Manusia
diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah
sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan
yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh,
berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula
dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi
kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh
manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri
(gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan
ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan
dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar.
Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang
‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang
akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga
setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya
saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan
menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya
antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada stadium yang akut (memangnya penyakit kanker.. ?).
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada stadium yang akut (memangnya penyakit kanker.. ?).
Pengertian Khithbah
Dalam
merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh
oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk
menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan
khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu
tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat
mengetahui calon pendamping hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49).
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR.Kurnia, 2005:19) menjelaskan
yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang
perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya
(walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga
menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan
berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara
(wasilah) yang ma’ruf.
Islam
telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan
pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,
Allah Swt, berfirman :
Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu
Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda,
siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia
segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga
kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena
hal itu dapat menjadi perisai’
Diantara
peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan
oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti
Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:
‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.”(HR.Bukhari)
‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.”(HR.Bukhari)
Abdurrahman
Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu
Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii
sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang
kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.
Menurut
Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh
meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau
walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf
atas kejadian ini.
Selain
itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar
menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56).
Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada
seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai
Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw
lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat
bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk
mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan
tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara
langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
Proses Khitbah
Dalam
beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah
dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh
seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian
bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat.
Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah,
antara lain:
a.
Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Syamsudin
Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan
bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh
melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah
bersabda:
‘Jika salah
seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat
sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah
ia melihatnya. (HR. Abu Dawud
dan Hakim).
Dibolehkannya
melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah,
diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk
menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.
Sebagian
ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan,
melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota
badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat,
dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan
(MR.Kurnia, 2005:23)
b.
Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang
ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam
khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh
ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia,
dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah
Saw:
Seorang
mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin menawar
diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan
saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam
riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak
boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya
hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)
c.
Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah
An-Nabhaniy
(2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka
dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak
salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin
wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk
menikah. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas)
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas)
Adapun
Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah
Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan
seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau
menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits
di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak
dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka
pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau
menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia
berbalik pikiran atau ridha.
d.
Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas
tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami
dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka.
Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut
Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan
cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling
tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan
warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw
melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa
saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
e.
Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring
mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah
melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti
suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol
berduaan, dll.
Menurut
MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah
akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk
menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah
dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan
mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan
dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:
‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu Hurayrah)
‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu Hurayrah)
Selain
itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk
senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur
[24]:30-31)
Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun
waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah)
hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (Muhamad Thalib, 2002:69)
Bagi
seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu
yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?
Berdasarkan
peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara
Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin
‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian
dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini
Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula
hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw. (ibid).
Jadi,
sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan
pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu
tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan
untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah
Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah
beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang
gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia
menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia
menjual agamannya dengan harta dunia (HR.Muslim dan
Abu Hurayrah)
Melaksanakan
pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan
dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan
materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur[24]:32)
Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur[24]:32)
Maksudnya:
hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami,
dibantu agar mereka dapat kawin.
Rasulullah
Saw bersabda:
Wahai
para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka
menikahlah (HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim)
Tiga
golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah,
mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi
pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari
perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan
demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan,
tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya)
sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan
waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan
kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila
rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap
adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada
Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa
penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus
pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang calon
yang lain, dan sebagainya. Maka, untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, sebaiknya rentang waktu antara khitbah dan akad jangan terlalu
lama.
Namun
bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa
diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan
mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Dan
barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena sesungguhnya
shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim).
Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia
menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti
yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah
[9]:71)
Ataupun,
juga perintah-Nya:
dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan
khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu
berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal
ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu
sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus
dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan
khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.
Pembatalan
Khithbah
Dalam
melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh
kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan
sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu
sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat
aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang
ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak
menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap
calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah
tersebut.
Pembatalan
khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal
ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa
pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi
calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap
sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya
(setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan
tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan
seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena
lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti
halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan
pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi
ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan
adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut
terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan
pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal)
seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup
yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit
menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat
menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai
kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain pertimbangan berbagai
uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah
Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum
dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i,
maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan
menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik,
karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Rasulullah
saw bersabda:
Sifat
orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi,
dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)
Adapun
berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan
dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap
menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta
kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah
Saw pernah bersabda:
Tidak
halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu,
meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud,
Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Muhammad
Thalib (2002:76) mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan pinangan adalah
menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap
orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan hukuman
materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian orang.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada
pinangannya berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena
mahar itu hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama
akad pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk
memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.
Adapun
berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan hukum
mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali,
karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian
atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka
bagi pihak penerima barang tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan
ia berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan
Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin
menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada
Allah Swt serta hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan
keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik, dan
tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat
nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita
kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR.Muslim)
Demikianlah
sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang terkait di
dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada
sahabat-sahabat untuk segera merealisasikan keinginan yang selama ini telah
menggebu-deru, namun masih terpendam dalam seolah enggan untuk nampak
kepermukaan karena terkekang oleh perasaan malu-malu dan unselfconffident.
Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang wajar dan boleh kita lakukan
dengan disertai adanya kesiapan untuk memikul apapun resikonya.
Wallahu’alam
bi shawab.
No comments :
Post a Comment