Dalam Fiqih’ala
Al-Mazdzhib Al-Arba’ah disebutkan bahwa “Suara
wanita bukanlah aurat. Karena istri2 Nabi Saw pun berbicara dengan para sahabat
beliau. Para sahabat itu mendengarkan hukum2 agama yang diajarkan oleh ibu kaum
mu’min itu. Namun demikian, mendengarkan suara wanita tetaplah haram jika
dikhawatirkan bisa tergoda karenanya. Sekalipun suara itu di dengar ketika
membaca Al-qur’an”
Dan begitu pula
wanita yang menghadap Amirul mu’minin Umar Bin Khatab ra ketika beliau hendak
membatasi mahar (maskawin) baginya, maka dibacakanlah oleh wanita itu firman
Allah Swt Qs. Ani-nisaa’ 4:20 “Dan jika
kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepadanya harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali kepadanya
barang sedikitpun”
Seketika berkatalah
Umar ra, “Benarlah wanita dan Umar keliru”
Andai suara wanita
itu aurat, pastilah Amirul mu’minin Umar bin Khatab ra mencegah wanita itu
membaca sesuatu.
Jumhur ulama berpendapat
bahwa suara wanita itu bukanlah aurat. Bahkan para ulama 4 madzhab fiqih juga
berpendapat demikian, walaupun pendapat ini tidak mencapai derajat “ijma’ atau
lebih tepatnya, “Suara wanita itu
tidak sepenuhnya aurat selama tidak ada fitnah didalamnya”.
Pada zaman Nabi Muhammad
Saw, wanita-wanita banyak yang berbicara, bahkan berbicara dan berkonsultasi
langsung dengan Rasulullah Saw. Begitu juga para Istri2 Nabi Saw banyak yang
meriwayatkan hadist dari Nabi Saw dan disampaikan kepada para sahabat lainnya.
Dalam Alqur’an Allah
Swt berfirman,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ
حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kmu meminta sesuatu (
keperluan ) kepada mereka ( istri-istri Nabi ), maka mintalah dari belakang
tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi har=timu dan hati mereka.” (
Qs. Al-Ahzab :53)
Ayat diatas tidak
menjelaskan kalau suara wanita itu aurat atau dilarang untuk di dengar. Tetapi
seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa suara wanita memang bukan aurat,
tapi ada batasan dimana suara wanita
itu harus dijaga.
Perhatikan Ayat Alqur’an
dibawah ini :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ
مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak seperti wanita-wanita yang
lain.Jika kalian bertaqwa, maka janganlah kalian tunduk (melemah-lembutkan
suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang didalam hatinya ada
penyakit (berpikir serong/kotor). Dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Qs. Al-Ahzab :32 )
Jadi,
jelaslah bahwa suara wanita itu memang bukan aurat, tetapi berbicara dengan
nada tunduk yang dilarang. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan “Al-Khudu
Fil-Qoul”, yaitu melemah lembutkan suara sehingga membuat yang mendengarkan nya
menjadi ‘Tergoda’ . “Al-Khudu Fil-Qoul” secara harfiah berarti lemah
lembut dalam suara, sehingga dapat memabangkitkan syahwat bagi yang mendengarnya.
Tapi intinya, apapun nada suara itu, apapun jenis suaranya, apapun
namanya, tinggi-rendah, lemah-kasar, kalau itu membuat syahwat bangkit itulah
fitnah, Itulah suara yang menjadi aurat dan sangat dilarang untuk
diperdengarkan.
Kesimpulannya,Bahwa suara wanita itu bukan
aurat yang harus ditutupi, sehingga membuat para wanita tidak boleh
berkomunikasi. Berkomunikasi dengan orang asing yang bukan muhrim pun boleh,
selama dalam takaran yang dibutuhkan. Akan tetapi yang hendaknya dijauhi adalah
menikahmati suara wanita tersebut atau berlezat-lezat dengannya.
No comments :
Post a Comment