Ada Apa Dengan Poligami ??


Poligami tergolong topik yang kontroversial di tengah umat. Tarik ulur bahkan perdebatan sengit sering terjadi seputarnya. Setiap pihak berbicara sesuai dengan strata/tingkatannya. Mulai kelas bawah yang “kampungan”, seperti “Satu istri saja nggak habis, apalagi banyak.” Yang lain menimpali, “Satu istri gag nyukupin, apalagi banyak.” Hingga kelas atas yang pembicaraannya bernuansa ilmiah, seperti poligami itu syariat ilahi yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kalian takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’: 3)

Rasulullah selaku teladan terbaik umat manusia, menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami, sebagaimana yang dikisahkan dalam sirahnya. Demikian pula para sahabat beliau n yang mulia, tidak sedikit dari mereka yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami, sebagaimana dalam kitab-kitab tarikh. Ini semua sebagai bukti bahwa poligami merupakan bagian dari syariat Islam yang mulia.

Yang lain menimpali, “Memang benar poligami itu syariat ilahi, tapi ngono yo ngono ning ojo ngono (gitu ya gitu tapi jangan gitu).” Artinya, walaupun poligami itu termasuk dari syariat Islam yang mulia, tetapi perasaan kaum wanita juga harus diperhatikan. Lebih dari itu, banyak rumah tangga yang berantakan karena poligami! Perceraian tak dapat dihindari, anak-anak pun hidup tak menentu.Wallahul musta’an.

Para pembaca sekalian, semoga hidayah dan taufik Allah Subhanahu wata’ala selalu mengiringi kita, tak dimungkiri bahwa pandangan dan pembicaraan tentang poligami sangat beragam di tengah umat ini. Namun, ada kaidah penting yang harus diperhatikan oleh setiap insan yang beriman dalam menyikapi berbagai permasalahan hidup, termasuk poligami. Yaitu, menerima segala syariat dan ketetapan yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lapang dada dan berbaik sangka kepada syariat- Nya, tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati.


Atas dasar itu, setiap mukmin dan mukminah yang menjunjung tinggi nilai nilai keimanan tidak boleh menolak syariat dan ketetapan yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Tidak boleh pula mendahulukan perasaan, logika, ataupun hawa nafsu atas segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.


Itulah di antara konsekuensi keimanan yang harus selalu dipegang erat-erat oleh setiap insan yang beriman. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
 “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)

Dengan menerima segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya n akan terwujud kehidupan yang berbahagia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
 “Hai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada- Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (al- Anfal: 24)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratul Basyar Ilaiha mengatakan, “Maka Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sikap menyambut seruan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan sikap enggan menyambut seruan tersebut sebagai kematian. Sehingga jelaslah bahwa syariat Islam merupakan kehidupan bagi umat dan pangkal kebahagiaan mereka. Sungguh tidak ada kehidupan dan kebahagiaan bagi mereka tanpa itu semua.”

Sungguh berbeda kondisi orang-orang yang Allah Subhanahu wata’ala lapangkan dadanya untuk menerima agama Islam dengan segala syariat dan ketetapannya, dengan orang-orang yang telah membatu hatinya dan berkesumat benci terhadapnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Maka apakah orang-orang yang Allah lapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Apakah sama orang yang Allah Subhanahu wata’ala lapangkan dadanya untuk menyambut agama Islam, siap menerima dan menjalankan segala hukum syariat yang dikandungnya dengan penuh kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah makna firman Allah Subhanahu wata’ala, ‘ia mendapat cahaya dari Rabbnya’), sama dengan selainnya?!

Yaitu orang-orang yang membatu hatinya terhadap Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala, dan berat hatinya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, kondisinya selalu berpaling dari ibadah kepada Rabbnya dan mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Subhanahu wata’ala. Merekalah orang-orang yang ditimpa kecelakaan dan kejelekan yang besar.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 668)

Para pembaca yang mulia, bila kita perhatikan dengan saksama, sungguh ketetapan tentang poligami yang sedang dipermasalahkan itu telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketetapan tentang poligami dijelaskan dalam al- Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3. Demikian pula dalam as-Sunnah, ketetapan tentang poligami dijelaskan dengan praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga beliau dan sejumlah hadits yang berisi aturan penting bagi siapa saja yang menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami.

Dari sini terkandung pelajaran berharga bahwa poligami tidak lain adalah syariat ilahi yang ditetapkan dalam kitab suci al-Qur’an dan as- Sunnah. Setiap muslim dan muslimah harus membenarkan syariat tersebut dan menerimanya dengan lapang dada tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati. Terlepas apakah ada kemampuan untuk menjalaninya ataukah tidak. Mengingat, poligami itu sendiri hukum asalnya adalah sunnah atau mubah, bukan wajib.

Bahkan, bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja, sebagaimana yang dibimbingkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas.

Sekali lagi, Adapun kasus-kasus kelabu seputar poligami; keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana, maka itu bukan karena syariat poligaminya. Penyebab utamanya adalah oknum yang menjalani poligami tersebut. Sama halnya dengan kasus-kasus kelabu seputar pernikahan yang tidak poligami atau perselingkuhan suami/istri; keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana. Penyebab utamanya adalah oknum yang bersangkutan, bukan syariat pernikahannya.

Maka dari itu, pernikahan baik dengan poligami maupun tidak poligami tetaplah sebagai syariat ilahi yang mulia. Yang mencemarkannya adalah para oknum yang menjalaninya. 


Sejarah Poligami

Menilik sejarahnya, poligami bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan umat manusia. Sejak dahulu kala umat manusia telah menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Bahkan, di antara mereka adalah para nabi dan rasul yang mulia.

Cobalah ingat kembali sosok Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bukankah beliau berpoligami?! Dari Sarah istri beliau yang pertama, lahir Nabi Ishak ‘Alaihissalam yang menurunkan para nabi dan rasul di kalangan bani Israil. Adapun dari Hajar istri beliau yang kedua, lahir pula Nabi Isma’il ‘Alaihissalam yang menurunkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sepenggal kisah dari kehidupan mereka yang mulia telah diabadikan dalam beberapa surat dari al-Qur’an.

Demikian pula Nabi Dawud ‘Alaihissalam dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam serta sejumlah nabi yang lain, mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Ketika orang-orang mulia dari kalangan nabi dan rasul telah menjalaninya, berarti poligami itu tidaklah tercela. Kalaulah poligami itu tercela dan berefek negatif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, pasti Allah Subhanahu wata’ala melarangnya.

Para pembaca yang mulia, dari sejarah poligami di atas dapat diambil pelajaran berharga bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam  bukanlah rasul pertama yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Demikian pula agama Islam yang beliau bawa, bukan yang mengawali syariat poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Bedanya, syariat poligami yang terdapat dalam agama Islam tertata, adil, dan jauh dari perbuatan zalim. Pada zaman dahulu, jumlah istri dalam praktik poligami tidak dibatasi. Siapa saja boleh memperbanyak istri tanpa ada batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, jumlah itu dibatasi, maksimal empat orang istri saja.

Pada zaman dahulu, orang bebas berpoligami sekehendak hatinya. Dengan hanya modal semangat pun bisa. Setelah kedatangan Islam, orang yang berpoligami tidak cukup hanya dengan modal semangat, tapi juga harus dengan pertimbangan yang matang. Bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja.

Pada zaman dahulu, amalan poligami dijalani berdasarkan “kebijakan” suami. Setelah kedatangan Islam, amalan poligami harus dijalani berdasarkan aturan syariat. Yaitu, dengan menegakkan prinsip keadilan dan kehati-hatian terkait dengan hak para istri dalam hal; nafkah, tempat tinggal, waktu menginap (giliran bermalam), dan kewajiban lainnya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi telah berpoligami dengan sembilan orang istri. Allah Subhanahu wata’ala menjadikan mereka bermanfaat bagi umat. Melalui merekalah sejumlah ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia, dan budi pekerti luhur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (terutama saat berada di tengah-tengah keluarganya, pen.) dapat tersampaikan kepada umat. Nabi Dawud ‘Alaihissalam dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam juga telah berpoligami dengan para istri yang banyak jumlahnya dengan seizin Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula tidak sedikit dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi setelah mereka yang berpoligami.

Sungguh, amalan poligami ini telah dijalani oleh umat terdahulu yang telah mencapai kemajuannya, sebagaimana pula telah dijalani oleh bangsa Arab jahiliah sebelum Islam. Datanglah Islam dengan memberikan berbagai batasan padanya dan menentukan jumlah maksimal untuk umat Islam dengan empat orang istri, sedangkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dibolehkan lebih dari empat orang istri sebagai kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam karena hikmah, rahasia, dan maslahat di balik itu semua.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 21/239)

Wallahul musta’an.


Salam Penuh Cinta,


|Naa|

No comments :

Post a Comment