وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاء فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu
dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung,
atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)
Saudariku muslimah, demikianlah Allah
menegaskan nasib seseorang yang berbuat syirik terhadap Allah. Betapa meruginya
dia, ketika telah jatuh dari langit dia kemudian disambar oleh burung atau
diterbangkan angin ke tempat yang jauh. Betapa meruginya dia. Apakah hikmah di
balik perumpamaan yang telah Allah sampaikan tersebut?
Kesyirikan di Zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hingga Zaman Sekarang
Syirik adalah mempersekutukan Allah
dalam penyembahan terhadap-Nya. Syirik merupakan lawan dari tauhid (mengesakan
Allah dalam penyembahan terhadap-Nya), sedangkan tauhid adalah inti ajaran setiap
Rasul yang diutus oleh Allah. Maka tauhid yang sempurna haruslah terbebas dari
noda kesyirikan. Akar kesyirikan adalah kebodohan manusia terhadap Allah. Manusia tidak
mengenal Allah dengan baik, sehingga tidak pula mengenal tata cara beribadah
yang benar kepada Allah.
Adakalanya manusia sadar bahwa
dirinya telah berbuat syirik kepada Allah namun karena kesombongannya untuk
menerima kebenaran maka dia tetap teguh di atas kesyirikannya, sebagaimana yang
terjadi pada kaum musyrikin di zaman Rasulullah. Mereka enggan mengucapkan
syahadat Laa ilaaha illallah, karena mereka benar-benar paham bahwa maksud syahadat
tersebut adalah tidak bolehnya menyembah sesuatu selain Allah, baik itu memberi
sesajen, memohon do’a kepada orang-orang yang dianggap sholih, dan berbagai
bentuk peribadatan yang lain. Mereka hanyalah sombong untuk menerima kebenaran
ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang memberi
rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa
kamu tidak bertakwa kepada-Nya ?” (QS. Yunus: 31)
Di sisi lain, adapula manusia yang
benar-benar bodoh karena tidak menyadari bahwa dirinya sedang terjerumus dalam
kesyirikan, sedangkan mereka merasa dirinya sedang beribadah kepada Allah
dengan peribadatan yang sempurna. Inilah yang pada umumnya terjadi di masa kini, dimana
orang-orang yang mempersembahkan peribadatan kepada selain Allah merasa bahwa
mereka sedang beribadah kepada Allah. Mereka memberi sesajen ke tempat-tempat yang mereka anggap
keramat padahal tempat-tempat itu sama sekali tidak dapat mendatangkan manfaat
ataupun mudhorot bagi mereka, mereka berbondong-bondong datang ke
kuburan-kuburan orang-orang yang mereka anggap wali (seperti: Wali Songo) lalu
mereka berdo’a dengan begitu khusyu’ nya di sana, mereka takut akan kemurkaan “penjaga gunung” jikalau sesajen tak dihantarkan kepadanya lalu muncullah
gempa yang menggoncangkan pasak-pasak bumi, mereka sangat khawatir bila ratu
penjaga pantai tak diberi sepotong kepala kerbau maka sang ratu akan
mendatangkan bencana dari lautan kepada mereka. Demikianlah kebodohan musyrikin zaman sekarang. Kesyirikan
yang mereka lakukan bukan hanya dalam uluhiyah (penyembahan makhluk terhadap
Al-Kholiq yaitu Allah), tetapi juga dalam perkara rububiyah (yaitu hal-hal yang
hanya bisa dilakukan oleh Allah, seperti menciptakan, mendatangkan bencana,
memberi rezeki, dan sebagainya). Betapa besar kebodohan orang-orang musyrik yang menganggap
bahwa selain Allah (yaitu “penjaga gunung”, ratu penjaga pantai, orang-orang
yang mereka anggap wali, dan tempat-tempat yang mereka anggap keramat) bisa
memberi rezeki atau membebaskan mereka dari marabahaya, lalu karena itu
orang-orang musyrik dengan penuh harap dan takut menyembah sekutu-sekutu Allah
itu sebagaimana mereka menyembah Allah. Bahkan seringkali mereka lebih mengagungkan sekutu-sekutu
tersebut dibandingkan pengagungan mereka terhadap Allah. Sebagaimana yang sering kita jumpai orang-orang yang
sangat takut bila bencana datang akibat kemurkaan Nyi Roro Kidul Ratu Pantai
Selatan, padahal mereka tidak takut bila Allah menimpakan azab yang sangat
pedih secara tiba-tiba akibat kesyirikan yang senantiasa mereka lakukan
tersebut.
Hakikat
Kesyirikan
Orang-orang musyrik mempersembahkan
peribadatan kepada selain Allah dapat terjadi akibat salah satu diantara dua
hal:
- Mereka menganggap bahwa sekutu-sekutu Allah
yang mereka sembah itu memiliki kekuasaan yang sama dengan kekuasaan
Allah, seperti kemampuan Dewi Sri menumbuhkan tanaman padi sebagaimana
Allah pun dapat melakukannya, kemampuan “penjaga gunung” mendatangkan
gempa bumi sebagaimana Allah pun dapat melakukannya.
- Mereka menganggap bahwa sekutu-sekutu tersebut
hanya merupakan wasilah (perantara) dalam mendekatkan orang-orang musyrik
tersebut kepada Allah, seperti berdo’a pada orang-orang yang dianggap wali
agar mereka hajat mereka dapat segera tersampaikan kepada Allah. Mereka
menganggap Allah seperti raja yang sulit untuk mengetahui seluruh
kebutuhan rakyatnya bila tidak dibantu oleh para pendamping yaang
merupakan wasilah/perantara. Padahal bukankah di Al-Qur’an telah sangat
sering disebutkan bahwa Allah adalah Al-Bashir (Yang Maha Melihat) dan
As-Samii’ (Yang Maha Mendengar)??!
Dengan mengenali hakekat kesyirikan,
kita bisa mengetahui sebab-sebab kemusyrikan di zaman Rasulullah hingga zaman
sekarang. Seorang ulama besar, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, menyebutkan bahwa
hakekat kesyirikan kembali kepada dua perkara:
- Tasyabbuh, yaitu menyerupakan makhluk dengan Al-Kholiq dalam kekhususan yang
dimiliki Allah (Al-Kholiq/Pencipta), seperti: menciptakan.
- Tasybihul Kholiq bil makhluq, yaitu menyerupakan Al-Kholiq dengan makhluk, seperti: orang-orang
Nasrani yang menamakan Allah dengan Tuhan Bapak.
Jika kita ingin merunut kedua hakekat
kesyirikan tersebut, maka kita akan kembali pada akar kesyirikan yaitu
kebodohan manusia tentang Allah. Bagaimana tidak dikatakan bodoh bila telah
jelas tanpa keraguan bahwa yang memiliki kemampuan untuk menciptakan, memberi
rezeki, menghidupkan dan mematikan, mengatur segala urusan, yang memiliki
segenap kekuasaan alam semesta hanyalah Allah sehingga dengan sebab itulah
hanya Allah yang berhak disembah, namun musyrikin tersebut tetap
mempersembahkan bentuk peribadatan kepada selain Allah. Dengan kata lain,
mereka menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu yang sama sekali tidak memiliki
kemampuan sebagaimana yang dimiliki oleh Allah. Mereka memberikan hak uluhiyah
(penyembahan) kepada sesuatu yang tidak memiliki hak rububiyah (kemampuan untuk
mencipta, mengatur alam semesta, dan berbagai kemampuan lain yang hanya
dimiliki oleh Allah).
Bagaimana mungkin kita menyamakan
Allah dengan makhluk? Padahal antara makhluk dan Al-Kholiq (Pencipta) pastilah
berbeda. Al-Kholiq itu Maha Kuasa atas segala sesuatu, sedangkan makhluk tidak
memiliki kekuasaan sedikitpun kecuali bila Al-Kholiq membantu mereka. Maka,
bagaimana mungkin makhluk yang lemah bisa disamakan dengan Al-Kholiq yang Maha
Kuasa? Pemikiran rusak seperti inilah yang merasuki jiwa orang-orang musyrik
sejak dahulu hingga sekarang.
Milikilah
Kunci Penutup Pintu Kesyirikan
Saudariku muslimah, tentunya kita bersama
telah mengetahui bahwa sesungguhnya Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang
bertakwa.
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Alif laam miim. Kitab (Al Quraan)
ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)
Maka, renungilah kembali sebuah surat
di dalam Al-Qur’an yang sudah sangat sering kita baca. Hendaknya surat tersebut
menjadi perenungan bagi setiap orang yang mempersembahkan peribadatan mereka
kepada selain Allah.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. اللَّهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang
Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia
tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia”.”
Al-Qur’an merupakan ucapan yang
paling benar, maka pintu kesyirikan manalagi yang bisa dibuka bila Allah
sendiri yang telah menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa TIDAK ADA SESUATU PUN YANG SETARA DENGAN- ALLAH??!
***
(Disarikan dari Syarah
Kasfu Syubuhat oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin
dan beberapa catatan ta’lim, seperti: Kasyfu Syubuhat dan Lum’atul
I’tiqod)
No comments :
Post a Comment