Menjadi isteri sholehah yang berbakti
kepada suaminya
Kepada setiap wanita yang sudah
bersuami, atau yang akan membina rumah tangga, aku katakan: hendaknya engkau
mengetahui hak suamimu dan hak orang tuamu dan janganlah engkau mencampuradukkan
dua kewajiban tersebut. Kerana terhadap masing-masing dari suami dan orang tua,
ada kewajbannya tersendiri. Dan hak suami itu lebih wajib. Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada orang lain nescaya aku perintahkan seorang isteri
untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang isteri dapat menunaikan
seluruh hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh
hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’)
sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia
harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan yang lain dengan lafazh
yang mirip. Dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani
dalam Ash Shohiihah 1203)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam juga bersabda:
لو سالت منخراه دما وقيحا وصديدا فلحسته بلسانها ما أدت حقه لو كان ينبغي لبشر أن يسجد لبشر لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها إذا دخل عليها لما فضله الله عليها
“Kalau saja kedua lubang hidung suaminya mengeluarkan darah dan
nanah, kemudian ia menjilati dengan lidahnya, ia belumlah memenuhi hak suaminya
itu. Kalau saja seorang manusia pantas bersujud kepada seorang manusia lain,
maka aku akan menyuruh para wanita untuk bersujud kepada suami mereka ketika
para suami itu masuk mendatangi mereka karena keutamaan yang telah Allah
Subhanahu wata’ala berikan kepada para suami di atas para isteri..” (Dikeluarkan oleh Al Hakim dan yang lain. Ia berkata:
isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim)
Maka kalau engkau sudah mengetahui
dan meyakini kewajiban yang harus engkau jalani terhadap suamimu, wahai
muslimah, maka hendaknya engkau berusaha mendapatkan keredhoannya dengan
berbagai macam cara. Kalau dari satu cara tidak mampu, maka cuba cara kreatif
yang lain untuk membuatnya senang dan gembira. Kalau ia merasakan kenyamanan di
rumah setelah letih dan lelah di luar rumah, maka itu akan bermanfaat juga
untukmu.
Dan jadilah untuknya sebagaimana
seorang wanita sholehah yang memanjakan suaminya, yang meringankan bebannya
ketika menghadapi sukarnya kehidupan, yang memperhatikan kesukaan-kesukaannya
kemudian mewujudkannya, dan memudahkan kesulitan-kesulitannya walaupun dengan
mengorbankan dirinya sendiri. Wanita itu tidak lain adalah ummul mukminiin,
Khadijah bintu Khuwailid Radhiallahu’anha. Beliau adalah sebaik-baik isteri
bagi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sebelum bi’tsah, dan seorang
penolong pada masa tahannutsnya di gua hira. Kemudian seorang wanita yang
menghiburnya dan menenangkan kekhawatirannya pada saat datangnya wahyu.
Suatu hari, setelah menerima wahyu
yang pertama:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan Nama Rabbmu yang telah menciptakan.”
Baginda Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pulang ke rumah dengan hati yang bergetar untuk menemui isterinya Khadijah
bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
زَمِّلُوْنِي، زَمِّلُوْنِي
“Selimuti aku, selimuti aku!” pinta beliau. Khadijah pun menyelimuti suaminya hingga
hilang rasa takut baginda.
Disampaikanlah kisah kepada Khadijah
Radhiyallahu ‘anha termasuk apa yang baginda rasakan:
لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ
“Sungguh aku mengkhawatirkan diriku (akan binasa).”
Khadijah Radhiyallahu ‘anha pun
menghiburkan suaminya yang mulia:
كَلاَّ وَاللهِ، مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْـمَعْدُوْمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu
selama-lamanya. Engkau seorang yang menyambung silaturahim, menanggung orang
yang lemah, memberi kecukupan/kemanfaatan pada orang yang tidak berpunya, suka
menjamu tamu, dan menolong kejadian yang haq.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Perhatikanlah kata-kata indah yang
keluar dari lentera kesholehan, kesucian, kebersihan dan ketakwaan ini.
Sehingga kata-kata itu memiliki pengaruh yang besar dalam menenangkan rasa
takut dalam qalbu nabi akhir zaman. Hendaknya, Khadijah dan ummul mukminin yang
lain menjadi teladan untuk kalian.
Dan jadilah seperti Zainab bintu
Jarir, salah seorang wanita Bani Hanzhalah dari Bani Tamim. Dari al Haitsam bin
‘Adiy ath Thoo`iy, ia berkata: Mujaalid bercerita kepada kami dari asy Sya’biy,
ia berkata: Syuraih berkata kepadaku: Wahai Sya’biy! Hendaknya engkau menikahi
wanita-wanita Bani Tamim kerana aku melihat mereka itu cerdas-cerdas.
Sya’biy berkata: apa kecerdasaan
mereka yang kamu lihat?
Ia berkata: “Aku pernah tiba dari
mengantar jenazah pada suatu siang. Dan aku melewati pemukiman Bani Tamim.
Tiba-tiba aku melihat seorang nenek di pintu rumahnya berdampingan dengan
seorang gadis cantik jelita. Maka aku berhenti dan meminta minum, padahal aku
sedang tidak haus.
Gadis itu bertanya: “Minuman apa yang
kamu suka?”
Aku berkata: “Yang ada saja..”.
Nenek itu berkata: “Berikan dia susu.
Kelihatannya dia orang asing”.
Aku bertanya: “Siapa gadis ini?”
Nenek itu bilang: “Dia Zainab bintu
Jarir, salah seorang wanita Bani Hanzhalah”.
Aku bertanya: “Masih bujang atau
sudah bersuami?”
Nenek itu menjawab: “Dia masih
bujang”.
Aku berkata: “Nikahkanlah aku
dengannya”.
Nenek itu berkata: “Kalau kamu
sepadan dengannya”. (sepadan: kufu`an, bukan kufuwan, ini adalah bahasa Bani
Tamim).
Lalu aku pulang ke rumah dan bergegas
untuk tidur siang. Tapi aku tidak boleh tidur. Setelah sholat Zhuhur, aku
mengajak saudara-saudaraku para qurroo` (pembaca Al Quran) yang terhormat:
‘Alqomah, al Aswad, al Musayyib dan Musa bin ‘Arfathoh. Kemudian aku pergi
menemui bapa saudar gadis itu. Dia menyambut dan berkata: “Wahai Abu Umayyah,
apa keperluanmu?”
Aku berkata: “Zainab,anak saudaramu”.
Ia berkata: “Zainab tidak punya rasa
tidak suka kepadamu”. Maka ia pun menikahkanku dengan Zainab. Setelah Zainab
berada dalam ikatanku, aku menyesal. Aku berkata: “Apa yang sudah aku lakukan
dengan wanita Bani Tamim?” Dan aku teringat dengan kasarnya hati mereka. Lalu
aku bilang: “Aku akan menceraikannya”. Namun kemudian aku berkata: “Tidak, aku
akan hidup dengannya. Kalau aku mendapatkan yang aku suka, aku akan terus hidup
dengannya. Tapi kalau tidak, aku akan menceraikannya”.
Maka kalau saja kamu melihat aku,
wahai Sya’biy, ketika para wanita Bani Tamim itu datang mengiringi Zainab
sampai ia diantarkan masuk kepadaku.
Lalu aku berkata: “Termasuk hal yang
sunnah, kalau seorang wanita masuk mendatangi suaminya, si suami sholat dua
roka’at kemudian berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala meminta kebaikan
isterinya dan berlindung dari keburukan istrinya”. Maka aku sholat dan aku
akhiri dengan salam. Ternyata, Zainab ada di belakangku mengikuti sholatku.
Setelah selesai sholat, beberapa perempuan datang mengambil pakaianku dan
memberikan sebuah selimut yang sudah dicelup dengan n ‘ushfur (sejenis tumbuhan
yang wangi).
Setelah rumah menjadi kosong, aku
mendekatinya. Dan aku julurkan tangan ke arahnya. Namun ia berkata: “Nanti dulu
wahai abu umayyah. Diamlah di tempatmu!” Lalu ia berkata: “Segala puji bagi
Allah, aku memuji-Nya dan aku memohon pertolongan kepada-Nya. Kemudian aku
bersholawat kepada Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya aku adalah seorang
gadis asing yang tidak mengetahui sifat dan perilakumu. Maka terangkanlah
kepadaku apa yang kamu suka maka akan aku kerjakan, dan apa yang kamu tidak
suka maka akan aku tinggalkan.
Lalu ia berkata: “Sesungguhnya di
kaummu sudah diadakan perayaan pernikahan, dan di kaumku juga begitu. Akan
tetapi kalau Allah Subhanahu wata’ala menentukan sesuatu, pasti itu akan
terjadi. Dan kini aku sudah menjadi milikmu. Maka perbuatlah apa yang telah
Allah Subhanahu wata’ala perintahkan. Iaitu menahan secara ma’ruf atau
menceraikan dengan baik. Aquulu qowlii haadzaa wa astaghfirullaaha lii wa laka
(aku katakan perkataanku ini dan aku mohonkan ampun kepada Allah Subhanahu
wata’ala untuk diriku dan dirimu) (ini adalah perkataan yang biasanya menjadi
khotimah sebuah khutbah -pent).
Syuroih berkata: “Demi Allah, wahai
Sya’biy, Zainab membuatku perlu memberikan khutbah di waktu seperti itu”. Maka
aku katakan: “Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan aku memohon
pertolongan-Nya. Dan aku bersholawat dan bersalam kepada Rasulullah dan
keluarganya. Wa ba’du. Sesungguhnya engkau sudah mengatakan sebuah perkataan
yang kalau engkau berkomitmen dengannya, engkau akan mendapatkan balasan yang
besar. Tapi kalau engkau hanya sekadar mengada-ada, maka perkataan itu akan
menjadi bukti yang memberatkanmu. Aku suka begini dan aku tidak suka begitu
ketika kita sedang bersama-sama, maka janganlah engkau pergi begitu saja. Dan
apa yang kamu lihat baik, sebarkan. Sedang apa yang kamu lihat buruk, tutupi”.
Lalu Zainab mengatakan hal yang tidak
aku ingat. “Apakah kamu menyukai menziarahi keluarga?”
Aku berkata: “Aku tidak suka
dijemukan dengan ipar-iparku”.
Ia berkata: “Siapa tetangga yang kamu
sukai untuk masuk ke rumahmu, sehingga aku akan mengizinkan mereka masuk dan
siapa juga yang tidak kamu sukai sehigga aku juga tidak menyukai mereka?”
Aku berkata: “Bani Fulan itu
orang-orang baik. Sedang bani fulan itu orang-orang buruk”.
Syuroih berkata: “Maka waktu itu aku
bermalam dengan malam yang paling nikmat, wahai Sya’biy. Dan Zainab tinggal
bersamaku selama satu tahun, tidak pernah aku lihat kecuali yang aku suka.
Pada awal tahun berikutnya, aku
datang dari sebuah majlis pengadilan. Tiba-tiba ada seorang nenek yang menyuruh
begini dan melarang begitu di dalam rumah. Aku bertanya: “Siapa ini?”
Mereka berkata: “Fulanah, mertua
kamu”. Maka hilanglah perasaan janggal dalam hatiku. Setelah aku duduk, nenek
itu mendatangiku dan berkata: “Assalamu’alaika, wahai abu umayyah!”
Aku berkata: “Wa’alaikissalaam. Siapa
engkau?”
Dia berkata: “Aku fulanah, mertuamu”.
Aku berkata: “Semoga Allah Subhanahu
wata’ala mendekatkanmu kepada-Nya”.
Dia berkata: “Bagaimana pandanganmu
terhadap isterimu?”.
Aku katakan: “Sebaik-baik isteri”.
Ia berkata padaku: “Wahai Abu
Umayyah! Sesungguhnya seorang perempuan tidak akan menjadi lebih buruk dari si
Zainab itu dalam dua keadaan: kalau ia melahirkan seorang anak laki-laki atau
ia memiliki kedudukan di sisi suaminya. Maka kalau ada sesuatu yang membuatmu
ragu, pakai saja cemeti. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang didapatkan oleh
seorang pria di rumahnya yang lebih buruk dari seorang istri yang manja”.
Aku berkata: “Demi Allah, engkau
benar-benar sudah mendidik dengan pendidikan yang baik. Dan sudah melatih
dengan pelatihan yang baik”.
Ia berkata: “Apakah kamu suka kalau
para mertuamu datang berkunjung?”.
Aku berkata: “Bila-bila sahaja mereka
mahu”.
Syuroih berkata: maka nenek itu terus
mendatangiku setiap awal tahun dengan memberiku wasiat yang sama.
Zainab pun tinggal bersamaku selama
dua puluh tahun, tidak pernah aku menegurnya dalam satu perkarapun kecuali
sekali saja dan aku telah berbuat aniaya terhadapnya.
(Ketika itu -pent) muadzdzin sudah mengumandangkan
iqomah setelah aku sholat dua rakaat fajar. Dan aku adalah imam sholat di
kampung tersebut. Tiba-tiba ada seekor kala jengking merayap. Maka aku ambil
sebuah wadah dan aku telungkupkan wadah itu di atasnya kemudian aku katakan:
“Wahai Zainab, jangan bergerak sampai aku datang”. Kalau saja engkau melihatku
wahai Sya’biy, setelah aku sholat dan pulang, tahu-tahu aku sudah di dekat kala
jengking yang sudah menyengat Zainab. Lalu aku meminta as saktu dan garam
kemudian aku rendam jarinya dan aku membacakannya surat al fatihah dan al
mu’awwidzatain.
Kisah ini dikeluarkan oleh Ibnu Abdi
Robbih al Andalusiy dalam kitabnya “thobaa`i’un nisaa`”, dan disebutkan pula
oleh Abul Fath al Ibsyiihiy dalam kitabnya “al Mustathrof”.
Syaikh Jamal Furaihan Al Haritsi Hafizhahullah
No comments :
Post a Comment