Seringkali, marahnya wanita lebih dibahasakan dengan air mata.
Sebab
itu aku memilih untuk merunduk dibalik sujud dengan tangis meluruh tumpah ruah,
kubiarkan menetes di atas ‘Sajadah(mu)’.
Biar malaikat menghapus bulirannya agar tak tampak oleh mata hujan yang
meruncing dengan bising, biar malaikat meredam gemetar didadaku; geram yang
dibahasakan dengan begitu sempurna.
Dan, rindunya wanita seringkali disampaikan lewat do’a.
Sebab
itu aku selalu memperbanyak membaca ayat-ayat-Nya, meredam rindu yang menyerbu
tak tau waktu. Aku yang sering ditikam berulang-ulang oleh ingatan akan
ayat-ayat yang (dulu) sering kau lantunkan. Hingga tangispun tumpah ruah,
menetes membasahi ‘Alquran(mu)’.
Lalu
“Baik-Baik
Saja” memang selalu jadi tonggak paling pas untuk kekuatan yang
nyaris tumbang. Aku tak punya cara lain kecuali dengan mendo’a.
Dan
menulis adalah cara terbaik membuang air mata dengan tidak sia-sia setelah
sebuah do’a.
Sedari
jauh kau bilang aku tak boleh lagi berucap lewat sastra yang sarat akan siratan
surat. Katamu, jangan sampai lagi ada luka karena abjad-abjad yang kubiarkan
menari dengan lenggoknya, sesuka hati kesana kemari. Bukankah tak ada yang tau apa
yang kuutarakan melalui satu-dua bait ini, kak ? Dan kupanggili dengan sebutan ‘Kakak’,
siapalah yang tau itu adalah engkau, lelaki yang pandai sekali mengajariku soal
perasaan; hati yang menguat disetiap sepertiga malam. Kalau maksudmu adalah dia
–wanitamu- untuk kau jaga hati dan perasaannya, sungguh, kalau kau baca kalimatku
ini, mbak… izinkan aku menulis. Hanya sekedar tulisan, sepanjang lariknya
hanyalah kata, apalah artinya bagimu ? Maka tak perlulah kau baca dengan
seksama. Tak semestinya dihayati, kecuali melahirkan pemikiran yang lebih
bijaksana. Atau haruskah aku memohon padamu, mau dengan cara yang bagaimana
lagi agar membuatmu percaya bahwa rima didalam syairku bukanlah untukkau maknai
setiap hurufnya. Cukup izinkan saja aku menulis setelah puas menangis. Bolehkan ?
Kau
bilang, aku boleh menulis asal bukan perkara yang berpaut denganmu, atau dia,
atau kalian, atau kita. Ini soal aku, kau pikir ini soal apa ? Ini soal hatiku
yang sesak dan butuh ruang untuk melepaskan. Lalu dengan apa lagi aku mencurah
kalau bukan lewat suara yang mengisyaratkan jiwa ? Aku tak butuh perlakuan
istimewa, sungguh, kau boleh percaya atau tidak, aku tak menginginkan kau
pahami naluriku sebagai seorang wanita. Aku hanya mampu membasuh duka lewat
bahasa, salahkan aku yang tak sanggup memenuhi permintaanmu untuk menghentikan
jemari.
Tanpa
aku sadari ternyata kalimatmu melesat begitu cepat dan mengendap di ujung
kepala. Aku tak bermaksud jadi pembangkang, tak mengindahkan suaramu yang
mengaung keras mengitari atma. Ketika bagimu ia pantas dijaga hatinya,
sepersekian detik kemudian aku berusaha membantumu untuk menjaganya. Aku
benar-benar sudah menahan dahaga untuk tak melentikkan sederet sajak-sajak
berbicara. Sudah kujajal tak kujejal penatku dengan aksara, tapi aku tak bisa
menahan apa yang sudah jadi kebutuhan. Sedang tangisku saja tak cukup ahli
dalam mencipta ketenangan. Percayalah, taka da yang tahu-menahu udang jenis apa
dibalik batu yang kuletakkan di atas pusara.
Kamu
–pembaca setia- tak mengerti apa yang sedari tadi kulibatkan sejak awal
paragraf sampai titik koma diakhir pemilihan kata. Begitu kan ?
Izinkan
aku pergi darimu, De-U-eR-I. Izinkan aku melepas lelah karenamu. Izinkan aku
meluruh jenuh, jauh, jauh, jauh… agar aku tak bisa lagi mengeluh padamu. Agar
aku tak bisa lagi menangis dibalik punggungmu. Izinkan aku pergi darimu,
De-U-eR-I. Izinkan aku terbang dan menetap disana, Neptunus.
Kota
penenang jiwa yang menyisakan seabrek kenangan. Barangkali sudah penuh sesak
dengan para pendatang. Biar aku yang pergi, biar aku yang tahu diri, biar aku
yang menepi. Ah,…….. De-U-eR-I, ketika tetiba merasa lelah seperti ini,
ingatkan aku bahwa butuh kesabaran yang lebih kuat untuk kebahagiaan yang lebih
hebat.
Teruntuk wanita
: Tegaslah pada hatimu. Pilih cara yang paling bijak untuk menjaga perasaanmu.
Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan merawat hatimu ?
Jangan
biarkan aku bermanja pada siksa. Jangan pernah biarkan aku lena bersama getir
nestapa. Tolong, jangan biarkan prasangka menguasai seisi rangka dalam raga.
Aku tak ingin kecewa jadi alasan untuk sebuah kepergian dan berhentinya kepedulian.
Bahwa semestinya ketika aku memutuskan untuk berani mencinta dan menyayangi
seseorang, yang pertama harus kupersiapkan adalah kekuatan hati untuk
memaafkan. Sebab ia selalu butuh pertahanan melalui maaf yang dilakukan
berulang-ulang.
The Anthology Of Love,
|181085|
181085-Maafkan aku menulis lagi..
No comments :
Post a Comment