Indah sekali perumpamaan yang diutarakan Syaikh Yusuf Qardhawi
dalam bukunya Fiqhul Aulawiyaat atau
skala prioritas gerakan Islam jilid satu, ‘Bunga-bunga’
itu tidak tumbuh mekar selain karena laki-laki ingin selalu memaksakan
kemauannya, juga karena akhwat muslimahnya yang tidak mau atau memiliki
keberanian untuk melepaskan diri dari keterikatan tersebut.
Ya,
seharusnya bunga-bunga itu tumbuh mekar dengan leluasa untuk turut mengharumkan
jalan perjuangan yang suci ini. Akhwat seyogianya mulai berani memikirkan dan
mengambil alih permasalahan-permasalahan mereka sendiri, membuka lahan-lahan
dakwah dan amal serta menangkis dengan tegas suara-suara sumbang wanita-wanita
feminis yang diselipkan ke dalam aqidah umat, nilai-nilai dan syariat-syariat
Islam.
Dan
suara-suara mereka cukup vokal, sekalipun hanya mewakili segelintir manusia
yang tidak ada bobotnya di dunia apalagi dalam agama. Namun dalam kenyataannya
menurut Yusuf Qardhawi pula, aktivitas dakwah Islam di bidang kewanitaan saat
ini masih lemah. Hal tersebut nampak dari lemahnya kepemimpinan wanita untuk
mampu berdiri sendiri menghadapi arus sekularisme,
marxisme dan feminisme secara tangguh.
Kondisi tersebut boleh jadi
disebabkan oleh dua kemungkinan, yang pertama
ialah sikap ananiyah atau egoisme laki-laki yang selalu berusaha mendominasi,
mengkomando, mengarahkan dan menguasai urusan akhwat. Mereka tidak memberi
kesempatan dan peluang kepada para akhwat untuk membina bakat, keterampilan dan
kemampuan untuk berjalan sendiri tanpa dominasi para rijal.
Penyebab kedua datangnya justru dari diri akhwat sendiri yang tidak memiliki
keberanian dan kepercayaan diri yang cukup serta kurang kuatnya kerja sama di
kalangan mereka.
Padahal menurut Yusuf Qardhawi
kepeloporan dan kejeniusan bukan hanya milik laki-laki saja. Bahkan dalam
pengamatan beliau selaku dosen, mahasiswi-mahasiswi umumnya berprestasi
akademik lebih baik dibanding mahasiswa-mahasiswanya karena lebih tekun.
Sehingga selayaknya mereka bisa eksis bila mampu menunjukkan kepeloporan dan
kepiawaiannya dalam bidang dakwah, ilmu pengetahuan, pendidikan, sastra dan
lain sebagainya.
Satu hal yang kontras dengan
semangat awal Islam yang memuliakan dan memberdayakan muslimah, ditemui Yusuf
Qardhawi justru di zaman kiwari ini. Beliau mengkritik menyusupnya pemikiran
ekstrim mengenai hubungan laki-laki dan wanita serta peranan wanita di tengah
masyarakat. Aliran pemikiran ini mengambil pendapat yang paling keras sehingga
mempersempit ruang gerak wanita. Sehingga dalam pertemuan beliau dengan akhwat
di Manchester, Inggris dan di Aljazair, beliau mendapati kondisi tersebut bahwa
akhwat dibatasi dalam mengikuti forum-forum diskusi yang luas dan bahkan
sekadar untuk menjadi moderator di acara yang khusus untuk mereka pun masih
dianggap harus digantikan laki-laki.
Padahal sejak permulaan lahirnya
dakwah, gerakan Islam telah memberikan porsi bagi peranan wanita. Dan di sebuah
gerakan dakwah Islam terkemuka seperti Ikhwanul
Muslimin yang didirikan di Mesir, ada seksi khusus wanita yang disebut Al Akhwat Al Muslimat.
Namun orang-orang yang berhaluan
keras memakai dalil surat al Ahzab ayat 33, “waqarna fibuyuutikunna…” mereka
berdalih, “kenapa kalian menuntut wanita agar memegang peran yang menonjol
dalam gerakan Islam? Ikut bergerak dan memimpin serta menampakkan keberadaannya
dalam gerbong amal islami, padahal mereka telah diperintahkan untuk tinggal di
rumah-rumah mereka. ”
Sebagian ahli tafsir mengatakan ayat
tersebut khusus berlaku untuk para istri Nabi karena kesucian dan keistimewaan
mereka yang berbeda dari wanita-wanita lain pada umumnya. Sementara ahli tafsir
yang lain mengatakan seandainya pun ayat tersebut ditujukan untuk para wanita
pada umumnya, maka hal tersebut lebih merupakan arahan stressing keberadaan
wanita yang harus lebih banyak di rumah. Namun tentu saja bukan berarti tidak
boleh keluar rumah untuk menuntut ilmu, bermasyarakat dan mengerjakan
kebajikan-kebajikan.
Tetapi
kenyataan di lapangan atau di dunia realitas tidaklah sesederhana itu, terutama
justru bagi akhwat yang sudah menikah. Mereka gamang dalam melangkah. Kadang ia
sampai bertanya-tanya sendiri, “istri milik siapa sih?”
Karena selama ini ia tumbuh dalam tarbiyah dan medan harakah ia tidak bisa lagi tutup mata bersikap cuek, apatis atau masa bodoh dengan persoalan-persoalan umat Islam baik skala nasional maupun internasional.
Karena selama ini ia tumbuh dalam tarbiyah dan medan harakah ia tidak bisa lagi tutup mata bersikap cuek, apatis atau masa bodoh dengan persoalan-persoalan umat Islam baik skala nasional maupun internasional.
Tantangan-tantangan eksternal umat
Islam benar-benar membuatnya geram. Ia sadar benar adanya makar atau konspirasi
internasional yang senantiasa menghadang umat Islam (QS. 8:30, 2:120, 2:109,
2:217, 3:118 dan 4:76). Ia pun paham, nubuat atau prediksi Rasulullah SAW bahwa
akan tiba suatu masa di mana umat Islam akan menjadi mangsa empuk yang diperebutkan musuh-musuh Islam. Hal itu
disebabkan karena umat Islam hanya unggul secara kuantitas tetapi minim dari
segi kualitas sehingga membuat mereka tidak lagi disegani oleh musuh-musuh
Islam. Ditambah lagi mereka mengidap penyakit
wahn yakni cinta dunia dengan cinta yang berlebihan dan takut mati.
Berita-berita di media massa maupun
tayangan berita di layar teve kerap membuatnya menangis dan sekaligus ingin
memekik menyaksikan kezhaliman Israel Yahudi dan antek-anteknya yang kian
merajalela di dunia Islam. Ia ingin berbuat…, ia ingin berdakwah…, ia ingin
bergerak….
Namun apa daya persoalan internal
yang dihadapi belum juga beres. Selama ini ia sudah bekerja keras
menyeimbangkan tugasnya di dalam rumah tangga dengan aktivitas mengikuti
ta’lim, mengisi ta’lim, mengikuti baksos untuk orang-orang yang terkena musibah
banjir karena jika tidak sigap para missionaris begitu cekatan membantu dengan
sekaligus paket pembaptisan. Tetapi rupanya sifat ananiyah (egoisme) dan sense
of belonging (rasa kepemilikan) suaminya begitu besar. Tiba-tiba saja ia
diminta menghentikan semua aktivitas amal shalehnya dan berdiam di rumah
melayaninya dan anak-anak sebagai jalan pintas menuju surga, “Kamu tidak usah
repot-repot ngurusin orang, sementara ada jalan pintas menuju surga dengan
berbakti pada suami dan keluarga.” akhwat ini pun sebenarnya tak ingin
membantah perkataan suaminya, karena ia juga tahu kebenaran tentang besarnya
pahala berkhidmat di rumah tangga. Namun apa jadinya dengan sebuah dunia luar
yang ingin ia sediakan sebagai bi’ah yang baik bagi anak-anaknya, generasi
mendatang. Bukankah ia harus ikut juga berperan untuk itu. Apalagi selama ini
ia meniatkan pernikahan adalah satu noktah dari garis perjuangan yang panjang,
sehingga menikah harusnya justru akan meningkatkan perjuangannya. Kenyataannya?
Ia sering merasa sedih sementara ia
dan banyak akhwat lainnya masih berkutat dengan urusan-urusan internal, para
wanita feminis, marxis, liberalis dan missionaris begitu gegap gempita dengan
kiprahnya. Mereka memang kecil, sedikit tetapi terorganisir rapi dan memiliki
link atau jaringan internasional yang kuat.
Hal tersebut juga terungkap dari
pengalaman langsung Yusuf Qardhawi saat berinteraksi dengan para akhwat di
Mesir dan Aljazair. Ia banyak menemukan ukhti-ukhti daiyah atau akhwat daiyah
yang gesit dan aktif di medan haraki sebelum menikah, tetapi setelah menikah
dengan ikhwan yang juga dikenalnya melalui dakwah ia dilarang aktif atau tidak
diridhai keluar rumah. Suami-suami seperti ini telah mematikan bara api yang
semula menyala menerangi jalan bagi putri-putri Islam.
Sampai ada gadis aktivis dakwah di
Aljazair yang menulis surat kepada beliau menanyakan apakah haram hukumnya bila
ia melakukan mogok kawin karena takut bila menikah akan menyebabkannya tercabut
dari jalan dakwah.
Beberapa akhwat yang pernah penulis
temui seusai acara liqa’at ruhiyah akhwat di masjid Al Azhar Jakarta
mengutarakan bahwa belakangan ini mereka semakin takwa saja. “Oh ya?”, tanya
penulis, berharap itu bahwa dampak positif ikut pertemuan tersebut. “Iya mbak,
makin takwa makin takut walimah. Habis takut dapat suami ikhwan yang picik
sehingga kita tidak bisa merasakan lagi nikmatnya pertemuan-pertemuan seperti
ini.” “Oooh…” gumam penulis, lalu beristighfar berulang kali.
Setiap akhwat insya Allah menyadari
bahwa kewajiban terhadap suami dan anak-anak adalah tarikan fitrah yang memang
berguna memagarinya agar tidak melesat keluar dari garis fitrahnya selaku istri
dan ibu.
Tetapi haruskah hal itu dibenturkan
dengan keinginan suci berjihad membela agama Allah? Bahkan Allah SWT berfirman
dalam QS. at Taubah ayat 24, bahwa cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di
jalan-Nya harus diprioritaskan di atas segala-galanya termasuk di atas suami
dan anak-anak.
Bagaimana halnya dengan
wanita-wanita Afghanistan yang ditemui Zainab al Ghazali di barak-barak
pengungsi di Pakistan saat invasi Uni Soviet dulu, mereka telah mempersembahkan
segala-galanya, suami, anak-anak, harta dan tanah air mereka demi perjuangan
tetapi mereka masih lagi bertanya, “Apa lagi yang bisa kami berikan, korbankan
untuk jihad fisabilillah, ya Ibu?” Zainab al Ghazali menjawab dengan penuh rasa
haru, “Ada…, kalian masih senantiasa
memiliki cinta. Berikanlah cinta, simpati dan doa kalian untuk setiap mujahid
yang berjuang di jalan Allah.” Subhanallah! Adakah yang salah dengan mereka,
dengan obsesi-obsesi mereka yang luar biasa untuk habis-habisan di jalan Allah?
Belum lagi kisah-kisah indah yang
terukir di periode awal Islam ketika Khansa mempersembahkan semua putranya
sebagai syuhada di jalan Allah dan bersedih karena tak memiliki lagi putra yang
akan dipersembahkannya di jalan Allah.
Begitu pula saling dukung di antara
Ummu Sulaim dan abu Thalhah. Agar suaminya tak gundah dan menunda
keberangkatannya untuk jihad di jalan Allah, Ummu Sulaim yang hamil tua pun
ikut ke medan jihad.
Demikian juga Asma binti Abu Bakar
yang sedang mengandung Abdullah bin Zubeir. Di saat hamil tua itu ia berjihad
membantu proses hijrah yang sangat luar biasa beratnya. Zubeir bin Awwam sang
suami ikut mendukung dan tidak protes, “Ah Asma, kamu tidak realistis, hamil
tua seperti ini ikut dalam misi yang sangat berbahaya.”
System Islam yang tegak begitu
mendukung kiprah perjuangan muslimah, ditambah team work dan dukungan yang baik
di dalam keluarga inti dan dilengkapi pula dukungan sinergis dari komunitas
yang ada saat itu. Di saat-saat perang, wanita dan anak-anak yang ikut
dikumpulkan di satu tempat dan dikawal ketat oleh beberapa petugas. Dan
muslimah-muslimah yang bertugas sebagai tenaga medis dan dapur umum dapat
berjihad dengan tenang, sementara anak-anak mereka dijaga oleh wanita-wanita
yang sedang tidak bertugas ke medan jihad.
Melihat kisah-kisah indah di atas,
seharusnya tak ada ruang tersisa bagi keegoisan dan keapatisan dari ikhwan
maupun akhwat.
Kisah-kisah tersebut mengajarkan
pada kita dua tugas mulia yakni berbakti di dalam rumah tangga dan berjihad di
jalan Allah bukan dua hal yang harus dibenturkan atau dipertentangkan satu sama
lain. Dan kebajikan yang satu tak harus meliquidir kebajikan yang lainnya,
melainkan menjadi sesuatu yang seiring sejalan secara sinergis.
Sehingga tak ada lagi cerita akhwat
yang dipojokkan dan menjadi memiliki guilty
feeling (perasaan bersalah), “Ah, dia terlalu aktif sih… jadi anak-anaknya
tak terurus.” Atau, “Awas, lho…. Jangan aktif-aktif, nanti suaminya diambil
orang.”
Ironis memang, sesama muslimah yang
harusnya saling membantu dan mendukung malah memojokkan dan menakut-nakuti
kaumnya sendiri yang aktif di medan haraki. Sementara wanita-wanita feminis,
marxis, lebaris kompak bersatu menyebarkan kemungkaran.
Tetapi akhwat tak boleh menyerah. Ia
memang tak perlu segera menyalahkan pihak-pihak lain yang kurang atau tidak
mendukung. Lebih baik ia berpikir positif membangun citra diri akhwat muslimah
yang baik, berjiddiyah menjaga keseimbangan dan memiliki kemampuan mengatur
skala prioritas. Ia juga harus memiliki kondisi fisik, aqliyah dan ruhiyah yang
prima karena ia bekerja di luar kelaziman wanita-wanita lain pada umumnya.
Karena ia tidak egois, karena ia memikirkan umat, karena ia punya cita-cita
mulia yakni menegakkan syariat Islam dan tentu saja …. karena ia ingin masuk
surga dengan jihad di jalan-Nya.
Kisah-kisah indah dalam sirah memang
perlu sebagai batu pijakan. Sejarah dapat menjadi sumber inspirasi dan ibrah.
Tetapi kita tidak bisa berhenti hanya pada nostalgia-nostalgia kejayaan masa
silam, seperti: “Enak ya di zaman Rasulullah wanita benar-benar dihargai dan
diberi kesempatan ikut berkiprah dan berjuang. Senang ya, para wanitanya juga
saling dukung…”
Secara waqi’, riil yang kini kita
lihat dan hadapi adalah kondisi realitas kontemporer yang penuh dengan
tantangan-tantangan global. Era globalisasi membuat the world has turned into a small village, dunia sudah berubah
menjadi sebuah desa kecil. Layaknya sebuah desa kecil proses interaksi dan
saling mempengaruhi terjadi begitu intensif, apalagi teknologi informasi yang
berkembang pesat kadang membuat dunia Islam dibanjiri informasi seperti air bah
yang juga membawa kotoran-kotoran. Tanpa proses filterisasi, bagaimana jadinya
anak-anak kita, wajah generasi mendatang.
Dapatkah kita bersikap apatis pada
lingkungan dan dunia luar? Sementara al insan ibnul bi’ah (manusia anak atau
bentukan lingkungannya). Jika kita tidak ikut berjuang menghadirkan sebuah
lingkungan yang kondusif bagi keimanan dan ketakwaan serta keshalihan anak-anak
kita, bagaimana kelak pertanggungjawaban kita kelak di hadapan Allah SWT?
Bukankah Rasulullah pernah
mengingatkan para orangtua, “Didiklah
anakmu karena ia akan hidup di zaman yang berbeda dengan zamanmu”. Seorang
wartawati muslimah yang menghadiri konferensi wanita sedunia yang
diselenggarakan PBB tahun 1995 di Beijing mengatakan bahwa konferensi ini
merupakan sebuah perang mahal (menghabiskan dana sekitar 68,7 milyar rupiah),
besar (dihadiri 25.000 orang dari sekitar 170 negara) dan berbahaya walau tanpa
senjata dan luka.
Karena selain menjadi ajang
pertarungan kepentingan-kepentngan politik individu-individu dan negara-negara
tertentu, serta konflik berkepanjangan antara negara-negara maju (utara) dan
negara-negara berkembang (selatan), juga menjadi sarana bagi para penganut
paham everything goes (permisivisme) untuk meluluhlantakkan nilai-nilai suci
kehidupan perkawinan dan keluarga.
Mereka menghendaki pasangan-pasangan
lesbi ataupun gay juga diakui bentuk keluarga yang normal dan sah karena
kebebasan orientasi seksual (apakah hetero atau homo) adalah hak asasi. Mereka
juga menghendaki legalisasi aborsi dan pendidikan seks yang independen tanpa
campur tangan orang tua bagi remaja.
Melihat begitu berat dan kompleksnya
tantangan zaman saat ini, dimana akhwat? Haruskah ia tinggal diam, aman dan
suci di rumahnya yang indah dan nyaman sementara dunia terus menjadi bobrok dan
mengalami proses pembusukan?
Bukankah seharusnya kita takut jika
berhenti menjadi wanita shalihah belaka tetapi tidak mushlihah yang melakukan
ishlahul ummah. Karena pernah ada satu negri yang akan dihancurkan Allah
seperti yang ada dalam QS. 7:4-5, malaikat
berucap bahwa masih ada satu orang shalih yang berdzikir, Allah SWT tetap
menyuruh negri itu dihancurkan dan justru dimulai dari orang yang shalih
tersebut.
Hendaknya kita juga mawas diri
terhadap firman Allah QS. 25:30 bahwa
kita harus takut terhadap bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang yang
zhalim saja. Jika kita bersikap pasif dan defensif dalam melihat
kemungkinan-kemungkinan di depan mata, kita (seperti dikatakan dalam sebuah
hadits) seperti berada di sebuah kapal besar dan berdiam diri melihat
orang-orang sibuk melubangi kapal tersebut sehingga akhirnya kita ikut karam
bersama kapal tersebut.
Akankah kita terus tinggal diam
karena sibuk berkutat dengan urusan keluarga dan dalam negeri yang tak pernah
selesai? Percayalah bahwa Allah akan menolong semua urusan kita termasuk
keluarga kita jika kita menolong agama Allah (QS. 47:7) karena keberkahan, khairu
katsir (kebaikan yang banyak) akan senantiasa melingkupi perjalanan hidup
seorang akhwat.
sumber:www.dakwatuna.com
No comments :
Post a Comment