Tidak sedikit perempuan kita suka
berkelit, menghindari peran dan kewajiban dasar yang dianggapnya sebagai
masalah yang melilit. Yang gadis ingin selalu bebas dinamis, buntutnya malas
untuk menjadi seorang istri. Giliran jadi istripun tak berhenti bikin sensasi,
phobi untuk punya anak. Kalaupun terpaksa punya, cukup terpeleset sekali saja,
katanya. Pun tidak mau memberikan ASInya, padahal bagi anak itulah yang paling
baik dan enak.
Fenomena itu kini menyeruak di masyarakat
bumi, tidak ketinggalan yang disebut nusantara ini. Dalam kehidupan dunia yang
semakin global, perang tidak sekedar dengan rudal apalagi dengan pedang. Lewat
media massa penjajahan tidak lagi kasat mata. Penjajah yang dijajah bisa satu
asa dan satu rasa, sama-sama bangga. Penjajahan budaya, mengalir bersama
kucuran dana. Feminisme, salah satu namanya.
Feminisme dijual dengan kemasan
perjuangan perempuan, pembebasan wanita. Muncullah jargon keseteraan gender. Perempuan dan laki-laki tidak beda
sama sekali, kecuali pada fungsi reproduksi. Dianggap wajar bila menolak
menggunakan hak reproduksinya. Bayangkan jika dianut semua wanita negeri ini,
bisa-bisa tingkat kelahiran bayi di negara ini bisa dihitung dengan jari.
Mereka membuat opini, seorang
wanita yang rela sekedar jadi ibu rumah tangga berarti tidak punya harga. “Karena mau ditindas melakukan
pekerjaan hina,” suara kaum feminis membahana. Mereka seolah telah berjuang
untuk wanita, peduli akan nasib golongan putri. Sehingga tak pelak lagi anak
remaja kini termakan opini tadi. Ini yang mesti kita para keluarga muslim
hadapi dengan bijaksana dan hati-hati.
Tidak bisa dipungkiri laki-laki dan
wanita memang berbeda, ini sunnah ketetapan Sang Pencipta. Sempatkah kita
memperhatikan jenis burung yang beraneka. Kakaktua paruhnya melengkung, karena
makanannya biji-bijian, bukan kangkung. Si pelikan berkantung besar di bawah
paruhnya untuk menyimpan ikan sebagai persediaan makanannya. Sang bangau
berparuh amat panjang demi membantunnya memangsa ikan dalam air tanpa
tenggelam. Subhanallah!
Begitu juga manusia, sejak berupa
benih pun punya ciri yang tidak sama. Semakin dewasa kian banyak perbedaannya,
tanpa dapat decegah dan dihindari. Otot laki-laki berkembang lebih kuat,
organnya pun lebih berat. Bayi perempuan tumbuh dengan organ khas kewanitaan.
Tidak ada artinyakah perbedaan-perbedaan itu? Semua itu bukti adanya perbedaan
esensial perempuan dan laki-laki. Dengan teliti dan sangat sempurna, Allah Subhanahu
wa Ta’ala rancang bentuk fisik sesuai dengan tugas masing-masing di
sepanjang kehidupannya. Jujur harus diakui, perbedaan peran, tugas serta
spesifikasi antara dua jenis kelamin manusia sudah dibawa secara fitrah sejak
lahir. Sungguh tidak masuk akal (bagi akal yang sehat dan logis) jika
ada yang berkata tak ada pembagian tugas baku antara keduanya, seperti pendapat
kaum feminis.
Pembagian peran dan tanggung jawab sosial membawa implikasi pada
perbedaan dalam berbagai bidang lain yang terkait dengan kehidupan rumah
tangga. Ini yang diperangi para feminis. Berarti feminisme melanggar
sunnatullah.
Apapun kalau melanggar sunnatullah pasti berakibat pada
pergeseran keseimbangan. Timpanglah kehidupan rumah tangga, kehidupan
bermasyarakat dan seterusnya. Akhirnya timbul kekacauan.
Marilah disadari, kita –wanita dan pria- memang punya hak
sebagai individu. Tapi ada yang tidak boleh dilupa, kita hidup di dunia ini
punya misi. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan laki-laki
sebagai imam bagi keluarga begitu juga wanita punya misi sesuai kodratnya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala pencipta kita, tentu Dia tahu apa yang terbaik bagi kita.
Pejuang di jalan-Nya akan selalu berhadapan dengan pejuang
angkara murka. Marilah kita waspada, jangan jadikan keluarga kita korban
feminisme radikal! Wallahu a’lam Bishshowab.
Salam,
DE-Naa
No comments :
Post a Comment