Zina adalah perbuatan yang terlarang
dalam semua agama samawi. Karena hinanya dosa zina, Islam mengharamkan segala
sebab yang bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Salah satunya adalah pacaran.
Penyakit akut yang telah menimpa remaja muslim saat ini. Wajar saja, jika saat
ini banyak gadis SMA dan mahasiswi yang tidak perawan. Allahul musta’an
Diluar pembahasan dosa zina, ada
beberapa hal perlu diperhatikan terkait hamil di luar nikah:
1. Janin Hasil Zina Tidak Boleh
Digugurkan
Bagaimanapun proses janin ini muncul,
dia sama sekali tidak menanggung dosa orang tuanya. Baik dari hasil zina maupun
pemerkosaan. Karena itu, mengganggu janin ini, apalagi menggugurkannya adalah
sebuah kezaliman dan kejahatan. Allah berfirman,
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ – بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila anak-anak yang dibunuh
itu ditanya, dengan sebab dosa apakah dia dibunuh?” (QS. At-Takwir: 8 – 9)
Bisakah Anda bayangkan, jawaban apa
yang akan Anda sampaikan di hadapan Allah, ketika ditanya apa alasanmu membunuh
anakmu?
2. Anak hasil zina dinisbahkan
kepada ibunya dan Tidak Boleh Kepada Bapaknya
Alasannya karena bapak biologis
bukanlah bapaknya. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,
قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia
miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak
biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani
serta Syuaib Al-Arnauth).
Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah
radhiallahu’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy,
dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika
seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan
seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya
lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki
maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun
bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki
selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak
sedikitpun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh
Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37)
Berdasarkan keterangan di atas, para
ulama menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya.
Karena itu, tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana jika di-bin-kan ke bapaknya?
Hukumnya terlarang bahkan dosa besar.
Ini berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang mengaku anak seseorang,
sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR.
Bukhari no. 6385)
Karena bapak biologis bukan bapaknya
maka haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana dengan nasabnya?
Karena anak ini tidak punya bapak,
maka dia dinasabkan ke ibunya, misalnya: paijo bin fulanah. Sebagaimana Nabi
Isa ‘alaihis salam di-bin-kan ke ibunya, Isa bin Maryam (dari sudut pandang
penasaban).
3. Wali Nikah
Jika anak yang terlahir dari zina
perempuan, maka anak ini tidak punya wali dari pihak keluarganya. Karena dia
tidak memiliki bapak, sehingga tidak ada jalur keluarga dari pihak bapak.
Sementara wali nikah hanya ada dari pihak keluarga bapak. Karena itu, wali
nikah pindah ke hakim (KUA).
4. Laki-Laki yang Menzinai
Hingga Hamil, Tidak Boleh Menikahi Wanita Tersebut Sampai Melahirkan
Di antara dalil yang menunjukkan hal
ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا توطأ حامل حتى تضع
“Wanita hamil tidak boleh diajak
berhubungan sampai dia melahirkan.” (HR. Abu Daud, Ad-Darimi, dan disahihkan
Al-Albani)
Laki-laki yang berzina dengan wanita,
bukanlah suaminya. Sementara pengecualian yang boleh melakukan hubungan badan
dengan wanita hamil adalah suami. l. Karena konsekwensi nikah, yaitu halalnya
hubungan badan, tidak ada. Oleh karena itu, nikah dalam kondisi demikian
hukumnya tidak sah.
Kemudian, dalil lain yang menunjukkan
terlarangnya menikahi wanita hamil hasil zina adalah hadis dari Ruwaifi’bin
Tsabit Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقِىَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Tidak halal bagi orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, untuk mengairi tanaman orang lain.” (HR. Abu Daud,
Ahmad dan dishahihkan Ibnu Katsir dan Al-Albani)
Maksud hadis di atas adalah seorang
laki-laki dilarang ‘mengairi’ (memasukkan air mani) ke rahim wanita, yang di
dalamnya terdapat janin orang lain. Padahal, janin yang berada di rahim si
wanita, sama sekali bukanlah tanaman lelaki yang menzinainya. Karena hasil
hubungannya sama sekali tidak dianggap sebagai keturunannya.
5. Pernikahan Tidaklah
Menghilangkan Dosa Zina
Dosa zina tidak bisa hilang hanya
dengan menikah. Jangan sampai Anda punya anggapan bahwa dengan menikah berarti
pelaku zina telah mendapatkan ampunan. Dosa zina bisa hilang dengan taubat yang
sungguh-sungguh. Seseorang akan tetap dianggap sebagai PEZINA selama dia belum
bertaubat dari dosa zina.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Orang yang bertaubat dari perbuatan
dosa, seperti orang yang tidak melakukan dosa.” (HR. Ibnu Majah, Baihaqi, dan
dishahihkan Al-Albani)
Untuk bisa disebut sebagai orang yang
telah bertaubat, dia harus membuktikan bentuk penyesalannya dalam kehidupannya,
di antaranya:
1. Dia merasa sangat sedih dengan
perbuatannya.
2. Meninggalkan semua perbuatan yang
menjadi pemicu zina, seperti melihat gambar atau film porno.
3. Meninggalkan komunitas dan teman
yang menggiring seseorang untuk kembali berzina. Seperti pergaulan bebas, teman
yang tidak menjaga adab bergaul, suka menampakkan aurat, dst..
4. Berusaha mencari komunitas yang
baik, yang menjaga diri, dan hati-hati dalam pergaulan.
5. Berusaha membekali diri dengan ilmu
syar’i. Karena inilah yang akan membimbing manusia menuju jalan kebenaran.
6. Berusaha meningkatkan amal ibadah,
sebagai modal untuk terus bersabar dalam menahan maksiat.
Sumber : Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasi Syariah)
No comments :
Post a Comment