Masih Mengintai Nama Yang Sama; K-A-M-U



Waktu. Menuntunku; mengiringmu pada satu titik mula; bertemu..

Kamu. Mencipta rindu yang membukut kalbu. Diam-diam begitu cepat mengendap membuatku tertambat. Aku terjerat. Dalam satu waktu, aku bisa jadi yang paling ingin ada didekatmu. Melebur kedalam keseluruhanmu. Mengenalmu lebih jauh; memahamimu tanpa melesat, hingga koma dan titik. Boleh ku tau, mantra apa yang kau semat ?

Kamu. Mengapa bisa begitu cepat melesat dalam nadiku. Bagaimana bisa begitu luas menyebarkan diri di darahku; pun begitu erat melekat di poriku. Dan kamu tau? aku mulai gelisah karena itu. Sepertinya kamu semakin hebat berpacu dengan waktu. Aku jadi ngilu. Kalau-kalau situasi tak berpihak padaku.

Perasaan yang menggantung disengal napasku; sesak. Sebab aku harus merasakannya sendirian. Menahannya mati-matian. Untuk satu kemungkinan; berujung kesakitan tak terperikan atau kebahagiaan tanpa akhiran. Dalam waktu singkat, kau membuatku makin ingin bertahan dalam keadaan yang berkutat pada keajaiban dan pengharapan.

Memang sukar menukar cinta yang kadung mengakar. Menggantinya dengan rasa yang lain; mengapa susahnya bukan main ?

Aku harus bagaimana ? Rasa yang kadung merajalela, apakah harus kubiarkan saja ? Hingga -nanti- kemungkinan terburuknya adalah kecewa akhirnya.  Atau, kuakhiri saja semuanya dari sekarang. Mengubah seluruh koma menjadi titik. Mengganti tanda tanya yang sering muncul dalam tulisanku dengan tanda seru. Sebab aku tak tau bagaimana caranya menyelesaikan perasaan yang tumbuh begitu cepat. Pun aku tak mampu memeliharanya dengan tanganku sendiri. Bukankah butuh sentuhanmu juga ??

Ah.. Sudahlah !!

Sekarang, biarkan saja dulu waktu yang menikmati segala cerita dihatiku yang kamu gag tau, dan di hatimu yang aku gag ngerti. Hingga Dia mengizinkan waktu untuk kembali mempertemukan kau dan aku dalam satu garis lurus. Satu titik dimana kita menjadi ‘saling’ dan ‘silang’. Satu ruang dimana tak lagi ada celah untuk kau pergi dariku, meskipun hanya bayangmu; pun tak ada lubang untukku dapat mengintip membidik keluar.

Kita ini seperti alung yang dilempar ke laut lepas. Mencari tempat pemberhentian paling pas. Boleh jadi, kan kita temui masing-masing disana. Ditempat pertama kita saling bertatap muka; saat waktu belum memperkenalkan kau dan aku. Saat kita masih jadi sesuatu yang asing.

Hanya saja tak ada yang mendengar lirihnya do’aku. Yang berharap kau memang tercipta untukku; pun aku terlahir tuk melengkapi rusukmu.DE



Salam,
DE   


 Humaira

DAku tak pernah meminta dipertemukan denganmu; tapi aku meminta dipersatukan denganmu.E

Jadilah Kau; Segalaku..


Dan aku hadir bukan untuk menggelisahkan hatimu. Pun kau datang bukan untuk menyakitiku, kan ? Untuk apa sebenarnya titik itu, yang kupijak tepat dihadapanmu. Yang ternyata menjadi awal mula segala rasa. Dan aku tak pernah mau mendalaminya. Tak pernah ingin memaknainya lebih teliti. Aku tak pernah meminta kau membuka intuisi. Bisik kecil yang merambat ke segala arah, lalu mendiami ruang-ruang hampa dihatiku.

Tapi toh, nyatanya aku hanya bisa memandangi biasmu. Membaca namamu di lini waktuku, dan mencoba mengingat-ingat wajahmu. Padahal disana, kau tak pernah mencoba mengeja kembali abjad-abjad yang menyusun namaku. Meskipun kau dan aku masih dalam satu gerak laju, bertemu diruang semu, tapi, aku tak pernah tau dengan siapa lagi kau berbagi cerita; membagiku..

Jujur saja, aku lelah jatuh cinta. Aku lelah mencintai yang salah. Aku lelah tak jua menemukan jemari yang pas dijariku. Aku lelah ditemukan oleh ia yang ternyata aku bukanlah rusuknya. Jadilah kau yang membuat semua lelahku berakhir. Jadilah kau seseorang yang membuatku berhenti disitu, berhenti direngkuhmu. Pun semisal –aku jatuh cinta lagi- lain waktu, itu hanya aku yang kembali mencintaimu. Dan terus begitu sampai berakhir waktuku. Jadikan aku yang paling pas ditulangmu. Sebab kecocokan hati tak pernah bisa dipelajari, tapi dipahami.

Kau melukis gradasi dalam hidupku, membelokkan cahayanya kemataku, membuatnya jadi pelangi. Bersediakah kau… bersediakah menenangkan hatiku, berusaha memahamiku, menyambut kepedihanku, membuat sedihku luruh sebab kau mengubahnya jadi bahagia..

Lalu ditempat itu, kau habisi rinduku dengan syahdu. Lagi, ditempat yang sama, kau lunasi senyumku dengan haru.

Andai ada mesin pendeteksi hati, mungkin kau bisa langsung mengerti betapa dalam benakku tak pernah lepas dari bayangmu. Betapa sulitnya aku menjinakkan hati yang mulai tak terkendali. Yang selalu ingin ada kamu mengitari semuaku, yang selalu saja menujumu. Yang enggan berjauh-jauh darimu, yang diam-diam menyimpan cemburu kepada siapa saja yang berada disekelilingmu. Lalu egoku memainkan peran, memikirkan apa yang tidak perlu. Andai ku tahu isi didalamnya; hatimu. Dan kemanapun kau melangkah, aku menunggu. Mendo’akanmu dari kejauhan.


Ajak aku bermesraan dalam udaramu, biar melebur pada kedamaian. Biar ku sesapi sendiri cinta yang membuatku takut kalau-kalau ia semakin akut. Biar kucoba tenangkan riak gelombang di jantungku, yang gelisah tak tau waktu. Ajak aku bergandengan dalam langkahmu, biar kupahami pelan-pelan setiap langkah yang tak akan pernah membuatku lelah; bersamamu..

Kenalkan aku dengan masa lalumu, lalu mengerat masa depan bersamamu.

Di tempat masing-masing kita mencari waktu yang tepat untuk saling bertatap. Tangan kita meraba-raba waktu yang pas untuk berjabat. Kau dan aku yang lama-lama terbiasa menunggu segalanya jatuh di titik temu, bukan dalam lengkung nafsu.


Sekarang,
biarkan aku mempelajari seluruhmu dan kau memahami segalaku.


Aku tak pernah berhenti mempelajari tentang kita; pun tak pernah lupa menyebut namamu dalam do’aku.


DAku ingin kau dan aku yang selamanya, bukan lagi sebuah wacana;KITA.E

The Anthology Of Love,

Humaira

Kisah Siti Muthi'ah - Wanita Pertama Yang Masuk Syurga




FATHIMAH Radhiallahu ‘anha bergegas menggandeng Hasan RA yang masih kecil.  Terngiang di telinganya pesan sang ayahanda, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk menemui seorang muslimah berakhlak mulia dan meneladaninya. Tak sabar rasanya Fathimah untuk segera mengetahui, seperti apa gerangan teladan wanita bernama Siti Muthi’ah tersebut.

Sesampainya di depan pintu rumah yang dimaksud, Fathimah pun mengucap salam. Tak lama kemudian si pemilik rumah datang membuka pintu.  Hatinya sangat heran bercampur senang karena tak menyangka yang bertandang adalah putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, sungguh di luar dugaan Fathimah, setelah mengutarakan maksud kedatangannya, Muthi’ah malah berkata, “Sungguh bahagia aku menyambut kedatanganmu Fathimah. Namun, maafkanlah aku karena aku hanya dapat menerima kedatanganmu di rumahku. Sesungguhnya suamiku mengamanatkan padaku untuk tidak menerima tamu lelaki di rumahku.”

Fathimah tersenyum, “Wahai Muthi’ah, ini Hasan anakku dan dia masih kecil.” Muthi’ah menjawab, “Sekali lagi maafkan aku Fathimah, meskipun ia masih kecil tetapi ia lelaki. Sungguh aku tidak dapat melanggar amanat suamiku.”

Mendengar jawaban Muthi’ah, Fathimah mulai merasakan kemuliaan akhlak Muthi’ah dan semakin ingin mengetahui lebih jauh keutamaan akhlak wanita tersebut. Akhirnya Fathimah pun pamit untuk sejenak mengantar Hasan pulang.

…Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan keteladanan akhlaq Muthi’ah...

Tak lama kemudian, Fathimah kembali tiba di rumah Muthi’ah seorang diri dan segera disambut dengan gembira oleh Muthi’ah. Setibanya di dalam, Muthi’ah dengan berbinar-binar menanyakan, apa penyebab kedatangannya. Fathimah pun menjelaskan bahwa ia datang karena perintah ayahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meneladani akhlaq Muthi’ah. Hati Muthi’ah pun segera ditutupi luapan kebahagiaan karena pujian dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentu tak ada bandingannya. Namun, ia kembali bertanya dengan keheranan pada Fathimah, “Apakah engkau tengah bercanda Fathimah? Keutamaan akhlak seperti apa yang kumiliki? Aku hanyalah perempuan yang biasa saja,” Muthi’ah kemudian tampak berpikir keras.

Sementara itu, tak sengaja pandangan Fathimah menyapu ruangan yang sederhana tersebut. Terlihat olehnya sebilah rotan, sebuah kipas, dan sehelai handuk. Ia pun segera bertanya pada Muthi’ah, “Untuk apa benda-benda itu?” Wajah Muthi’ah pun seketika merona merah. “Untuk apa kau tanyakan itu Fathimah, aku jadi malu.” Namun, Fathimah mendesak, “Katakanlah padaku Muthi’ah, mungkin benda-benda itulah yang membuat ayahku mengabarkan padaku tentang kemuliaanmu.”

Muthi’ah pun bercerita, “Suamiku setiap harinya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Karena itu, aku sangat menyayangi dan menghormatinya. Begitu ia pulang dari bekerja, maka aku akan cepat-cepat menyambutnya dan mengelap keringatnya dengan handuk ini. Setelah kering keringatnya, maka ia akan berbaring di tempat tidur. Ketika itulah, aku mengambil kipas ini dan kukipasi tubuhnya sampai hilang penatnya atau ia tertidur pulas.”

…Inilah pesona yang hanya mampu dipahami oleh seorang muslimah sejati yang mengukur segala tindakan dengan skala iman...

Fathimah masih penasaran, “Lalu, untuk apa rotan ini?” Muthi’ah melanjutkan, “Setelah ia hilang lelahnya atau terbagun dari tidurnya, maka aku akan segera berpakaian serapi dan semenarik mungkin. Karena aku tahu, seorang suami pasti sangat senang melihat istrinya yang berpakaian rapi dan hal itu akan membuatnya betah di rumah. Kuhidangkan makanan di atas meja makan dan kutunggu ia hingga selesai makan. Setelah dia selesai makan, maka aku akan bertanya, apakah ada pelayananku yang tak berkenan dihatinya. Maka aku akan menyerahkan rotan tersebut padanya untuk memukulku.”

“Lalu, apakah suamimu sering memukulmu?” tanya Fathimah. “Tidak, tidak pernah, yang selalu terjadi adalah dia menarik tubuhku dan memelukku penuh kasih sayang.” Mendengar semua penjelasan tersebut, Fathimah terperangah. Sungguh, tak berlebihan kiranya, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya mendatangi rumah Muthi’ah. Pesona akhlaqnya sungguh luar biasa.

…Perempuan beriman dan berakhlak mulia akan mendapatkan seorang suami yang beriman dan penuh cinta...


Pesona yang tak mungkin dimiliki seorang perempuan yang  berorientasi materialistik yang memandang segala sesuatu hanya pada kebendaan dan kasat mata saja. Sebab, cinta dan ketulusan Muthi’ah tentu tak terukur pada sebilah rotan yang digunakan untuk memukul saja. Kasih sayangnya tentu tak akan membuatnya rendah karena setia mengelap keringat di tubuh suaminya.

Inilah pesona yang hanya mampu dipahami oleh seorang muslimah sejati yang mengukur segala tindakan dengan skala iman. Yang mampu melihat dengan mata hati bahwa ketaatan akan menghadiahkan kebahagiaan. Bahwa ketundukan pada perintah Allah dan Rasul-Nya, bukan hanya menuntun pada kebenaran. Namun, juga pada pembuktian bahwa setiap perempuan yang beriman dan berakhlak mulia juga akan mendapatkan seorang suami yang beriman dan penuh cinta.


Kisahteladan.info
Salam,


Humaira


Kisah Lukmanul Hakim & Anaknya



Lukmanul Hakim dikenali sebagai manusia yang sering meninggalkan peringatan serta manfaat menerusi kata-katanya. Beliau merupakan seorang ayah yang sentiasa menasihati anaknya dengan kata-kata berhikmah. Dan kata-kata itu adalah wajar diambil iktibar oleh kita semua.

Pernah suatu ketika, beliau mengajak anaknya keluar ke pasar. Beliau mengenderai seekor keldai manakala anaknya pula mengekorinya dengan berjalan kaki. “Teruknya orang tua ini, anaknya yang kecil dibiarkan berjalan kaki sedangkan dia bersenang-lenang menunggang keledai,” kedengaran suara dari sekumpulan manusia yang melihat mereka.

” Wahai anakku, dengarkah engkau apa yang mereka perkatakan itu?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya.

“Dengar ayah,” jawab anaknya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sekarang engkau naiklah ke atas keledai ini, biar ayah menariknya,” katanya sambil mengangkat anaknya ke atas belakang keldai.

“Nampakkah kalian betapa anak yang tak pandai mengenang budi ayahnya yang sudah tua. Disuruhnya ayahnya menarik keledai sedangkan dia yang masih muda menunggangnya, sungguh tidak patut,” kata sekumpulan manusia lain yang mereka temui di tengah, perjalanan.

“Dengarkah engkau apa yang mereka perkatakan?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya.

Anaknya mengiyakan pertanyaannya itu.

“Sekarang engkau turun dari keledai ini, dan kita sama-sama berjalan kaki,” kata Lukmanul Hakim. Anaknya segera turun dari keldai.

Tak berapa lama kemudian mereka bertemu pula dengan sekumpulan manusia yang lain. “Alangkah bodohnya orang yang menarik keledai itu. Keledai untuk dikenderai dan dibebani dengan barang-barang, bukan untuk diseret seperti lembu dan kambing,” kata mereka.

“Dengarkah engkau apa yang mereka kata?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya lagi.

“Dengar ayah.”

“Kalau begitu marilah kita berdua naik ke atas belakang keledai ini,”

Tidak berapa lama selepas itu mereka terdengar perbualan sekumpulan orang yang lain pula. “Sungguh tidak bertimbang rasa mereka ini, keledai yang kecil ditunggangi berdua!” kata mereka.

Lukmanul Hakim lalu bertanya kepada anaknya, “Adakah engkau dengar apa yang mereka perkatakan?”

“Ya ayah, saya dengar.”

“Kalau begitu marilah kita dukung keledai ini,” kata Lukmanul Hakim

Dengan bersusah payah mengikat keempat-empat kaki, akhirnya mereka berjaya mendukung keledai itu. Dan dalam keadaan itu jugalah mereka mula berjalan, dengan bebanan menanggung seekor keledai. Apabila orang ramai melihat gelagat mereka berdua, mereka ketawa terbahak-bahak. “Ha! ha! ha! Hei! Lihatlah orang gila mendukung keledai!”

“Dengarkah engkau apa yang mereka katakan?” dia bertanya kepada anaknya lagi.

“Dengar ayah,” jawab anaknya.

Mereka meletakkan keledai itu ke tanah. Beliau pun menyatakan hikmah di sebalik peristiwa tadi, “Anakku, begitulah lumrah manusia. Walau apapun yang engkau lakukan, engkau tidak akan terlepas dan kata-kata mereka. Tak kira benar atau salah, mereka tetap akan berkata.”

“Ingatlah anakku bila engkau bertemu kebenaran janganlah engkau berubah hati hanya karena mendengar kata-kata orang lain. Yakinlah dengan diri sendiri dan gantung harapanmu kepada Allah.”

Lukmanul Hakim pernah berwasiat kepada anaknya sebelum beliau meninggalkan dunia yang fana ini. Wahai anakku, janganlah engkau makan kecuali makanan yang sedap saja. Berkahwinlah selalu dan binalah rumahmu di seluruh pelosok bumi ini.”

Anaknya seolah-olah tidak percaya dengan wasiat ayahnya itu. Tetapi mungkin juga ada sesuatu di sebalik kata-kata itu, fikirnya. Setelah ayahnya selesai dikebumikan dia berjumpa dengan seorang teman rapat ayahnya, lalu meminta penjelasan berkenaan kata-kata wasiat ayahnya itu dengan penuh sangsi.

“Ayahmu memang benar,” kata teman ayahnya.

Dia semakin bingung dengan jawapan itu lalu bertanya, “Apakah maksud pak cik?”

“Wasiat ayahmu yang pertama bermaksud janganlah engkau makan kecuali apabila telah benar-benar lapar, kerana apabila engkau sudah terlalu lapar engkau akan merasa makanan yang engkau makan itu begitu lazat dan engkau akan bersyukur dengannya.”

“Berkenaan wasiat ayahmu yang kedua pula, hendaklah kamu selalu berkelana, kerana apabila engkau bertemu semula dengan isterimu setelah lama terpisah, engkau akan berasa seperti baru berkahwin. Dan wasiat ketiganya, yang menyuruh engkau membina sebanyak-banyaknya rumah ialah, carilah sahabat seramai mungkin. Apabila engkau telah bersahabat dengan seseorang maka rumahnya akan menjadi seperti rumahmu sendiri dan rumahmu juga sudah seperti rumahnya.”

Setelah mendengar penjelasan itu barulah dia faham maksud sebenar dan kata-kata ayahnya, yang pada mulanya dianggap aneh itu. Memang luar biasa insan yang bergelar Lukmanul Hakim ini, katanya satu, hikmahnya beribu.?


Kisahteladan.info


Salam,

@Humaira

10 Wasiat Untuk Wanita Sholehah :)



1. Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat

Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah. Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncang kerajaan. Oleh karena itu jangan engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah.
Wahai hamba Allah..! jagalah Allah maka Dia akan menjagamu beserta keluarga dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan menceraiberaikan keutuhannya.
Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata:Aku mohon ampun kepada Allah! itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku) Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:
- Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar.
- Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya dan sum’ah.
- Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman :”Wahai orang-orang yang briman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang menolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita yang mengolok-olokkan(QS. Al Hujurat: 11).
- Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Rasulullah bersabda: Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya (HR. Muslim).
- Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pambantu dan pendidik-pendidik yang kafir.
- Meniru wanita-wanita kafir. Rasulullah bersabda: Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud serta dishahihkan Al-Albany).
- Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.
- Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah).
- Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan yang mendesak.
 
2. Berupaya mengenal dan memahami suami

Hendaknya engkau berupaya memahami suamimu. Apa–apa yang ia sukai, berusahalah memenuhinya dan apa-apa yang ia benci, berupayalah untuk menjauhinya dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah Azza Wajalla).

3. Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik.

Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah bersabda: Seandainya aku boleh memerintahkanku seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya (HR. Imam Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albany).
Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Rasulullah bersabda: Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali (HR. Thabrani dan Hakim, dishahihkan oleh Al-Albany).
Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu. Dengan ketaatanmu pada suami dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjdai sebaik-baik wanita (dengan izin Allah).

4. Bersikap qanaah (merasa cukup)

Kami menginginkan wanita muslimah ridha dengan apa yang diberikan untuknya baik itu sedikit ataupun banyak.
Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Renungkanlah wahai saudariku muslimah, adabnya wanita salaf radhiallahu anhunna. Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat kepadanya. Apakah itu?? Ia berkata pada suaminya: “Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa bersabar dari api neraka”

5. Baik dalam mengatur urusan rumah tangga, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya.

Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

6. Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya.

Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

7.Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.

Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu, maka sertailah ia dalam duka cita dan kesedihannya. Renungkanlah wahai saudariku kedudukan Ummul Mukminin, Khadijah radhiallahu’anha, dalam hati Rasulullah walaupun ia telah meninggal dunia.. Kecintaan beliau kepada Khadijah tetap bersemi sepanjang hidup beliau, kenangan bersama Khadijah tidak terkikis oleh panjangnya masa. Bahkan terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyur sehingga menjadikan Rasulullah merasakan ketenangan setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali pertama: Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.(HR. Mutafaq alaihi, Bukhary dan Muslim).

8. Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaannya.

Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat kau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu di hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hak-hakmu dengan membandingkan lautan keutamaan dan kebaikannya kepadamu.

9. Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya. Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapapun, maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi. Saudariku, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dzalim kepada Hakim atau Mufti atau orang yang engkau harapkan nasehatnya.

10. Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan.

Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya. Padahal Rasulullah telah melarang hal itu dalam sabdanya: Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya (HR. Bukhary dalam An-Nikah).

Untuk para istri yang berhasrat menjadi penyejuk hati dan mata suaminya. Semoga Allah memeliharamu dalam naungan kasih sayang dan rahmatNya. Amin.
Wallahu a’lam bish showab…

arrahmah.com    

Salam,



@Humaira

Obat Ketika Merindukan Si'Dia' :)



OBAT KETIKA MERINDUKAN SI DIA
Tak bisa disangkal, manusia akan selalu bersentuhan dengan cinta. Sementara kecintaan memberikan buah kerinduan. Orang yang mencinta akan rindu kepada orang yang dicintainya.
Kerinduan kepada kekasih, seringkali membekaskan duka. Karena sudah tahu bahwa pacaran bukanlah jalan yang halal untuk ditempuh, maka nikahlah satu-satunya yang jadi pilihan. Padahal si pria belum mampu memberi nafkah lahir. Wanita pun masih muda dan dituntut oleh orang tua untuk menyelesaikan sekolah atau meraih gelar. Akhirnya, karena tidak kesampaian untuk nikah, maka pacaran terselubung sebagai jalan keluar karena tidak kuat menahan rasa rindu pada si dia. Lewat chatting, inbox FB atau sms jadi jalur alternatif.

Inilah yang dialami pemuda masa kini. Mungkin juga dialami para aktivis dakwah. Agar dikira tidak melalui pacaran, maka sms dan chatting yang jadi pilihan. Seharusnya rasa rindu ini bisa dipendam dengan melakukan beberapa kiat yang akan kami utarakan[1]. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.



Terapi dari Rasa Rindu dengan Segera Nikah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemudabarangsiapa yang memiliki baa-ah[2], maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[3]


Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah.[4]

Secara bahasa, baa-ah bermakna jima’ (berhubungan suami istri). Sedangkan mengenai makna baa’ah dalam hadits di atas terdapat ada dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna.

Pertama: makna baa-ah adalah sebagaimana makna secara bahasa yaitu jima’. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berjima’ karena mampu memberi nafkah nikah, maka menikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya memberi nafkah, maka hendaklah ia memperbanyak puasa untuk menekan syahwatnya dan untuk menghilangkan angan-angan jeleknya.
Pendapat kedua: makna baa-ah adalah kemampuan memberi nafkah. Dimaknakan demikian karena konsekuensi dari seseorang mampu berjima’, maka tentu ia harus mampu memberi nafkah. Sehingga makna hadits adalah barangsiapa yang telah mampu memberi nafkah nikah, maka hendaklah ia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasalah untuk menekan syahwatnya.

Jadi maksud dari dua pendapat ini adalah sama yaitu harus punya kemampuan untuk memberi nafkah. Sehingga inilah yang menjadi syarat seseorang (khususnya pria) untuk membina rumah tangga dengan kekasih pilihan, yaitu ia memiliki kemampuan untuk memberi nafkah keluarga. Hal ini yang banyak disalahpahami sebagian pemuda. Mereka ngebet minta nikah pada ortunya. Padahal sesuap nasi saja masih ngemis pada ortunya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Dari sini, barangsiapa yang memiliki kemampuan, maka segeralah untuk menikah guna memadamkan rasa rindu yang ada. Menikah di sini tidak mesti dengan orang yang selalu dirindukan. Boleh jadi, juga dengan orang lain. Karena nikah telah mencukupkan segala kebutuhan jiwa di samping dalam nikah akan ditemui banyak keberkahan. Jika memungkinkan menikah dengan orang yang dirindukan, maka menikahlah dengannya. Ini merupakan terapi manjur.

Berusaha untuk Ikhlas dalam Beribadah
Ikhlas adalah obat manjur penyakit rindu. Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbesit di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”
Hati yang tidak ikhlas akan selalu diombang-ambingkan nafsu, keinginan, tuntutan serta cinta yang memabukkan. Keadaannya tak beda dengan sepotong ranting yang meliuk ke sana kemari mengikuti arah angin.

Banyak Memohon pada Allah
Setiap do’a yang kita panjatkan pasti akan bermanfaat. Boleh jadi do’a tersebut segera dikabulkan oleh Allah. Boleh jadi sebagai simpanan di akhirat. Boleh jadi dengan do’a kita tadi, Allah akan menghilangkan kejelekan yang semisal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selam tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allahu akbar (Allah Maha besar).”[5]

Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Oleh karena itu, perbanyaklah do’a.

Memenej Pandangan

Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[6]

Mujahid mengatakan,
غَضُّ الْبَصَرِ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ يُورِثُ حُبَّ اللَّهِ
“Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah, akan menimbulkan rasa cinta pada Allah.”[7] Berarti menahan pandangan dari wanita yang bukan mahrom akan menimbulkan rasa cinta pada Allah. Menundukkan pandangan yang dimaksud di sini ada dua macam yaitu memandang aurat sesama jenis dan memandang wanita yang bukan mahram.

Tiga faedah dari menundukkan pandangan telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[8]

Pertama: Akan merasakan manis dan lezatnya iman. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
Kedua: Akan memberi cahaya pada hati dan akan memiliki firasat yang begitu cemerlang.
Ketiga: Akan lebih menguatkan hati.




Lebih Giat Menyibukkan Diri

Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Oleh karena itu, untuk memangkas kerinduan seseorang hendaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk dunia atau akhirat. Hakikat dari rasa rindu adalah kesibukan hati yang kosong. Di kala sepi sendiri, tanpa aktivitas muncullah bayangan sang kekasih, wajah, gerak-gerik, dan segala yang berkaitan dengannya. Seluruhnya hanya sekedar bayangan dan khayalan yang berakhir dengan kesedihan diri. Tiada manfaatnya sedikit pun bagi kehidupan kita.
Ibnul Qayyim menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[9]


Menghindari Nyanyian dan Film Percintaan
Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.[10]
Imam Asy Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.[11]



Bayangkan Kekurangan Si Dia
Ingatlah selalu, orang yang engkau rindukan bukanlah pribadi yang sempurna. Ia sangat banyak kekurangan, sehingga tidak layak untuk dipuja, disanjung atau senantiasa dirindukan. Orang yang dirindukan sebenarnya tidak seperti yang dikhayalkan dalam lamuman.
Ibnul Jauzi berkata, “Sesungguhnya manusia itu penuh dengan najis dan kotoran. Sementara orang yang dimabuk cinta senantiasa melihat kekasihnya dalam keadaan sempurna. Disebabkan cinta ia tidak lagi melihat adanya aib.”
Kita bisa menghukumi sesuatu dengan timbangan keadilan sedangkan orang yang sedang kasmaran tengah dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga tak dapat bersikap dengan adil. Kecintaannya menutupi seluruh aib yang dimiliki oleh pasangannya.
Para ahli hikmah berkata, “Mata yang diliputi oleh hawa nafsu akan menjadi buta.”
Semoga Allah memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

M. Abduh Tuasikal

[1] Kiat-kiat ini kami olah dari pembahasan Majalah Elfata, edisi 02, volume 05, tahun 2005.
[2] Baa-ah ada tiga penyebutan lainnya: [1] al baah (الْبَاءَة), [2] al baa’ (الْبَاء), dan [3] al baahah (الْبَاهَة). Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/70, Mawqi’ Al Islam.
[3] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[4] Lihat Syarh Muslim, 5/70.
[5] HR. Ahmad no. 11149, 3/18, dari Abu Sa’id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[6] HR. Muslim no. 2159.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 15/394, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H
[8] Majmu’ Al Fatawa, 15/420-426
[9] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[10] Lihat Talbis Iblis, 289, Asy Syamilah
[11] Talbis Iblis, 283

Salam,


Utehime Humaira.