan, karena kemampuan manusia sangatlah terbatas. Ia tidak bisa memastikan, lebih-lebih menjadi penentu takdir kita. Padahal manusia tetaplah manusia dengan segala kelemahannya.
Adagium, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga bukan sekedar pepatah dalam rangka mengingatkan ikhtiar manusia, karena pada kenyataannya, Allah telah menggariskan kemampuan manusia jauh sebelum adagium itu hadir. Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa [4] : 28).
“Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum [30] : 54).
Bahkan pada momentum ayat yang lainnya, Allah dengan terang-terangan mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan terhadap hati. Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”,
Tidak berakhir di situ, kemudian Allah pun menjelaskan lagi perihal makhluk hidup yang akan membuat kita terangsang untuk lekas mengintropeksi diri, muhasabah, dan kembali kepada khittah kehidupan cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Ada banyak varian dari timbulnya problematika cinta, salah satunya bagaimana kita salah mengelola qalbu dalam cinta.Qolbu adalah wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasulullah saw pernah mengeluarkan hadisnya yang menyentuh,
“Ketahuilah sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.”
Banyaknya manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa nafsu tak lepas karena kita telah menggantungkah harapan kepada selain Allah. Merasa diri sombong dengan meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai prioritas kedua dalam mengatasi permasalahan kita.

 

Salah Satu Kunci Kenyamanan Hidup Dimulai Dari Bagaimana Kita Mampu Membangun Suasana Hati


Saudaraku, belajar dari kisah cinta Sayyid Quthb, percayalah bahwa hati yang cemas, kikir, gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup, dikarenakan kita sudah meletakkan standar-standar duniawi sebagai syarat kebahagiaan hakiki. Kita rela menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang sebenarnya tak bisa kita lakukan. Kalau kita mau jujur, kesemua itu malah jauh dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan hati untuk bagaimana kita selalu berusaha dekat dengan Allah.
Saudaraku, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah berkata bahwa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yang menentang tauhid, bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah, syahwat yang menyelisihi perintah, kelalaian yang menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.” Hamba yang memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan tempat di surga.
Saudaraku, salah satu kunci kenyamanan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun suasana hati. Jika hati kita ikhlash dan bersih dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit, ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari bagaimana kita hanya bergantung kepada Allah dan menjadi Allah sebagai satu-satunya zat yang mampu membuat kita bangkit setelah terjatuh.
Sekarang pertanyaannya apakah kita mau melepaskan segala ukuran ideal kehidupan kita, kesombongan kita atas pilihan yang jauh dari genggaman kesanggupan kita. Kini, apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut keduniawian kita untuk menghadap one by one dengan Allah dengan berkata jujur di depan SinggasanaNya.
Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia menentramkan. Ia pun mampu merubah paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, dan sebagainya sama seperti yang Sayyid Quthb rasakan. Jika kita masih bergeming, yakinlah sebenarnya itu kembali kepada diri kita pribadi.
“Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat [79] : 34-42)

***
Salam, 
Utehime Humaira

Meniti Jalan Ke Syurga, KeepFighting :)




“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS al-Baqarah: 214)

Di dunia ini pasti tidak ada yang tidak mau masuk ke dalam surga. Semua ingin bisa menjadi penghuninya dan menikmati berbagai kenikmatan yang disediakan Allah di dalamnya, karena memang Allah menyediakan berbagai kenikmatan yang tidak pernah didapat manusia di dunia.
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah: 25)

Kenikmatan yang Allah janjikan di surga itu tidak pernah terlihat, terdengar, terasa, bahkan tidak pernah terbayangkan sedikitpun dalam hati manusia seperti apa gerangan. Sabda Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam.:
“Telah  kusiapkan untuk hamba-hambaKu yang soleh surga yang mata belum pernah menyaksikan, telinga belum pernah mendengar, dan belum pernah terbersit/terbayang dalam hati.” (HR Bukhari)

Sesungguhnya surga semenjak diciptakan telah menantikan dan merindukan para penghuninya. Setiap saat mereka memohon kepada Allah agar disegerakan masuknya para penghuninya ke dalamnya. Nabi saw. bersabda:
“Setiap hari surga dan neraka meminta kepada Rabbnya, surga berkata, ‘Wahai Rabbku, buah-buahanku telah ranum, sungai-sungai telah mengalir dan aku sudah rindu kepada kekasih-kekasihku. Maka cepatlah kirim penghuni surga kepadaku.”

Sesungguhnya ada jalan yang harus ditempuh oleh setiap muslim ketika ia menginginkan surga. Jalan ini harus ia lewati karena memang telah dirancang oleh Allah bagi orang yang mengharapkan surga. Apakah jalan itu? Di dalam al-Quranul Karim, Allah telah menjelaskan ada dua jalan atau dua keadaan yang harus ditempuh oleh manusia.
Pertama, FirmanNya:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS al-Baqarah: 214)

Ayat di atas menjelaskan bahwa bagi siapa saja yang menjadikan surga sebagai cita-citanya maka ia harus bersiap diri merasakan penderitaan, kesengsaraan dan kegoncangan seperti yang dialami umat-umat sebelum kita. Penderitaan itu mereka dapat karena keteguhan mereka dalam mempertahankan iman dan  perjuangan menegakkan agama Allah.
Dikisahkan ada seorang sahabat yang bernama Khabbab bin al-Arts rhadiallahu ‘anhu. Datang kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan penderitaan yang ia rasakan disebabkan siksaan orang-orang kafir karena ia memeluk Islam. Rasulullah saw. kemudian memberikan nasihat kepadanya bahwa apa yang ia rasakan belum seberapa dibandingkan dengan yang menimpa umat-umat sebelum Islam.
“Dahulu kaum sebelum kamu, adakalanya dikubur hidup-hidup, digergaji dari atas kepalanya hingga terbelah menjadi dua, adakalanya dikupas kulitnya dengan sisir besi yang mengenai daging dan tulang, tetapi keadaan yang demikian tidak menggoyahkan iman agamanya.” (HR Bukhari)

Keadaan yang sama juga dirasakan oleh para sahabat Nabi saw. serta para alim ulama. Mereka merasakan penderitaan dan kesengsaraan karena istiqomah mempertahankan kebenaran agamanya. Mush’ab bin Umayr radhiallahu ‘anhu Rela meninggalkan kekayaannya dan keluarga yang mencintainya karena memilih beriman kepada Allah dan RasulNya.
Keluarga Amr bin Yassir radliallahu ‘anhum; ayahnya Yasir dan ibunya Sumayyah, syahid, gugur mempertahankan keimanan dengan siksaan yang keji dari musuh-musuh Islam.
Kita bisa menengok perjuangan dan pengorbanan Imam Abu Hanifah, seorang ulama besar, yang menolak bekerja sama dengan penguasa yang zalim. Penolakan ini membuat penguasa marah dan menghukumnya dengan penjara. Di dalam penjara — karena ia tetap menolak pengangkatan itu – maka ia dijatuhi hukuman 110 kali cambuk. Hukuman itu dicicil, tiap hari 10 kali cambukan. Akhirnya, sang Imam dilepaskan kembali dari penjara sesudah merasakan 110 kali cambuk. Seketika keluar dari penjara, tampak kelihatan mukanya bengkak-bengkak, akibat bekas cambukan. Mengalami semua hukuman itu, Imam Hanafy hanya berucap: “Hukuman dunia dengan cambuk itu lebih baik dan lebih ringan bagiku daripada cambuk di akhirat nanti.”

Jalan kedua yang harus ditempuh oleh mereka yang rindu pada surga adalah firman Allah:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS ali Imran: 142)

Orang-orang beriman tahu bahwa surga harus didapat dengan perjuangan. Dalam Perang Uhud, seorang sahabat bernama Abu Thalhah berjuang melindungi Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menggunakan tangan dan pedangnya menangkis bacokan pedang, lemparan tombak dan anak panah hingga akhirnya tangannya menjadi lumpuh.
Setiap perjuangan dan kesabaran di jalan Allah pasti akan mendapatkan balasan surga dari Allah. Pelakunya akan dimuliakan oleh Allah. Ketika Sa’ad bin Mu’adz syahid, wafat di Perang Khandaq, Malaikat Jibril mendatangi Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya siapakah gerangan yang ruhnya dicabut Izrail yang telah menyebabkan langit terbelah dan bergemuruh menyambut ruhnya yang mulia.
Surga tidak bisa didapat dengan bermalas-malasan; dengan membuang waktu, bercanda, duduk-duduk di rumah, sibuk mencari uang, mencari hiburan, dsb. Kalau ada orang yang berpikir bisa ke surga tanpa perjuangan dan pengorbanan, maka sebenarnya orang itu tengah bermimpi di siang hari bolong.
“Orang yang cerdas adalah yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk setelah kematian, tetapi orang yang bodoh adalah yang memperturutkan hawa nafsunya sambil berangan-angan kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR Tirmidzi)[]


Salam,


Utehime Humaira


Dilema Cinta Dalam Logika Asmara # 2



7. Bertawakkal dan ridha terhadap takdir Allah bagaimanapun keadaannya

Jodoh termasuk rezeki dari Allah, dan penetapannya merupakan bagian dari takdir Allah. Takdir makhluk yang berada di Al-Lauh Al-Mahfuzh sana tidak akan pernah bisa berubah. Oleh karena itu, kalau memang sudah ditakdirkan untuk berjodoh, meskipun terpisah jarak dan waktu, pada akhirnya akan dipertemukan dan dipersatukan juga dengan tali pernikahan. Jodoh tak kan lari ke mana, ibarat tak akan lari gunung dikejar. Begitu juga sebaliknya, jika bukit telah didaki dan laut pun diseberangi, bila tidak berjodoh, tidak akan pernah bisa bersatu dalam mahligai pernikahan.
Kewajiban hamba mengenai takdir Allah ini adalah berusaha, berdo’a untuk mencapai yang kita inginkan, lalu bertawakkal, sabar dan ridha atas segala hal yang telah Allah tetapkan bagi diri kita.
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“…Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.”
(Qs. Ibrahim: 11)
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“…Dan bertawakkallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang yang beriman.”(Qs. Al-Ma’idah: 23)

Banyak orang yang salah kaprah memahami hakikat tawakkal. Mereka mengira bahwa pasrah begitu saja dan “nrimo ing pandum” (menerima segala sesuatu yang telah ditetapkan) tanpa adanya usaha adalah wujud tawakkal yang benar. Sikap yang demikian keliru. Tawakkal sama sekali tidak menafikan adanya usaha hamba. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berusaha dahulu baru kemudian bertawakkal.
حَدَّثَنَا المُغِيرَةُ بْنُ أَبِي قُرَّةَ السَّدُوسِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ، أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: «اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ»
Al-Mughirah ibn Abi Qurrah As-Sadusi mengabarkan kepada kami, “Saya mendengar Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah saya ikat (tambatkan) unta itu lalu saya bertawakkal atau saya lepaskan unta itu lalu saya bertawakkal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Ikatlah unta tersebut, lalu bertawakallah.” (HR.Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam kitab Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha Al-Islam )

Pelajaran apakah yang bisa kita petik dari hadits ini?
Bahwa sebelum kita bertawakkal, kita harus menempuh sebab yakni dengan berusaha (di dalam hadits dicontohkan dengan mengikat unta) terlebih dahulu, baru kemudian kita bertawakkal.
Bisa disimpulkan bahwa terdapat dua jenis pondasi dalam tawakkal:
1. Adanya usaha yang sungguh – sungguh
2. Adanya penyandaran dan pasrah diri hanya kepada Allah setelah berusaha

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya salah seorang dari kamu, penciptaannya telah dihimpun di perut ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Kemudian, diutuslah malaikat kepadanya, meniupkan ruh kepadanya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal: menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah ia celaka atau bahagia…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal yang perlu diperhatikan di sini menyikapi takdir adalah:
Takdir manusia memang telah ditetapkan di Al-Lauh Al-Mahfuzh dan tidak akan pernah berubah. Adapun berkenaan dengan ketentuan takdir yang terdapat dalam catatan malaikat, maka masih dapat berubah sesuai dengan amalan hamba. Manusia hanya diperintahkan untuk berusaha (disertai dengan berdoa dan bertawakkal tentunya) agar manusia dipermudah kepada apa yang telah ditakdirkan baginya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah usaha mencari rezeki, karena jiwa tidak akan mati sampai sempurna rezekinya walaupun kadang agak tersendat –sendat. Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mengusahakannya, ambillah yang halal dan buanglah yang haram.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Ibnu Majah no.1741)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap orang yang berbuat telah dimudahkan untuk melakukan perbuatan (yang telah ditakdirkan baginya -pen).” (HR. Muslim, bab Al-Qadar, no.2648)

Manusia hanya bisa berusaha, sedangkan Allah lah Yang Maha Kuasa. Siapapun yang didapat nantinya merupakan anugrah terbaik dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka bersyukurlah…meskipun kenyataan yang didapati merupakan hal yang kurang disukai.
…فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“…Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak…” (Qs. An–Nisa’: 19)

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata,
من ملأ قلبه من الرضى بالقدر : ملأ الله صدره غنى وأمنا وقناعة وفرغ قلبه لمحبته والإنابة إليه والتوكل عليه
“Barangsiapa yang memenuhi hatinya dengan ridha kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kecukupan, rasa aman, dan qana’ah, serta mengosongkan hati orang tersebut untuk mencintaiNya, kembali kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan Allah [4], dan bertawakkal kepadaNya.” (Madarij As-Salikin)
Bagaimana jika seseorang sudah berusaha keras menjadi shalih/shalihah, namun ternyata pasangan hidupnya jauh dari ketaatan dan standar idaman? Apakah Allah menyalahi janjinya bahwa pria shalih akan mendapat wanita shalihah? Tidak! Dan apakah menghadapi kenyataan itu, lalu kita menghabiskan waktu kita dengan muka bermuram durja? Sedih, kecewa, putus asa…atau malah ingin segera mengakhiri perjalanan bahtera rumah tangga?? Tentu tidak! Taruhlah jika seseorang itu sudah benar dalam berusaha dan berdoa, tapi nyatanya dia mendapat pasangan yang justru “berbeda derajat” keshalihan/keshalihahannya, jauh panggang daripada api, ada dua hal yang bisa dirunut di sini:
Allah hendak menguji dia melalui pasangan hidupnya. Siapa tahu justru dirinya yang menjadi perantara pasangannya untuk kembali mengenal kebenaran. Siapa pula yang tahu bahwa kesabaran, dakwah, dan didikan yang dilakukan bagi pasangannya, justru menjadi ladang pahala yang bisa mempermudah dia meretas jalan menuju ke FirdausNya. Pasti ada banyak hikmah yang terkandung dalam segala takdir yang Allah tetapkan, namun terkadang manusia tidak mengetahui karena keterbatasan akal pikiran.
Satu hal yang pasti, Allah tidak selalu memberikan semua yang kita inginkan, namun Allah akan memberi pilihan terbaikNya dari yang kita perlukan.

Mari kita cermati kisah – kisah monumental yang terabadikan dalam KitabNya yang mulia tentang dua nabi shalih yakni Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam, niscaya kita akan mendapatkan ‘ibrah yang besar dari kisah tersebut. Mereka berdua memiliki istri yang disifati “berkhianat” kepada suaminya. Ada lagi kisah wanita mulia Asiyah bersuamikan thaghut semacam Fir’aun yang bahkan melakukan kekufuran nyata ketika dia berseru,“Ana rabbukum Al-A’la.” Siapa yang menyangsikan kredibilitas keshalihan dua nabi tersebut?
Siapa pula yang meragukan keshalihahan Asiyah?
Tentu tiap orang yang masih benar akalnya akan berujar bahwa mereka adalah sosok nabi yang shalih dan wanita shalihah. Akan tetapi, lihatlah ujian yang Allah berikan pada mereka dengan pasangan hidup yang mereka miliki.
Adakalanya seseorang yang dikira shalih/shalihah, kurang sesuai dengan hakikat aslinya, karena hanya Allah lah yang tahu benar kadar ketakwaan yang tersembunyi di dalam hati tiap hambaNya.
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Dia yang mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Qs. An-Najm: 32)
Contoh konkretnya begini, ada seorang yang dikenal shalih, dia pun senantiasa berdakwah, beramar makruf nahi munkar, namun ternyata di balik itu semua dia sering melanggar apa yang dia serukan dan bermudah-mudahan dalam melakukan dosa ketika dia bersendirian. Inilah yang dimaksud “shalih” menurut sangkaan manusia, tetapi sebenarnya bukan demikian hakikatnya. [5]
8. Bersabar ketika menanti pasangan

Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat.” (Qs. Al-Baqarah: 153)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa cara terbaik untuk meminta pertolongan Allah dalam menghadapi berbagai musibah yang menimpa (di antaranya ketika jodoh belum kunjung tiba) adalah dengan bersabar dan shalat.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini,
“…Sedangkan sabar dalam ayat ini ada dua macam, yaitu sabar dalam rangka meninggalkan berbagai perkara haram dan dosa; dan bersabar dalam menjalankan ketaatan dan ibadah. Bersabar bentuk yang kedua lebih banyak pahalanya, dan itulah sabar yang lebih dekat maksudnya untuk mendapatkan kemudahan. Adapun bentuk sabar yang ketiga adalah bersabar atas musibah dan kejadian yang menimpa. Sabar yang demikian merupakan suatu keharusan, sebagaimana keharusan beristighfar dari berbagai kesalahan.”
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Sabar ada dua bentuk: bersabar untuk Allah dengan menjalankan apa yang Dia cintai walaupun berat bagi jiwa dan badan. Dan bersabar untuk Allah dari segala yang Dia benci walaupun keinginan nafsu menentangnya. Siapa yang kondisinya seperti ini maka dia termasuk dari golongan orang-orang yang sabar yang akan selamat, insya Allah…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim lil Hafizh Ibn Katsir)

9. Optimis (Tafa’ul) dan berpikir positif

Optimis: [n] orang yg selalu berpengharapan (berpandangan) baik dl (dalam pen) menghadapi segala hal. [6]
Allah Subhanahu Ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai tafa’ul التَّفَاؤُلُ (optimisme) dan membenci tasya’um التَّشَاؤُمُ (pesimisme). Optimisme dapat ditumbuhkan dengan senantiasa berhusnuzhzhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan mempertinggi tawakkal dalam kehidupan sehari-hari.
قَالَ الْحَلِيْمِيُّ وَإِنَّمَا كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ الْفَأْلُ لِأَنَّ التَّشَاؤُمَ سُوءُ ظَنِّ بِاللَّهِ تَعَالَى بِغَيْرِ سَبَبٍ مُحَقَّقٍ وَالتَّفَاؤُلُ حُسْنُ ظَنٍّ بِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَأْمُورٌ بِحُسْنِ الظَّنِّ بِاللَّهِ تَعَالَى عَلَى كُلِّ حَالٍ
Al-Halimi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka dengan optimisme, karena pesimis merupakan cermin persangkaan buruk kepada Allah Ta’alatanpa alasan yang jelas. Optimisme merupakan wujud persangkaan yang baik kepadaNya. Seorang mukmin diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap kondisi”. (Fathul Bari, hadits no. 5755, bab Al-Fa’l)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي …الحديث
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadapku…” (HR. Bukhari no. 7405)
قَوْلُهُ (يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي) أَيْ قَادِرٌ عَلَى أَنْ أَعْمَلَ بِهِ مَا ظَنَّ أَنِّي عَامِلٌ بِهِ
Makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah berfirman, “Aku menurut persangkaan hambaKu terhadapKu.” yakni : Allah mampu berbuat sesuatu (merealisasikan suatu perbuatan) atas dasar persangkaan hambaNya bahwa Allah akan berbuat demikian.” (Fathul Bari, hadits no. 7405)

قَالَ الْقُرْطُبِيُّ في المفهم قيل معنى ظن عبد بِي ظَنُّ الْإِجَابَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَظَنُّ الْقَبُولِ عِنْدَ التَّوْبَةِ وَظَنُّ
الْمَغْفِرَةِ عِنْدَ الِاسْتِغْفَارِ وَظَنُّ الْمُجَازَاةِ عِنْدَ فِعْلِ الْعِبَادَةِ بِشُرُوطِهَا تَمَسُّكًا بِصَادِقِ وَعْدِهِ
Al-Qurthubi berkata di dalam kitab Al-Mufhim (Al-Mufhim li Ma Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim pen), “Ada yang mengatakan bahwa makna prasangka hambaKu terhadapKu adalah prasangka dalam hal pengabulan doa ketika memanjatkan doa, prasangka tentang diterimanya taubat ketika hamba bertaubat, prasangka mengenai adanya ampunan ketika hamba beristighfar, dan prasangka akan diberi pahala ketika melaksanakan ibadah beserta syarat-syaratnya dalam rangka berpegang teguh pada kebenaran janjiNya.” (Tuhfatul Ahwadzi, hadits no. 2496, bab Fi Husnizhzhan billahi Ta’ala)
Salah satu faidah yang terkandung di dalam hadits di atas adalah: anjuran berprasangka baik terhadap Allah, di dalam segala hal termasuk dalam hal keoptimisan bahwa doanya akan terkabul. Bukankah Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa yang bisa mewujudkan doa kita, jika memang Dia menghendakinya? Mewujudkan hal yang demikian adalah mudah bagi Allah. Jangankan hanya untuk mengabulkan doa kita, bahkan untuk penciptaan alam semesta seisinya serta berbagai jenis makhlukNya pun adalah hal yang mudah bagi Allah. Oleh karena itu, seorang mukmin sejati adalah orang yang berkepribadian mantap dan senantiasa berpikiran optimis jauh ke depan.
Eksperimen yang cukup dikenal untuk sedikit mengetahui apakah Anda seorang yang optimis ataukah pesimis, adalah dengan melihat gelas yang diisi air hingga setengah penuh. Seorang yang optimis akan berpandangan baik dan positif bahwa gelas ini setengah terisi. Akan tetapi, orang yang pesimis akan berpandangan bahwa gelas ini setengah kosong. Kalau demikian adanya, Anda termasuk orang yang seperti apa?
10. Berhati – hati dan menjaga diri

Sudah maklum kiranya bahwa masa pra nikah adalah masa yang rentan godaan bagi kedua calon pasangan. Apalagi jika keduanya merasa begitu memiliki banyak kesamaan dan mulai ada ketertarikan. Pada masa ini sangat mungkin bersemi benih rasa suka, yang berbunga rindu dan berbuah cinta. Amat mungkin pula terbuka peluang untuk “berpacaran gaya terselubung” ala aktivis dakwah. Mengapa dikatakan terselubung? Karena gaya interaksi semacam ini memang terkamuflasekan oleh suatu dalih. Contohnya: alasan “perhatian kepada saudara atau saudari di jalan Allah” atau malah yang dikemas secara apik dan menarik atas nama dakwah. ”Sayang…sudah hafalan Qur’an belum hari ini? Tadi belajar apa saja? Pematerinya ustadz siapa?” Si pujaan hati pun -misalkan- menimpali, “tadi datang gak ke kajian? Sudah hafalan hadits belum hari ini?”.

Wal’iyadzubillah…Semoga kita semua dijauhkan dari hal – hal yang seperti itu. Panggilan atau ungkapan mesra seperti: sayang, cinta, rindu sangatlah tidak beradab jika dilontarkan pada wanita atau pria yang belum dihalalkan bagi kita. Apalagi jika perkataan mesra itu dibalut dengan sajak rayuan cinta yang mengundang nafsu.

Cinta…kau begitu manis terasa
Kau indah nan sempurna
Kau hidupku, kau sayangku, kau pengantinku di surgaNya
Kekasih…kau yang kupuja dan kucinta hingga ajal tiba
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…
Dari kejadian itu, cukuplah kiranya penulis sampaikan beberapa point yang patut diperhatikan oleh siapapun yang sedang menjalani stase pra nikah,
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs. Al-Isra’: 32)

Jenis huruf “la” pada ayat tersebut adalah la An-nahiyyah (لا الناهية) yang berarti “jangan” dan bermakna larangan. Dari ayat ini diambil faidah hukum mengenai haramnya mendekati zina dalam bentuk apapun. Karena pada setiap kata yang berbentuk larangan, terkandung hukum asal: HARAMnya perbuatan tersebut, kecuali ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya yakni haram. Oleh karena itu, salah satu hikmah mengapa Allah berfirman, “Janganlah kamu mendekati zina”, dan bukan langsung berfirman, “Janganlah kamu berzina” adalah adanya cakupan larangan yang menunjukkan haramnya mendekati segala macam sarana yang bisa menghantarkan kepada perbuatan zina -termasuk pacaran sebelum ada ikatan pernikahan-.
..والنهي عن قربانه أبلغ من النهي عن مجرد فعله لأن ذلك يشمل النهي عن جميع مقدماته ودواعيه فإن: ” من حام حول الحمى يوشك أن يقع فيه ” خصوصا هذا الأمر الذي في كثير من النفوس أقوى داع إليه…
“..dan larangan mendekati zina lebih dalam (mengena) maknanya daripada larangan berbuat zina semata, karena larangan mendekati zina mencakup larangan dari segala permulaan dan dari seluruh faktor pendorong perbuatan zina. Barangsiapa yang menggembala (ternaknya) di sekitar pagar daerah terlarang, dikhawatirkan akan terjerumus ke dalamnya. Terlebih dalam perkara zina ini, yang merupakan seruan paling kuat bagi kebanyakan jiwa…” (Tafsir As-Sa’di)
Mendekati zina saja sudah merupakan hal yang haram, apalagi melakukannya. Tidak usah terlalu jauh membayangkan zina hanyalah terbatas pada bersatunya dua genital –maaf-, namun zina di sini meliputi lingkup yang lebih kompleks.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Telah ditetapkan bagi Anak Adam bahwa ia dapat melakukan zina, itu bukanlah suatu hal yang mustahil: Kedua mata zinanya adalah melihat. Kedua telinga zinanya adalah mendengar. Zina lisan adalah ucapan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah langkah. Zina hati berkeinginan dan berangan – angan, lalu kemaluanlah yang bisa membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Muslim)

Ada salah satu kaidah fiqhiyyah yang berbunyi : “Man ista’jala syaian qabla awanihi ‘uqiba bi hirmanihi”
مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْءً قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
(Barangsiapa yang tergesa – gesa terhadap sesuatu sebelum waktunya, akan diberi hukuman -berupa- tidak boleh mendapatkannya). Apakah pelaku tidak takut jika Allah merenggut kenikmatan pernikahannya, hanya karena dia tergesa – gesa mencoba kenikmatan semu sesaat untuk berhubungan “gelap” dengan lawan jenis?

Pernikahan adalah ikatan sakral yang suci. Tiada pantas ikatan suci tersebut dinodai oleh “pacaran” pra nikah yang sangat mungkin menyebabkan hilangnya barakah pernikahan,wal’iyadzubillah.
Penuntut ilmu agama hanyalah manusia biasa, yang kadang tergelincir dalam dosa. Mereka bukan makhluk yang terpelihara dari dosa. Untuk itulah perlu adanya komitmen dari kedua belah pihak untuk sama – sama teguh menjaga hati, agar tidak terkontaminasi virus merah jambu sebelum saatnya tiba nanti, Insya Allah. Ikhwan ataupun akhawat mungkin pernah terjerumus sesekali. Ketergelinciran ini tidak lalu mengeluarkan mereka dari jajaran ahlussunnah, sehingga kita bisa dengan semena-mena menghakimi, memandang rendah seolah mereka kriminal agamis terkeji sepanjang masa, plus memberikan serentetan tudingan label bahwa mereka bukan orang yang bertakwa dan lain sebagainya [memangnya kita orang yang paling suci sedunia dan tidak pernah melakukan dosa??].
Orang yang bertakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun orang yang jika melakukan kesalahan segera bertaubat dan kembali pada kebenaran. Statemen “Ikhwan dan akhawat hanyalah manusia biasa, yang terkadang tergelincir dalam dosa. Mereka bukan makhluk yang terpelihara dari dosa…” bukan berarti bentuk pembelaan dan perlindungan subyektif penulis terhadap ketergelinciran mereka, namun di sini penulis sedang mengajak Anda semua untuk lebih bijak dan arif menyikapi kesalahan yang dilakukan oknum “berpacaran terselubung” dari kalangan penuntut ilmu, dalam memberi peringatan dan meluruskan ketergelinciran mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semua Anak Adam (pasti pernah) melakukan kesalahan. Dan sebaik – baiknya orang yang melakukan kesalahan, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’)

Satu hal yang perlu diingat bahwa calon pasangan belum tentu menjadi pasangan. Masih banyak kemungkinan – kemungkinan yang bisa terjadi di luar batas kuasa makhluk. Sangat mungkin terjadi suatu hal yang akhirnya berakibat putusnya proses antara calon pasangan. Bermula dari intensnya hubungan itu, besar kemungkinan tersisa seonggok luka, secercah asa, sekeping rasa, bahkan sebentuk cinta yang terlanjur bersemayam di jiwa. Maka dari itu, berhati – hatilah agar jangan sampai perasaan cinta begitu mengakar kuat di dalam dada, hingga bisa mengalahkan ilmu dan akal logika, yang bisa berujung pada kondisi “cinta buta”.

Manakala cinta sang pecinta sudah demikian mendalam pada orang yang dicinta, akan sangat susah melupakannya. Pada akhirnya hanya menjadi sebuah dilema bagi sang pecinta yang sedang dimabuk asmara, apakah dia rela memutuskan proses dengan kekasih hatinya atau tidak. Kenapa harus menjadi dilema dalam dirinya? Karena ternyata cintanya berseberangan dengan ilmu dan logika. Dilema cinta itu hanya ada jika kita menimbangnya dengan logika asmara (logika orang yang kasmaran). Akan tetapi, jika kita menimbangnya dengan syari’at dan logika yang sehat, maka tidak akan ada dilema. Apa yang harus terjadi, maka terjadilah. Andaikata proses lebih baik harus berhenti, maka berhentilah. Andaikata proses berlanjut, maka suatu hari nanti adalah hari H…..Insya Allah…..

11. Melejitkan potensi diri guna menutup kekurangan
Masing-masing pribadi itu unik dan membawa unikum yang berbeda antara satu dengan lainnya, lengkap dengan paket kelebihan dan kekurangannya. Suatu hal yang selaras dengan fitrah, ketika di satu sisi seseorang dianugrahi banyak kelebihan, namun di sisi lain ada orang yang dianggap punya lebih banyak kekurangan. Adanya kelebihan merupakan anugrah yang patut disyukuri, bukan untuk berbangga diri, dan adanya kekurangan bukanlah hal yang harus ditangisi. Oleh karena itulah, seseorang hendaknya bisa berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan menggali dan melejitkan potensi terpendam yang ada dalam diri.
Tiap diri seyogyanya mengenal dan menganalisa segi positif dan negatif yang dikaruniakan padanya. Segi positif itu, diselaraskan dengan syariat untuk membangun keistimewaan, kekuatan, dan kecantikan dalam diri (inner beauty) guna menutup kekurangan yang dia miliki, sehingga orang tersebut nantinya akan memiliki mizah الميزة (ciri khas yang bisa membedakan antara dirinya dengan orang lain). Adapun segi negatifnya, secara perlahan-lahan dikurangi dan ditutupi. Tidak usah minder ataupun rendah diri jika merasa hanyalah orang yang “biasa saja” dan memiliki social value (nilai sosial) yang standar lagi rata-rata saja. Bisa jadi jika orang yang “biasa saja” itu mengoptimalkan segala aset yang dimiliki, dan berusaha menjalani penempaan diri laksana proses pengasahan permata, bukan hal yang mustahil andaikata justru hasil akhir tempaan itu kemilau pesonanya melebihi orang yang memang terlahir “lebih dari standar rata-rata“.
Berbicara sedikit mengenai permata, proses pengasahan bahan mentah permata dari batuan “kusam” menjadi permata yang berkilau, bisa dianalogikan dengan keadaan wanita yang biasa saja namun menjadi luar biasa, karena dia berusaha melejitkan potensi diri dan melebarkan “jangkauan sayap” kharismanya.
Pada umumnya, bahan mentah permata hanyalah berupa batuan biasa yang berwarna, kecuali intan yang kebanyakan transparan (meskipun intan pun sebenarnya beraneka macam warnanya). Orang awam yang menemukan bebatuan seperti ini bisa jadi membuangnya begitu saja, lantaran dianggap batuan biasa. Lihatlah bedanya ketika batu ini mengalami penempaan dan proses pengasahan. Subhanallah! Batu “kusam” ini berubah menjadi batu mulia yang kilaunya sungguh memukau mata.
Kalaulah ada yang masih berkecil hati karena harta, rupa, ataupun hal yang menyangkut dunia…janganlah merasa rendah diri…masih banyak orang yang lebih banyak celanya dari kita. Syukurilah, berbahagialah dengan apa yang dimiliki, sabar serta ridha atas segala yang Allah karuniakan bagi diri kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang lain yang lebih besar karunianya dalam harta dan rupa, maka lihatlah orang yang lebih rendah dari apa yang telah dikaruniakan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 6490 dan Muslim no. 2963)

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim hal 1987 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan harta yang kalian miliki, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan yang kalian lakukan.”

Dan di dalam riwayat Imam Muslim yang lain:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat badan dan bentuk kalian, akan tetapi Dia melihat hati – hati kalian.”


Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة
“Jikalau engkau melihat ada seorang yang mengunggulimu dalam urusan dunia, maka unggulilah dia dalam urusan akhirat.” (Lathaif Al-Ma’arif)
Kita mungkin seringkali menginginkan pasangan sebagaimana yang orang lain dapatkan, dan menganggap rumput tetangga lebih hijau, atau menganggap buah di pekarangan tetangga lebih ranum. Akan tetapi, ingatlah suatu hal bahwa di atas langit tentu masih ada langit lagi. Lalu ingatlah masa awal ketika kita telah menjatuhkan pilihan untuk menikahi si dia, pasti ada alasan kita memilihnya. Peganglah alasan itu dan simpan baik – baik dalam ingatan dan hati kita.
“Biarlah orang berkata, diriku ibarat mendapat sebongkah batu hitam yang kurang berharga. Akan tetapi, bagiku engkau laksana permata yang begitu indah dipandang mata…
karena aku melihatmu bukan hanya dengan dua mata yang berada di kepala, namun dengan mata hati yang bersemayam di dalam jiwa…”


Bagi yang masih merasa ragu dan minder untuk menikah, berusahalah, berdo’a, bertawakkal…dan kuatkan tekad dalam hati, “saya akan segera menikah! Insya Allah”
Niscaya nikmatnya pernikahan bisa terwujud menjadi kenyataan, yang terukir dalam kenangan, bukan hanya impian yang terbingkai indah dalam angan.
Penulis pun berharap…semoga bias indah pelangi cinta segera mewarnai pernikahan Anda bersama pasangan hidup tercinta.

[4] Penulis mengambil pengertian inabah secara istilah dari kitab Syarh Al-Ushul Ats-Tsalaatsah Ibn ‘Utsaimin

[5] Dua point tentang kemungkinan itu diperoleh dari faidah salah satu kajian yang bertema rumah tangga, yang diisi oleh Ustadz Firanda hafizhahullah. Akan tetapi, penulis lupa judul kajian secara tepat. Jika penulis tidak keliru mengingat judul kajiannya, kajian tersebut berjudul “Suami Idaman Istri Pilihan” (yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama). Penulis hanya mengingat dengan jelas faidahnya saja, namun lupa judul kajiannya. Wallahu A’lam.


Salam, 

Utehime Humaira