Singkat cerita,
semua orang dan para ulama besar sudah berkumpul di dalam masjid. si ilmuwan
itu naik ke mimbar dan menantang siapa saja yang mau berdebat dengannya. Dan
dia semakin terlihat congkak ketika para ulama senior yang ada di hadapannya
tidak ada yang berani meladeni tantanyannya.
Tiba-tiba seorang pemuda dengan lantang berdiri dan
bilang "Saya Abu Hanifah siap berdebat dengan anda"
"Silahkan anda yang mulai," ujar Abu Hanifah
mempersilahkan dengan sopan.
"Baiklah. Tahun berapa Tuhan kamu dilahirkan?"
tanya ilmuwan kafir.
"Alloh tidak melahirkan dan tidak pula
dilahirkan," jawab Abu Hanifah.
"Hmm, masuk akal jika dikatakan Allah tidak
melahirkan dan tidak pula dilahirkan. Lalu, pada tahun berapa Dia ada?"
"Dia ada sebelum segala sesuatu ada," tegas Abu
Hanifah.
"Bisa berikan contoh konkret mengenai hal itu?"
"Anda tahu tentang perhitungan?" Abu Hanifah
bertanya balik.
"Iya, saya tau."
"Angka berapa sebelum angka satu?"
"Tidak ada," jawab ilmuwan kafir.
"Tidak ada angka lain yang mendahului angka satu.
Lalu, mengapa anda bingung bahwa sebelum Alloh itu tidak ada sesuatu apapun
yang mendahului-Nya?"
"Baiklah, sekarang di manakah Alloh berada? Sesuatu
yang berwujud pasti membutuhkan tempat, bukan?" lanjut si ilmuwan.
"Anda tahu susu?" tanya Abu Hanifah.
"Iya, saya tahu," jawab si ilmuwan.
"Apakah di dalam susu terdapat keju?"
"Ya, tentu."
"Kalau begitu, coba perlihatkan di mana tempat keju
itu sekarang!"
"Jelas tidak ada tempat khusus. Keju itu bercampur
dengan susu di seluruh bagiannya," jawab si ilmuwan dengan semangat.
"Nah, keju saja tidak mempunyai tempat khusus di
dalam susu. Tidak sepatutnya anda meminta saya untuk menunjukkan tempat Allah
berada."
"Tolong jelaskan Dzat Allah. Apakah wujud Alloh itu
benda padat seperti batu, benda cair seperti susu, ataukah seperti gas?"
"Anda pernah mendampingi orang sakit yang akan meninggal?"
"Pernah."
"Awalnya, orang sakit itu bisa berbicara dan bisa
menggerakkan anggota badannya, bukan?"
"Ya, memang demikian halnya."
"Tetapi, kenapa tiba-tiba orang sakit itu diam tidak
bergerak? Apa yang menyebabkan hal itu?"
"Jelas itu karena ruh orang tersebut telah berpisah
dari tubuhnya."
" Sewaktu ruh itu keluar, apakah anda masih
disana?"
"Saya masih di sana"
"Coba jelaskan, apakah ruh orang tersebut benda
padat, cair, atau gas?"
"Wah, kalau itu saya tidak tahu."
"Anda sendiri tidak dapat menerangkan bentuk ruh,
apakah saya harus menerangkan Dzat Allah yang menciptakan ruh."
"Lazimnya, sesuatu itu mempunyai arah. Kemanakah
Allah menghadapkan wajahnya sekarang?" tanya si ilmwuan lagi.
"Apabila anda menyalakan lampu, kearah manakah cahaya
lampu itu menghadap?"
"Cahayanya menghadap ke semua arah."
"Lampu yang buatan manusia saja seperti itu, apalagi
dengan Allah Sang Pencipta alam semesta. Alah adalah cahaya langit dan
bumi."
"Ada awal dan ada akhir. Seseorang masuk surga itu
ada awalnya, tetapi kenapa tidak ada akhirnya? Mengapa surga dan penghuninya
itu kekal abadi?" kata si ilmuwan melanjutkan pertanyaannya.
"Untuk hal itu, anda bisa membandingkannya dengan
perhitungan angka. Angka itu ada awalnya, tetapi tidak ada akhirnya."
"Terus bagaimana pula para penghuni surga itu makan
dan minum tanpa buang hajat?"
"Ini pernah anda alami sewaktu di dalam rahim ibu.
Selama sembilan bulan anda makan dan minum tanpa pernah buang hajat. Anda baru
buang air besar dan buang air kecil beberapa saat setelah terlahir ke
dunia."
"Tolong jelaskan, bagaimana kenikmatan surga itu
bisa terus bertambah tanpa ada habisnya!"
"Ada banyak hal yang semacam itu di dunia. Misalnya,
ilmu. Ilmu tidak akan habis atau berkurang ketika dimanfaatkan, malah semakin
bertambah."
"Jika segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum
diciptakan, lalu apa pekerjaan Allah sekarang?"
"Sejak tadi anda menjawab pertanyaan-pertanyaan saya
dari atas mimbar, sedangkan saya hanya menjawab dari atas lantai masjid ini.
Kali ini untuk menjawab pertanyaan anda. saya mohon anda turun dari mimbar.
Saya akan menjawab pertanyaan anda tadi di mimbar."
Kemudian si ilmuwan turun dari mimbar, sementara itu Abu
Hanifah naik ke mimbar.
"Saudara-saudara, dari atas mimbar ini saya akan
menjawab pertanyaan tadi. Bisa anda ulang pertanyaannya?" tutur Abu
Hanifah setelah berada di atas mimbar masjid.
"Apa pekerjaan Allah sekarang?" kata si ilmuwan
menyebutkan inti pertanyaan.
"Pekerjaan Allah tentu saja berbeda dari pekerjaan
makhluk. Ada pekerjaan-Nya yang bisa dijelaskan, dan ada pula yang tidak bisa
dijelaskan. Pekerjaan Allah sekarang adalah menurunkan orang kafir seperti anda
dari atas mimbar, kemudian menaikkan seseorang Mukmin ke atasnya. Seperti
itulah gambaran pekerjaan Allah setiap waktu."
Akhirnya, hadirin yang ada di dalam masjid merasa puas
dengan jawaban-jawaban Abu Hanifah. Jelas, lugas, tegas, dan mudah dipahami,
bahkan oleh orang awam sekalipun.
"Like Father Like Son"
No comments :
Post a Comment