Banyak
wanita mempertanyakan buruknya praktik ta’addud (poligami) dalam Islam. Mereka
kemudian menolak keras poligami dengan alasan
menyakiti wanita. Penolakan ini bahkan merembet hingga menggugat syariat,
menganggap syariat tak lagi memberikan keadilan. Dengan gelap mata, penafsiran ajaran
agama selama ini divonis hanya memihak kaum laki-laki, serta dituduh dipahami
secara tekstual dan parsial.
Alhasil,
wanita boleh meradang ketika suaminya menikah lagi. Lantas, kenapa banyak
wanita yang dibiarkan jadi selingkuhan pria beristri? Mengapa pula banyak
wanita yang dengan sukacita jadi “istri” simpanan demi seonggok materi? Dan
mengapa tak sedikit istri yang lebih senang suaminya “jajan” atau selingkuh
ketimbang kawin lagi, (lagi-lagi) dengan alasan materi—takut harta suami
direbut madunya, warisan suami akan terbagi, dsb? Alasan menyakiti wanita pun
kian abu-abu. Tanpa pernikahan resmi, biaya sosial yang muncul jelas sangat
besar. Jika seks bebas dan perselingkuhan dibiarkan, siapa yang paling
merasakan akibatnya? Siapa yang menanggung jika terjadi penyebaran Penyakit
Menular Seksual (PMS) akibat gonta-ganti pasangan di luar nikah?
Ujung-ujungnya, yang jadi korban atau setidaknya objek seks adalah perempuan.
Lantas, mengapa poligami yang merupakan wujud tanggung jawab seorang pria untuk
menikahi wanita secara terhormat justru dikesankan demikian seram?
Memang,
dalam praktiknya banyak orang yang “mau cari enaknya” ketika berpoligami,
mencari “daun muda” lantas menelantarkan istri pertama. Alhasil, kebanyakan
kita cenderung memandang dari realitas yang ada bahwa mengamalkan poligami
hanya akan menciptakan kekerasan terhadap perempuan, dsb. Jika ditelisik,
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukanlah soal poligaminya.
Di rumah
tangga monogami sekarang, juga marak KDRT. Apakah dengan itu kita lantas
menyalahkan monogami, kemudian dengan alasan kontekstual menganjurkan hidup
membujang? Kalau begitu, mengapa poligami yang dituding
merusak hubungan rumah tangga? Bukankah perselingkuhan dan perzinaan itu
yang menyebabkan rusaknya rumah tangga? Intinya memang bukan monogami atau
poligaminya, tetapi lebih ke pelaku. Analoginya, ada orang shalat namun masih
bermaksiat, orang berjilbab tetapi tidak beradab, dst. Apakah (lagi-lagi)
dengan alasan kontekstual kita lantas menggugat shalat, jilbab, dsb?
Maka dari
itu, kita semestinya lebih mendalami ajaran agama agar tidak salah memahami,
bisa bersikap positif terhadap syariat Allah Subhanahu wata’ala dan kepada mereka yang telah
mengamalkannya. Apalagi kesuksesan atau kegagalan berumah tangga adalah hal
lumrah. Monogami sekalipun, jika persiapannya asal-asalan, hasilnya juga tidak
akan baik. Oleh karena itu, jika pada kehidupan poligami terjadi “kegagalan”,
kita bisa bersikap bijak dengan tidak mudah menyalahkan poligaminya. Yang harus
kita pupuk adalah kesiapan ilmu dalam membina rumah tangga.
Ketika
seorang pria hendak berpoligami, dia harus memahami syariat ta’addud (poligami) secara benar agar bisa
mempraktikkan secara benar pula. Dalam kehidupan
poligami, laki-laki tentu akan lebih “dipusingkan”. Ia dituntut menjadi nakhoda
yang baik bagi beberapa bahtera. Bagi lelaki yang bertanggung jawab dan bagus
dalam praktik poligami, waktu lebih yang ia luangkan, materi lebih yang ia
keluarkan, serta tenaga dan pikiran lebih yang ia curahkan, sejatinya tak
sebanding dengan “kenikmatan” yang ia dapatkan. Lebih-lebih, jika ia
benar-benar menikahi wanita-wanita yang secara logika “tidak menguntungkan”
untuk dijadikan istri, seperti janda papa beranak banyak.
Akhirnya, kebesaran
jiwa seorang istri juga dibutuhkan di sini. Wanita tidak
perlu takut kebahagiaannya akan berkurang kala suaminya menikah lagi. Bahkan,
semestinya seorang wanita sholehah akan bertambah bahagia kala ia ikhlas
menerimanya karena menjadi istri sholehah itu pilihan dan jaminan nya adalah
surga Allah Ta'ala. Sebab syariat diperbolehkannya poligami ini bukanlah sebab
poligami adalah sunnah Rasulullah, tapi sebab poligami syariat langsung dr
Allah Azza wa Jalla
Bersambung,-InsyaAllah-
Salam,
|Naa|
No comments :
Post a Comment